(Jakarta) – Selama lebih dari tujuh dekade, PT Astra International Tbk telah menjadi tolok ukur korporasi Indonesia—simbol keterpaduan antara strategi industri yang disiplin dan kejelian membaca arah kebijakan ekonomi nasional. Namun menjelang akhir kuartal III tahun 2025, raksasa konglomerasi ini menghadapi lanskap yang berubah cepat: elektrifikasi kendaraan, digitalisasi industri, dan tekanan biaya global yang makin menajam. Astra kini berada pada titik di mana setiap langkah ekspansinya tidak lagi hanya soal volume penjualan, tetapi juga tentang bagaimana mempertahankan relevansi di tengah pergeseran ekonomi yang semakin berbasis teknologi.
Pendapatan Masih Tumbuh, Tapi Laba Tertekan
Hingga kuartal III 2025, Astra International mencatatkan pendapatan bersih konsolidasi sekitar Rp260 triliun, meningkat tipis dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Namun laba bersih justru mengalami tekanan, turun sekitar 7% akibat melemahnya kontribusi sektor otomotif dan marjin yang menipis di bisnis alat berat.
Kurs rupiah yang sempat melemah di bawah Rp16.500 per dolar AS pada pertengahan tahun, juga ikut menambah tekanan pada beban impor komponen otomotif. Meski demikian, manajemen menegaskan bahwa neraca kas masih kuat, dengan posisi kas bersih lebih dari Rp35 triliun dan rasio utang yang relatif konservatif dibanding kelompok usaha sekelasnya.
Otomotif: Bisnis Lama yang Sedang Menata Ulang Arah
Sektor otomotif, yang selama beberapa dekade menjadi tulang punggung Astra, masih menyumbang lebih dari 43% total pendapatan grup. Penjualan mobil melalui Astra Toyota, Daihatsu, dan Isuzu mencatat volume sekitar 400 ribu unit hingga September 2025, turun 6% secara tahunan akibat penurunan daya beli di segmen menengah bawah dan kenaikan harga bahan bakar domestik.
Namun di sisi lain, penjualan mobil listrik dan hybrid yang digerakkan oleh strategi elektrifikasi baru Astra mulai menunjukkan hasil. Melalui Toyota Indonesia dan DFSK-Astra EV, perusahaan mencatat peningkatan penjualan kendaraan elektrifikasi hingga lebih dari 200% year-on-year, meskipun kontribusinya terhadap total volume masih di bawah 10%.
“Fase transisi ini adalah momen untuk menata ulang rantai pasok,” ujar seorang eksekutif senior Astra yang enggan disebutkan namanya. “Kami tahu era kendaraan berbasis bensin tidak akan hilang seketika, tetapi investasi untuk teknologi EV tidak bisa ditunda.”
Sementara itu, bisnis sepeda motor Honda di bawah Astra Honda Motor (AHM) masih menjadi sapi perah utama. AHM menjual sekitar 3,8 juta unit hingga kuartal III, relatif stabil dibanding tahun lalu, meskipun terjadi penurunan di segmen entry level. Model premium seperti PCX dan ADV series justru menunjukkan peningkatan, didorong oleh tren commuting perkotaan.
Alat Berat dan Pertambangan: Dari Boom ke Konsolidasi
Sektor alat berat dan pertambangan yang dikelola melalui United Tractors (UNTR) mengalami fase normalisasi setelah dua tahun menikmati keuntungan dari lonjakan harga batu bara.
Pendapatan segmen ini mencapai Rp96 triliun, turun sekitar 9% dibanding periode yang sama 2024. Penjualan unit alat berat Komatsu menyusut sekitar 15%, seiring dengan berakhirnya masa kontrak beberapa tambang batu bara besar di Kalimantan.
Meski demikian, kontribusi bisnis pertambangan emas melalui PT Agincourt Resources (Tambang Martabe) membantu menahan penurunan laba segmen. Astra melalui UNTR juga mulai mengintensifkan investasi di bidang energi terbarukan, termasuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di wilayah tambang dan proyek energi hijau di Jawa Timur.
Langkah diversifikasi ini sejalan dengan strategi jangka panjang UNTR untuk menurunkan ketergantungan pada batu bara hingga 2030. “Fase dekarbonisasi tidak bisa dihindari,” ujar Presiden Direktur UNTR, “dan kami sudah mulai mengalihkan modal kerja ke bisnis energi baru terbarukan.”
Jasa Keuangan: Penopang Stabilitas Grup
Segmen jasa keuangan yang dijalankan melalui Astra Financial tetap menjadi pilar stabilitas di tengah fluktuasi sektor lain.
