Mengapa Orang Indonesia Lebih Suka Jadi Karyawan Daripada Pengusaha

bintangbisnis

Sejak kecil, kebanyakan dari kita tumbuh dengan pandangan bahwa hidup terbaik adalah hidup yang aman. Aman berarti punya pekerjaan tetap, gaji bulanan, dan atasan yang memberi instruksi. Kita belajar untuk patuh, bukan untuk berpikir mandiri. Semua ini dimulai dari rumah—dari orang tua yang, dengan niat baik, lebih sering menasihati anaknya untuk mencari pekerjaan daripada menciptakan pekerjaan.

Di ruang-ruang kelas, semangat yang sama terulang. Anak-anak diajarkan menghafal rumus, bukan menantang pertanyaan. Mereka didorong untuk lulus ujian, bukan memecahkan masalah. Akibatnya, mereka tumbuh menjadi generasi yang tahu banyak teori, tapi takut mencoba hal baru di luar buku pelajaran.

“Kalau kamu sudah diterima kerja di kantor besar, berarti kamu berhasil,” begitu kata banyak orang tua di negeri ini. Kalimat itu terdengar bijak, tapi juga membatasi. Ia membentuk pola pikir yang membuat kita nyaman menjadi penerima, bukan pencipta. Dalam jangka panjang, kenyamanan itu berubah menjadi rantai yang tak terlihat.

Di Indonesia, status sosial sering diukur dari seberapa stabil pekerjaan seseorang, bukan dari seberapa besar dampak yang ia berikan. Tak heran jika hanya segelintir yang berani menjadi pengusaha. Selebihnya memilih barisan aman: pegawai negeri, karyawan tetap, atau staf yang rajin dan taat aturan. Kita mencintai stabilitas seperti anak kecil mencintai pelukan ibunya.

Namun stabilitas, jika terlalu lama dipeluk, bisa melenakan. Ia meninabobokan rasa ingin tahu dan keberanian untuk gagal. Orang-orang yang berani melangkah keluar dari zona itu sering dicibir, dianggap terlalu ambisius atau tidak realistis. Padahal justru di situlah masa depan terbentuk — di luar pagar kenyamanan.

Robert Kiyosaki, penulis Rich Dad Poor Dad, pernah menulis bahwa orang kaya bekerja bukan untuk uang, melainkan agar uang bekerja untuk mereka. Kalimat sederhana, tapi menampar banyak orang yang terjebak dalam rutinitas. Kita bekerja keras, menghabiskan waktu, tapi tidak pernah benar-benar memahami bagaimana uang bisa menciptakan kebebasan. Kita berlari cepat di tempat yang sama — seperti tikus dalam roda besi.

Fenomena ini menciptakan apa yang disebut Kiyosaki sebagai “rat race”: perlombaan tanpa garis akhir. Setiap kenaikan gaji terasa seperti kemenangan, padahal hanya menambah beban gaya hidup. Rumah lebih besar, cicilan lebih panjang, liburan lebih mahal. Semua sibuk bekerja, tapi sedikit yang benar-benar bebas.

Bekerja keras adalah nilai luhur, tapi bekerja cerdas adalah kebutuhan zaman. Ironisnya, banyak yang menganggap kemandirian finansial sebagai impian terlalu tinggi. Sementara itu, mereka yang memahami bagaimana uang bekerja justru membangun sistem yang membuat orang lain bekerja untuk mereka. Yang satu mencari gaji, yang lain menciptakan penggajian.

Budaya kita jarang memupuk mental wirausaha. Anak-anak kecil yang berani menjual sesuatu dianggap “kurang sopan”. Mereka ditegur karena menukar barang dengan uang dianggap tidak pantas bagi usia muda. Padahal di negara lain, anak-anak justru diajarkan berdagang sejak kecil — bukan untuk menjadi kaya, tapi untuk memahami nilai kerja dan tanggung jawab.

