Kiat Sukses Mengelola Rumah Sakit Ala RS Hermina Group

bintangbisnis

 

 

Meski tidak dimiliki oleh konglomerasi besar, Group Rumah Sakit Hermina sanggup berkembang pesat hingga punya 20 rumah sakit. Pelibatan para dokter sebagai pemegang saham dalam setiap kali ekspansi menjadi salah satu kunci sukses. Hermina Group mengajarkan ke kita bahwa mengguritakan bisnis tidak mesti harus diawali dari kekuatan modal finansial. Kemampuan menyediakan layanan dan produk terbaik yang ditopang kualitas dan kekompakan SDM juga bisa menjadi elemen dahsyat yang bisa mengantarkan sukses bisnis dan bahkan bisa menarik modal datang sendiri dan mengantri. 
Tak percaya? Tengoklah apa yang terjadi pada perjalanan bisnis Group Rumah Sakit Hermina yang dikenal sebagai salah jaringan rumah sakit ibu dan anak paling sukses saat ini. Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Hermina Group kini memiliki 20 cabang di Indonesia dan dalam tahun-tahun mendatang jumlah cabangnya terus akan bertambah karena saat inisederet rumah sakit sudah dalam persetujuan untuk segera dibangun di sejumlah kota di Indonesia. Jumlah tempat tidur untuk preawatan tak kurang dari 1500 bed, didukung lebih dari 7000 karyawan.

 

Yang menarik rumah sakit ini bukanlah milik sebuah konglomerasi besar. RS Hermina berbeda dengan RS Mitra Keluarga yang dibesarkan Kalbe Farma Group atau RS Siloam (Lippo Group), RS Omni (Ongko Group) dan RS Pantai Indah Kapuk (Salim Group). Hermina Hospital Group bermula dari skala kecil, bermodalkan semangat dan visi para pendirinya, dan kemudian tumbuh ekspansi dengan melibatkan para dokter dalam setiap membuka cabang baru. Dan baru belakangan ini, Hermina Group mulai menggandeng investor private equity untuk mempercepat pertumbuhan bisnisnya. 

 

Kisah bisnis Hermina Hospital Group sudah dimulai tahun 1967 ketika Almarhum Ny Hermina bersepakat dengan seorang dokter untuk mendirikan rumah bersalin di Jatinegara, Jakarta Timur. “Rumah Sakit Hermina ini dimulai dari sebuah rumah kecil milik Bu Hermina,” ungkap dr Hasmoro, Presiden Direktur Hermina Hospital Group. 

 

Awalnya masih berupa rumah bersalin, belum rumah sakit bersalin. Ny Hermina sendiri bukanlah seorang dokter, namun ia bekerjasama dengan seorang dokter yang rumahnya ada diseberang rumah bersalin itu. Sedangkan Ny Hermina sendiri tinggal di belakang rumah bersalin tersebut. Rumah bersalin itu dilengkapi dengan 7 tempat tidur agar memudahkan si dokter untuk melakukan perawatan khususnya bila ada yang perlu rawat inap. 
Rupanya rumah bersalin ini mendapatkan sambutan positif dari para pasien sekitar sehingga berkembang dari tahun ke tahun. Jjumlah kamar dan perlengkapan medis pun ditambah, termasuk juga punya beberapa kamar opeasi. Tak heran, namanya kemudian diubah dan ditingkatkan menjadi Rumah Sakit Bersalin Hermina.

 

Namun apa daya, kejadian tak terencana menimpa. Dalam perjalanan mengembangkan rumah sakit si dokter mitra Ny Hermina wafat. Praktis di rumah sakit bersalin itu menjadi tidak ada dokternya. “Bu Hermina bingung karena beliau sendiri bukan dokter. Dari situlah Bu Hermina terpikir untuk mengajak atau mengundang para dokter lain untuk berpraktek dan membeli saham di rumah sakit bersalin itu, sekaligus membeli rumah si dokter yang telah wafat itu dan juga rumah Bu Hermina,” Hasmoro mengisahkan. Singkatnya, dua rumah tersebut kemudian dibeli dan para dokter pun menjadi pemegang saham rumah sakit bersalin itu hingga saat ini.