Hingga kuartal III 2025, Astra Financial membukukan laba bersih sekitar Rp6,8 triliun, naik 5% dibanding tahun lalu. Pertumbuhan berasal dari portofolio pembiayaan otomotif melalui FIFGROUP, ACC, dan TAF, yang secara total membiayai lebih dari 2,2 juta unit kendaraan sepanjang sembilan bulan pertama 2025.
Unit asuransi melalui Asuransi Astra dan Astra Life juga mencatatkan pertumbuhan premi 11%, didorong oleh peningkatan penetrasi produk digital dan kerja sama dengan e-commerce besar.
Segmen ini kini berkontribusi hampir 19% terhadap laba bersih grup, menjadikannya salah satu mesin pertumbuhan baru ketika sektor otomotif mengalami perlambatan.
Agribisnis: CPO Tertekan, Tapi Margin Masih Positif
Melalui Astra Agro Lestari (AALI), bisnis agribisnis Astra masih menghadapi tantangan berat akibat harga minyak sawit mentah (CPO) yang stagnan di kisaran US$850–900 per ton. Produksi tandan buah segar (TBS) menurun 4% akibat faktor cuaca dan penurunan produktivitas lahan di Kalimantan Tengah.
Meski demikian, efisiensi biaya dan strategi hilirisasi lewat ekspansi ke refinery lokal membantu mempertahankan marjin laba operasional di atas 10%.
Astra juga tengah menjajaki kemitraan dengan perusahaan minyak global untuk memproduksi bahan bakar bioavtur berbasis sawit, bagian dari strategi jangka panjang menuju ekonomi hijau.
Infrastruktur, Logistik, dan Properti: Pilar yang Kian Strategis
Divisi infrastruktur dan logistik, yang meliputi bisnis jalan tol, pelabuhan, dan layanan transportasi, mencatat pertumbuhan pendapatan sekitar 8%. Astra kini mengoperasikan lebih dari 400 kilometer jalan tol di Pulau Jawa, termasuk ruas penting Trans-Jawa dan proyek baru di Jawa Barat.
Unit logistik yang dikelola oleh Serasi Autoraya (SERA) juga mencatat peningkatan permintaan untuk layanan sewa kendaraan korporat dan logistik e-commerce.
Sementara itu, sektor properti yang dijalankan oleh Astra Property mulai menunjukkan tanda pemulihan, dengan proyek andalan seperti Menara Astra dan Arumaya Residences kembali mencatat tingkat hunian di atas 90%.
Teknologi Digital: Anak Baru dengan Potensi Besar
Sektor digital Astra, yang sebelumnya masih dianggap pelengkap, kini menjadi fokus baru perusahaan. Melalui Astra Digital, perusahaan telah mengembangkan ekosistem aplikasi otomotif dan gaya hidup, termasuk Maucash, Moxa, Seva.id, dan AstraPay.
Jumlah pengguna aktif AstraPay menembus 10 juta pada 2025, dengan nilai transaksi tumbuh lebih dari 80% dibanding tahun sebelumnya.
Astra juga tengah memperkuat kolaborasi dengan startup logistik dan fintech di Asia Tenggara, sebagian melalui Ventura Capital arm yang berbasis di Singapura.
Langkah ini menunjukkan upaya Astra untuk memperluas identitasnya, dari sekadar perusahaan konglomerasi otomotif menjadi ekosistem bisnis yang lebih digital dan adaptif terhadap perubahan gaya hidup konsumen.
Tantangan terbesar Astra di tahun 2025 datang dari kombinasi tiga faktor: tekanan biaya produksi, percepatan transisi teknologi, dan kebijakan lingkungan yang lebih ketat.
Kenaikan upah minimum nasional dan harga energi membuat biaya manufaktur meningkat. Di sisi lain, pergeseran cepat menuju kendaraan listrik menuntut investasi baru dalam rantai pasok dan pelatihan tenaga kerja.
Kebijakan pemerintah mengenai insentif kendaraan listrik dan larangan ekspor bahan mentah juga berpotensi mengubah peta bisnis Astra di masa mendatang.
Namun dengan diversifikasi yang luas dan manajemen yang disiplin, para analis menilai Astra masih memiliki ruang untuk bertumbuh secara stabil. “Kekuatan Astra ada pada struktur keuangan yang sehat dan portofolio bisnis yang saling menyeimbangkan,” ujar seorang analis pasar modal di Jakarta. “Ia seperti konglomerat gaya lama yang tahu cara bertahan di dunia baru.”






