Pada akhir dekade 1990-an, saat ekonomi Indonesia baru saja bangkit dari reruntuhan krisis moneter, dua tokoh dengan latar belakang berbeda memutuskan untuk bergandengan tangan. Satu bernama Sandiaga Uno, ekonom muda lulusan George Washington University yang baru saja kembali dari Amerika. Satu lagi adalah Edwin Soeryadjaya, putra mendiang William Soeryadjaya, pendiri Astra International, yang kala itu dikenal luas sebagai keluarga bisnis dengan reputasi tinggi. Dari persilangan visi dan modal sosial inilah lahir Saratoga Investama Sedaya, kelak menjadi pionir private equity di tanah air.
Saratoga bukan hanya kendaraan investasi biasa, tapi representasi dari ambisi membangun capital engine dalam negeri. Saat itu, konsep private equity masih asing bagi banyak pelaku bisnis Indonesia. Tapi Sandiaga dan Edwin melihat peluang: perusahaan-perusahaan lokal potensial sering kekurangan dana ekspansi, dan bank tak selalu memberi jawaban. Di sinilah mereka hadir, bukan sebagai kreditor, tetapi sebagai partner strategis.
Menurut wawancara Sandiaga Uno dengan Harvard Business School pada 2012, strategi awal mereka sangat fokus pada sektor riil yang tahan krisis, seperti energi, tambang, dan infrastruktur. Dalam lima tahun pertama, Saratoga menanamkan modal di perusahaan seperti Adaro Energy, Tower Bersama Infrastructure, dan Medco Power. Mereka tidak hanya menaruh uang, tapi juga membantu manajemen tumbuh sehat. Kombinasi local know-how dari Sandi dan global capital connection dari Edwin menjadikan mereka pasangan bisnis yang sangat solid.
Peran Sandi dalam membangun networking domestik tak bisa diremehkan. Saat itu ia adalah Ketua Umum HIPMI, wadah para pengusaha muda nasional, dan sedang naik daun di kancah politik serta bisnis. Keterlibatannya dalam berbagai asosiasi dan forum kebijakan memberi akses langsung pada pemerintah daerah dan pusat. Ini menjadi kekuatan Saratoga dalam membaca regulasi dan mengantisipasi arah kebijakan, terutama di sektor padat aturan seperti energi dan infrastruktur.
Sementara Edwin, yang pernah bekerja di Goldman Sachs Asia, membawa kredibilitas internasional. Ia menjalin hubungan erat dengan lembaga pengelola dana global seperti Temasek, GIC, dan KKR, yang seringkali menjadi mitra investasi Saratoga di proyek berskala besar. Dalam laporan oleh Bloomberg (lihat: Bloomberg Edwin Soeryadjaya Profile), Edwin disebut sebagai deal maker dengan insting tajam untuk menemukan peluang di saat pasar sedang gamang. Ketika keduanya bersatu, ekosistem modal dan pengaruh pun terbentuk.
Dalam lima tahun pertama, strategi mereka bukan mengejar IPO, tetapi membesarkan perusahaan secara private agar bisa melompat lebih tinggi saat waktunya tiba. Filosofi ini terlihat jelas ketika mereka masuk ke sektor telekomunikasi lewat Tower Bersama, penyedia menara komunikasi yang saat itu masih dipandang sebelah mata. Saratoga bukan hanya menyuntik modal, tapi ikut mengatur strategi pertumbuhan, ekspansi regional, hingga efisiensi operasional. Dalam laporan keuangan publik, Tower Bersama menjadi salah satu perusahaan dengan pertumbuhan EBITDA tertinggi pada 2008–2012.
Keputusan investasi mereka tidak selalu mudah dan penuh risiko. Contohnya, saat memilih masuk ke sektor batu bara melalui Adaro Energy, harga komoditas sedang fluktuatif dan banyak analis meragukan prospeknya. Tapi Saratoga melihat potensi jangka panjang, terutama permintaan dari Tiongkok dan India yang terus meningkat. Saat Adaro akhirnya melantai di bursa pada 2008, nilai perusahaan melonjak drastis dan membuktikan ketepatan intuisi mereka.