 

Sejak itu usaha RS Hermina tumbuh bersama para dokter. Hasmoro yang bergabung di Hermina sejak 1985 menceritakan, dari tahun ke tahun RSIA Hermina berusaha menambah gedung rumah sakit setahap demi setahap. Tahap pertama, di lokasi yang sama, dibangun gedung rumah sakit 4 lantai yang lebih megah, selesai tahun 1991. Kebetulan Hasmoro sendiri yang ditugaskan memimpin kontruksi gedung itu dan sejak 1991 pula Hasmoro yang ditugaskan memimpin group RS Hermina. 
Setelah 4 tahun menyempurnakan sistem dan terbukti rumah sakit berjalan baik dan menjadi pilihan pasien, baru tahun 1995 para pemegang saham terpikir untuk mendirikan rumah sakit sejenis di tempat lain alias buka cabang. Sekitar 10 dokter di Hermina kemudian mengumpulkan uang untuk modal membuka rumah sakit kedua.

 

Dus, pada akhir tahun 1996 itu RS Hermina punya tiga rumah sakit. Meski sudah punya tiga cabang, pemengang saham terus aktif mencari lokasi untuk cabang baru. “Kita terus aktif cari lokasi untuk rumah sakit baru, namun sejak cabang ke-7 di Bandung, kita yang justru diundang para dokter untuk mendirikan rumah sakit di berbagai kota. Kita yang dicari atau diundang, bukan kita lagi yang aktif mencari,” papar Hasmoro.

 

 

Pemegang saham di jaringan RS Hermina dibagi tiga kelompok. Yakni para dokter setempat yang berpraktek (pengundang Hermina), dokter senior Hermina yang tidak berpraktek (non provider), dan kalangan investor non dokter. Hermina Holding sendiri dimiliki 13-an orang, mayoritas para dokter, kecuali putra almarhum Ny Hermina yang juga bukan dokter dan aktif di manajemen.

 

Dalam hal ekspansi, semula ekspansi akan diawali dari Bekasi sehingga tahun 1995 mereka mencari tanah untuk rumah sakit di Bekasi, namun peluang justru muncul pertama di Sunter Podomoro karena disana ada rumah sakit kecil yang dimiliki sekumpulan dokter dan meminta manajemen Hermina untuk mengambil alih pengelolaan. Tahun 1996 RS di Sunter Podomoro itu diambil-alih Hermina dan segera dikembangkan. Tahun yang sama, manajemen RS Hermina juga sudah mendapatkan tanah di Bekasi untuk pendirian rumah sakit baru.

 

Secara umum, ada dua cara ekspansi Hermina dalam membuka cabang. Pertama, mendirikan rumah sakit yang benar-benar baru dan dirancang sendiri dari nol seperti di kota Bekasi dan Depok. Namun, tak sedikit pula cabang yang dimiliki dengan cara kedua, yakni akusisi atau pengambilalihan dari rumah sakit lain lama yang pengelolaannya bermasalah atau kurang sehat. Hal itu misalnya terjadi ketika Hermina membuka cabang di Sunter Podomoro, Serpong, Ciputat, Lampung, dan beberapa cabang lain.

 

Yang pasti, sebut Hasmoro, di semua cabang RS Hermina, semuanya melihatkan para dokter sebagai pemegang saham. Termasuk juga di rumah sakit yang awal-awal didirikan seperti di Jatinegara, Sunter, Bekasi, dan Depok. “Kita ini bukan rumah sakit milik konglomerat. Kita hanya modal dengkul dan manajemen yang baik saja. Pemiliknya ya para dokter,” ungkap Hasmoro yang pensiunan dokter kepresiden RI tersebut. Di semua rumah sakit yang baru-baru didirikan pun juga melibatkan para dokter sebagai pemegang saham.

 

Biasanya untuk rumah sakit baru seperti di Jogja, Solo, Palembang, Malang, Semarang dan  Menado. pihak Hermina diundang oleh sekumpulan dokter di kota itu yang telah bersepakat  untuk mendirikan rumah sakit ibu dan anak. Mereka bersepakat untuk menyetor modal dan mengudang Hermina sebagai pengelola. 

 

Bila mereka sepakat menunjuk tim Hermina sebagai pengelola rumah sakit, biasanya manajemen Hermina akan meminta saham kosong 15% (rinciannya: 10 % untuk manajemen Hermina dan 5% dikembalikan ke karyawan di rumah sakit itu). Dengan kata lain pemili saham RS Hermina adalah 15% dari tim Hermina di Jakarta dan sisanya (idealnya) milik para dokter setempat yang mengudang Hermina.