Sistem pendidikan juga memperkuat pola ini. Kurikulum dibuat untuk mencetak pekerja, bukan pemikir. Pelajaran kewirausahaan masih sering bersifat teori, tanpa kesempatan untuk gagal dan belajar dari kegagalan. Sekolah mengajarkan bagaimana menulis lamaran kerja, bukan bagaimana menulis rencana bisnis.

Kita tumbuh menjadi bangsa yang lebih banyak menunggu kesempatan daripada menciptakannya. Dalam pertemuan keluarga, jarang terdengar doa agar anak menjadi pemberi kerja. Yang sering terdengar adalah doa agar anak diterima di instansi ternama. Seolah keberhasilan hidup diukur dari seragam yang dikenakan.

Namun dunia berubah lebih cepat dari yang kita sangka. Pekerjaan yang dulu dianggap aman kini tergantikan oleh mesin dan kecerdasan buatan. Dunia tidak lagi butuh orang yang hanya bisa menjalankan perintah; ia butuh mereka yang bisa berpikir, beradaptasi, dan memimpin. Kemandirian bukan lagi kemewahan — ia kini menjadi syarat bertahan hidup.

Menjadi pemberi bukan berarti menjadi kaya semata. Itu berarti menjadi orang yang membuka pintu bagi orang lain. Seorang pengusaha sejati menciptakan peluang, bukan sekadar memanfaatkannya. Ia memahami bahwa kekayaan sejati diukur dari seberapa banyak kehidupan yang ia bantu tumbuh.

Sayangnya, kita masih sering memuja status lebih dari nilai. Gelar, jabatan, dan titel menjadi simbol keberhasilan. Sementara mereka yang diam-diam membangun sesuatu dari nol sering dipandang sebelah mata. Padahal, di balik setiap pengusaha yang berhasil, ada sejarah panjang dari keberanian, kesalahan, dan pembelajaran.

Perubahan besar tidak dimulai dari uang, tetapi dari cara berpikir. Saat seseorang melihat dirinya sebagai pencipta, bukan korban keadaan, maka hidupnya mulai berubah. Ia berhenti menyalahkan sistem, dan mulai membangun sistemnya sendiri. Itulah langkah pertama menuju kebebasan sejati.

Kita sering lupa bahwa menjadi kaya bukanlah tujuan akhir. Menjadi berguna — itulah yang memberi makna. Uang bisa membeli waktu, tetapi hanya jika kita tahu bagaimana menggunakannya untuk menolong orang lain. Pemberi lapangan kerja tidak hanya memberi gaji, tetapi juga memberi harga diri bagi orang lain.

Dalam masyarakat yang serba kompetitif, menjadi tangan di atas bukanlah kesombongan, melainkan tanggung jawab. Orang yang mampu memberi berarti telah melewati banyak tahap: belajar, gagal, bangkit, dan akhirnya berdampak. Memberi bukan berarti berkurang — justru menandakan kelimpahan.

Perubahan pola pikir ini harus dimulai sejak dini. Anak-anak perlu melihat bahwa menjadi pemimpin bukan berarti berkuasa, melainkan bertanggung jawab atas orang lain. Mereka perlu diajarkan bahwa kesuksesan bukan tentang siapa yang paling cepat kaya, tapi siapa yang paling banyak membantu. Di sanalah nilai kemanusiaan bertemu dengan kecerdasan finansial.

Bayangkan jika setiap orang Indonesia memiliki pola pikir pencipta, bukan penerima. Jika setiap anak diajarkan untuk berpikir mandiri, bekerja sama, dan berbagi. Mungkin negeri ini akan melahirkan lebih banyak pengusaha, inovator, dan pemimpin yang membawa perubahan nyata. Karena bangsa besar dibangun oleh pemberi, bukan oleh penunggu.

Kita mungkin lahir dalam sistem yang membentuk kita menjadi pengikut. Tapi kita selalu punya pilihan untuk melangkah keluar. Pilihan untuk belajar, mencipta, dan memberi. Dan semoga, kita termasuk mereka yang tidak hanya memahami cara uang bekerja, tapi juga bagaimana hidup bisa bekerja untuk memberi arti bagi sesama.

Share This Article