Dari sisi manajerial, Saratoga dibangun dengan kultur yang sangat profesional. Mereka tidak membangun organisasi besar, tetapi lebih memilih tim kecil dengan eksekusi cepat dan analisis tajam. Banyak lulusan terbaik dari Wharton, INSEAD, dan UI yang bergabung karena tertarik pada semangat nasionalisme ekonominya. Saratoga menjadi rumah bagi generasi baru analis investasi yang tak hanya jago angka, tapi juga memahami realitas bisnis di lapangan.
Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia (Sumber: CNBC – Sandiaga dan Saratoga), Sandi menyebut prinsip utama Saratoga adalah value creation, bukan sekadar capital injection. Mereka aktif mengembangkan manajemen, membuka akses pasar baru, dan membantu transformasi teknologi. Dalam banyak kasus, kehadiran Saratoga mengubah perusahaan keluarga yang konservatif menjadi perusahaan modern berbasis tata kelola. Ini yang membedakan mereka dari investor pasif biasa.
Ketika bisnis lain gemar ekspansi lewat utang, Saratoga memilih pendekatan yang lebih equity friendly. Mereka masuk sebagai pemegang saham minoritas namun strategis, dengan pengaruh kuat dalam perumusan kebijakan perusahaan. Dalam setiap kesepakatan, mereka selalu meyakinkan bahwa visi sosial juga tercapai—mulai dari penciptaan lapangan kerja hingga keberlanjutan lingkungan. Saratoga dengan itu membangun reputasi sebagai investor “berwajah manusia”.
Tahun 2004 menjadi salah satu titik balik penting ketika Saratoga mulai menarik perhatian media internasional. Artikel di Financial Times menyoroti bagaimana perusahaan ini bisa tumbuh besar di pasar frontier dengan strategi konservatif namun presisi tinggi. Banyak investor institusional dari Singapura, Swiss, hingga Timur Tengah mulai antre untuk ikut serta dalam proyek Saratoga. Ini menjadi pengakuan tersendiri atas ketangguhan model bisnis mereka.
Keberhasilan mereka juga membuka jalan bagi berkembangnya industri private equity di Indonesia. Setelah Saratoga, muncul perusahaan seperti Northstar, Creador, dan East Ventures, yang sebagian terinspirasi oleh pendekatan yang sama. Sandi dan Edwin secara tidak langsung telah membentuk ekosistem baru: investor lokal yang mampu bersaing dengan pemain global. Dalam sebuah artikel dari Asian Venture Capital Journal, Saratoga disebut sebagai “godfather of Indonesian private equity”.
Dalam lima tahun pertamanya, Saratoga tidak hanya membesarkan portofolionya, tapi juga memperkuat citranya sebagai pemain nasionalis. Mereka selalu menyuarakan pentingnya modal dalam negeri untuk membangun ekonomi berdaulat. Dalam wawancara bersama Tempo tahun 2005, Sandi menyebut bahwa “kedaulatan ekonomi dimulai dari kedaulatan modal.” Narasi ini kemudian menjadi identitas ideologis Saratoga dalam berbagai proyek berikutnya.
Dukungan publik terhadap figur Sandiaga juga memberi keuntungan reputasi bagi Saratoga. Ketika Sandi mulai dikenal luas lewat aktivitas sosial, seminar kewirausahaan, dan akhirnya masuk dunia politik, nama Saratoga ikut terangkat. Namun mereka tetap menjaga agar perusahaan tidak menjadi alat politik atau partisan. Profesionalisme tetap menjadi garda terdepan.
Kini, lebih dari dua dekade kemudian, Saratoga menjadi cermin dari visi dua anak bangsa yang percaya bahwa keberhasilan finansial bisa berjalan beriringan dengan pembangunan ekonomi nasional. Mereka membuktikan bahwa capitalism with conscience bukan jargon, melainkan prinsip kerja nyata. Saratoga akan selalu menjadi cerita inspiratif tentang keberanian membangun dari nol.