 

Dalam prakteknya selama ini, jumlah dokter pemegang saham di masing-masing rumah sakit berbeda-beda, kisarannya dari 20-40 dokter. “Prinsip dasarnya, dokter yang diajak bergabung sebagai pemilik saham hanya dokter yang punya loyalitas dan mau berpraktek. Semua dokter yang punya saham disini harus berpraktek sebagai dokter. Kalau nggak praktek, sahamnya dikembalikan,” sebut Hasmoro. Hasmoro menjelaskan, tidak ada batasan berapa jumlah dokter yang boleh punya saham di sebuah rumah sakit. Phaknya berkeyakinan, semakin banyak dokter yang punya saham akan semakin baik dan pihaknya mendorong agar semakin banyak dokter yang berpraktek.

 

Yang awalnya dibatasi justru prosentase kepemilikan saham masing-masing dokter. “Dokter inti biasanya diberi kesempatan punya saham 1%, sedangkan dokter non inti 0,5%,” katanya. Alokasi kepemilikan saham para dokter setempat (lokal) bisa sampai 85% (100% dikurangi 15% saham kosong untuk Hermina). Hanya saja, dalam prakteknya, para dokter setempat hanya bisa mengambil 40-50% dari ekuitas yang tersedia karena duit para dokter terbatas. Maklum, untuk memiliki saham itu para dokter harus membeli atau benar-benar menyetor modal. Sementara harga 1% saham bisa sampai Rp 1-2 miliar, tergantung besarnya permodalan masing-masing rumah sakit.

 

Dalam kasus bahwa dokter setempat hanya mampu menyerap (membeli) 50% saham dari peluang 85% saham yang ditawarkan, maka oleh Hermina, 35% saham sisanya akan ditawarkan ke para dokter senior di lingkungan Hermina yang sudah lama atau pernah berjasa — dan loyal — yang belum punya saham atau jumlah sahamnya masih kecil. Mereka diberi kesempatan untuk membeli saham di rumah sakit baru tersebut. 

 

 

Status mereka disebut sebagai pemegang saham non provider karena tidak berpraktek di rumah sakit dimana dia punya saham — walaupun ia mungkin berpraktek di Hermina Jakarta misalnya. Harga saham dokter yang tidak berpraktek biasanya 5% lebih mahal dari saham dokter yang berpraktek.

 

 

Lalu, “kalau para dokter senior di lingkungan di Hermina masih belum bisa menyerap semua saham sisanya yang berrarti modal pendirian rumah sakit masih kurang, barulah kita undang investor non dokter. Dalam satu-dua tahun terakhir kita mulai membolehkan investor non dokter karena biaya investasi pendirian rumah sakit makin mahal. Permodalan tidak bisa dipikul sendiri oleh para dokter,” sambung Hasmoro berterus terang. 

 

Harga saham untuk investor non dokter juga lebih mahal. Misalnya harga per saham untuk para dokter Rp 5000 maka saham untuk orang non dokter dihargai Rp 6000. “Sekarang investor besar banyak yang menyatakan berminat invest di berbagai rumah sakit yang kita bangun, namun kita tetap masih mengutamakan modal dari para dokter,” ungkap Hasmoro.
Belakangan ini pelibatan investor non dokter dilakukan karena biaya investasi per rumah semakin mahal seiring harga peralatan canggih rumah sakit dan harga tanah yang terus melambung. Apalagi lokasi tanah untuk rumah sakit dituntut mesti strategis. Yang jelas, investor non dokter ini bisa direferensikan oleh para dokter lokal yang menjadi pendiri dan pemegang saham rumah sakit di setiap kota, namun bisa juga dari Hermina pusat yang mencari. Yang penting, siapapun investor non dokter yang dilbatkan, harus disetujui semua pihak. 

 

Yang menarik model kerjasama Hermina sebagai operator dan pengelola rumah sakit berbeda dengan pola pada manajemen hotel. Dalam manajemen hotel biasanya ada durasi kontrak kerjasama semisal 10 tahun, 15 tahun, atau 25 tahun. Sedangkan kerjasama investasi Hermina dengan para dokter bersifat selamanya. “Karena ini kepemilikan saham maka bisa selamanya. Saham- saham para dokter juga bisa diwariskan ke anaknya dan bisa juga dijual. Sejauh ini jarang yang dijual, kecuali dokter itu sedang ada masalah ekonomi,” katanya. Walaupun setiap rumah sakit bisa ekspansi menambah gedung, namun tidak boleh mengubah komposisi pemegang sahamnya. “Pada prinsipnya disini tak boleh ada pengenceran saham,” kata Hasmoro.
Diakui Hasmoro, naiknya biaya investasi per rumah sakit telah mengubah sejumlah kebijakan investasinya dalam beberapa tahun terakhir. Dulu diawal-awal usaha, misalnya, kepemilikan saham per dokter dibatasi tidak boleh dari 2%, namun sekarang, dalam kasus tertentu diperbolehkan, agar kebutuhan modal tercukupi. Di awal-awal usaha juga tak perlu investor non dokter karena semua kebutuhan modal bisa dicukupi investor dokter setempat dan dokter senior Hermina. Kini investasi juga menuntut ROI yang lebih lama. “Awal-awal kita tiga tahun bisa balik modal. Namun sekarang bisa 6-7 tahun,” jelas Hasmoro.

 

 

Untuk menyiasati kondisi itu, hampir semua rumah sakit di Hermina Group didesain dengan model rumah sakit tumbuh agar biaya investasi di awal tidak terlalu mahal — sehingga para dokter bisa memikul permodalannya. Misalnya akan dibangun gedung rumah sakit 8 lantai, maka tahap pertama dibuat 4 lantai dulu, namun struktur bangunan sejak awal sudah didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan dibangun 8 lantai. Demikian juga, didesain untuk dikembangkan gedung di kanan-kiri gedung yang sudah beroperasi. Pihak Hermina tak ingin membangun rumah sakit langsung besar seperti dilakukan para konglomerat karena takut harus banyak berhutang ke bank. “Debt to equity ratio kita jaga supaya tak lebih dari 30%, nggak mau banyak hutang ke bank,” ujar Hasmoro seraya menyebut tahap pertama kebutuhan investasi rumah sakit umumnya sekitar Rp 70 miliar.

 

 

Yang pasti kerjasama antara Hermina dengan kumpulan dokter pemegang saham yang mengudang Hermina untuk menjadi pengelola rumah sakitnya itu bukan kerjasama tak bersyarat. Banyak hak dan kewajiban yang harus ditaati kedua pihak. Manajemen Hermina sendiri sebagai pihak yang dipercaya dan diundang untuk mengelola, akan menetapkan berbagai aturan/pedoman yang harus ditaati para pemegang saham (dokter pendiri) agar rumah sakit yang didirikan itu berjalan sukses.

 

 

Dari pihak Hermina, jelas, akan membawa komptensi dan sumberdayanya ke rumah sakit yang dikelola itu — baik rumah sakit yang benar-benar baru atau rumah sakit lama yang diambil alih. Dimulai dari brand dan logo Hermina, sistem, budaya, SDM dan hingga manajemen. Intinya tim Hermina akan men-copy paste strategi suksesnya ke rumah sakit yang baru dikelolanya. “Manajemn keuangan, personalia, keperawatan, manajemen medis, manahjemen logistik, dan sistem IT, seluruh sistem kita bawa kesana. Untuk itulah mereka bayar dengan saham kosong ke kita,” kata Hasmoro. Desain rumah sakit, standar ketersediaan dokter spesialis, dokter, dan perawat, dan standar-standar lain dibuat mengikuti pakem RS Hermina.

 

 

Bahkan SDM dan tenaga ahli untuk mengoperasikan rumah sakit juga dibawa dari Hermina Group. Biasanya untuk rumah sakit yang baru dikelola Hermina di Jabotabek, ditarget 30% karyawan diisi oleh orang-orang lama dari Hermina. Orang kuncinya seperti direktur dengan tiga manajer (manajer medis, manajer keperawatan dan manajer rumah tangga) pasti diambil dari Hermina Group. “Orang-orang kita dipindahkan kesana, sehingga mereka sudah tahu sistem dan budaya kerja Hermina,” sebut Hasmoro. Dalam kasus rumah sakit lama yang diambil alih pun juga demikian. Sekitar 30% diisi oleh SDM yang dibawa dari Hermina dan sisanya dari karyawan lama rumah sakit itu yang diseleksi. “Karyawan lama otomatis boleh mendafatar, namun dalam 3 bulan – 1 tahun kondite mereka akan dievauasi. Bisa gugur kalau kualitasnya tak sesuai standar yang diharapkan,” tegas Hasmoro.

 

Hasmoro menceritakan, berdasarkan pengalamannya mengambil-alih sejumlah rumah sakit bermasalah, banyak rumah sakit yang tidak bisa maju karena manajemennya tidak transparan sehingga para dokter menjadi tidak percaya dan ujung-ujungnya ribut antara tim pengelola dengan para dokter. Di RS Hermina hal ini diatasi dengan implementasi budaya kerja transparan sehingga para dokter sebagai pemegang saham tahu persis kondisi dan perkembangan kinerja rumah sakitnya.

 

 

Diantara klausul pentingya, para dokter pemegang saham itu tidak boleh duduk dalam manajemen dan tidak boleh ikut campur tangan soal manajemen. Tugas para dokter hanya berpraktek sebagai dokter dan menjadi pemegang saham. Manajemen operasional rumah sakit sudah ditangani tim tersendiri. “Bukankah kita dihargai mahal untuk mengelola rumah sakit itu,” sambung Hasmoro retoris. 

 

 

Dengan cara kepemilikan ini maka pelanggan fanatik si dokter (beserta keluarga dan relasinya) akan berobat kepadanya.

 

 

Cerita Hasmoro dikuatkan oleh dr Muhammad Nurussalam, Manajer Pengembangan Korporat Hermina Hospital Group. Nurussalam (Alam) menjelaskan, guna menjalankan bisnis pengelolaan rumah sakit ini di kantor pusat pihaknya pemilik tim yang sudah sangat lengkap. “Satu gedung yang disamping ini khusus untuk mengelola bisnis hospital management, bukan untuk praktek dokter. Timnya sangat lengkap, dari marketing, keuangan, kerumahtanggan, hingga medis sehingga bisa menopang 20-cabang rumah sakit di seluruh Indonesia,” sebut Alam.

 

Diantara yang dibawa tim Hermina ialah cara kerja dan budaya Hermina. Misalnya cara pelayanan pasien, kegigihan dalam mengelola usaha, hingga transparansi dalam pengelolaan rumah sakit. “Manajemennya harus bagus dan terbuka. Contoh terbuka, laporan keuangannya mesti transparan, semua orang bisa lihat. Nggak boleh ada dusta,” sebut Hasmoro. 

 

Pihak Hermina juga membuat kebijakan-kebijakan yang harus ditaati oleh para dokter pemegang saham (pendiri rumah sakit). “Kita diundang untuk mengelola rumah sakit, maka mereka harus mau ikut sistem dan budaya Hermina. Kita nggak bisa kita ikut budaya Solo, Palembang atau Menado karena itu adalah deferensiasi Hermina,” tegas Hasmoro. 

 

Para dokter diperberbolehkan dan diberi kesempatan untuk usul soal operasional manajemen rumah sakit, namun sifatnya hanya usul. Dus, tidak menentukan. “Ada forum tahunan rapat umum pemegang saham untuk menentukan strategi rumah sakit, silahkan mereka usul di forum itu. Namun untuk operasional manajemen harian, tidak boleh campur tangan karena Hermina sudah punya sistem sendiri. Kalau ikut campur bisa kacau karena pemilik saham bisa sampai 40 dokter, kasihan direktur rumah sakitnya dikeroyok para dokter,” tunjuk Hasmoro.
Diakui Hasmoro, mengelola para dokter bukan pekerjaan mudah karena umumnya mereka merupakan orang pinter yang sulit diatur. Dalam hal ini menjadi tugas masing-masing direktur rumah sakit untuk menegakkan sistem dan mengendalikan para dokter. “Saya dulu juga diwanti-wanti para senior bahwa para dokter itu sulit diatur karena kalaupun tidak berpraktek di rumah sakit ini mereka bisa mandiri,” kata Hasmoro.

 

Biasanya untuk menangani dokter pemegang saham yang sulit diatur, pihaknya akan meminta ketua tim dokter (fasiltator) setempat yang mengundang Hermina sebagai operator rumah sakit untuk menertibkan dokter tersebut. Fasilitator itu harus menyeleksi para dokterlokal yang akan diajak bergabung sebagai pemegang saham. “Posisi kita kan diundang. Kalau mereka undang kita, mereka harus patuh dengan sistem kita,” sebut Hasmoro.

 

Selain itu, kata Hasmoro, adalah hal wajar bila dari 30 dokter terdapat 1-3 dokter yang sulit diatur. “Para leader di Hermina memang dididik untuk menaklukkan singa-singa (dokter). Biasanya kalau singa itu sudah bisa kita taklukkan, maka akan sangat loyal dengan Hermina. Kenapa? Karena dia singa, nggak bisa kerja ke tempat lain. Rumah sakit lain akan takut bekerjasama dengan singa,” Hasmoro menjelaskan prinsipnya seraya tersenyum. Para leader di Hermina bahkan tak hanya harus mengendalikan para dokter dan dokter spesialis, namun juga para profesor kedokteran. “Di Hermina ini banyak para profesor kedokteran. Bayangkan, per rumah sakit ada 50-60 dokter, total sudah 1000-an dokter dan 5%-nya adalah profesor,” tunjuk Hasmoro.
Toh demikian, sambung Hasmoro, kalangan dokter yang mengudang Hermina sebagai pemegang saham biasanya sudah tahu budaya dan cara kerja Hermina dari berbagai komunitas dokter anak. Mereka biasa bertemu di berbagai simposium maupun seminar. Walhasil, ketika tim manajemen Hermina menjelaskan konsep dan pola kerjasama Hermina dengan para calon dokter investor umumnya berjalan lancar karena sudah tahu Hermina dari sumber di luar Hermina. Tak heran, umumnya rumah sakit baru yang dikelola Hermina bisa cepat melakukan take off kinerja.

 

Dengan kemampuan menggandeng dan bersinergi dengan para dokter itulah RS Hermina Group bisa maju dan berkembang. Terlebih aspirasi para dokter sebagai profesi di Hermina juga selalu dihargai. Tiap tiga bulan sekali 1000 dokter berkumpul di RS Hermina pusat untuk membahas dan memutuskan hal-hal medis dalam forum komite medis. Mereka bisa mengasah kompetensinya di forum-forum itu. Ini belum forum di tiap rumah sakit di masing-masing kota. 

 

Kini jumlah dokter di Hermina Group tak kurang dari 1000 orang dengan per rumah sakit 50-60 dokter. Jumlah tempat tidur yang dikelola sudah mencapai 1500 tempat tidur di 20 rumah cabang rumah sakit, dengan jumlah karyawan total 7000-an orang. Tahun 2020 ditarget sudah punya 40 rumah sakit dengan jumlah karyawan menjadi 20 ribu orang. Tak heran, bintang bisnis bidang rumah sakit ini kinerjanya makin moncer. 

 

Banyak pemerhati bisnis melihat sukses RSIA Hermina Group yang tumbuh dengan kepemilikan saham oleh para dojker sebagai hal fenomenal.  Sistem kepemilikan RSIA Hermina merupakan terobosan baru yang cerdas untuk bisnis rumah sakit yang semakin ketat di Indonesia. Cara itu sangat jitu karena dokter memiliki kekuatan: punya pelanggan fanatik. 

 

Mengelola dokter juga bukan pekerjaan gampang, apalagi aturan di Indonesia yang masih longgar dimana satu dokter bisa menangani banyak pasien dan bisa berpraktik pada banyak tempat. Dengan kepemilikan ini sang dokter akan fokus dan full melayani satu rumah sakit. Selain itu juga akan memunculkan persaingan kolaboratif diantara para dokter ibu-anak yang bekerja untuk RSIA Hermina. 

 

Kekuatan Hermina Group pada standarisasi sistem dan prosedur yang sudah teruji dengan baik. Brand name Hermina juga sudah menancap kuat sehingga membuat para pelanggan (pasien) percaya terhadap pelayanannya. “Selain itu dengan jumlah cabang yang sudah banyak, memungkinkan kolaborasi antar cabang, termasuk dalam pasokan SDM (baik dokter maupun administrasi/manajerial). Artinya bila ada cabang yang belum bagus bisa didrop SDM yang memiliki reputasi untuk membenahi rumah sakit itu,”.

 

Kedepan, agar terus bisa menjaga posisinya, Hermina Group tetap perlu menjaga positining pelayahannya dan menjaga pricingnya agar tetap terjangkau. Selain itu juga terus mengasah kompetensi manajerialnya agar bisa mengikuti kaidah-kaidah manajemen kontemporer. Yang paling penting tentu menjaga soliditas para dokter sebagai pemegang saham karena ego mereka tinggi dan biasanya sulit diatur.

 

 

 

Share This Article