Di sebuah proyek pembangunan jalan tol di pinggiran Bekasi, debu bercampur dengan suara dentuman palu dan deru mesin. Para pekerja, dengan rompi oranye yang memudar warnanya karena matahari, tetap beraktivitas meskipun jam sudah melewati tengah hari. Di kejauhan, papan besar bertuliskan “Pembangunan Infrastruktur untuk Indonesia Maju” berdiri kokoh, seakan menjadi pengingat bahwa sektor konstruksi adalah denyut nadi pembangunan negeri ini. Namun, di balik aktivitas fisik yang tak pernah berhenti, industri konstruksi Indonesia sedang menghadapi kenyataan baru: pelambatan ekonomi yang menekan pertumbuhan selama tiga tahun terakhir.
Konstruksi selalu menjadi cermin dari kondisi ekonomi. Jika ekonomi tumbuh cepat, proyek bermunculan di berbagai kota: gedung perkantoran menjulang, perumahan baru meluas, jalan tol dibuka. Namun ketika ekonomi melambat, sektor ini langsung merasakan guncangannya. Data dari Badan Pusat Statistik dan beberapa lembaga riset menunjukkan bahwa sejak 2022 hingga 2025, Indonesia memang masih tumbuh, tetapi kecepatannya menurun. Dari kisaran 5,3 persen pada 2022, turun menjadi sekitar 4,7–4,9 persen di 2025. Pertumbuhan ini tetap positif, namun terasa lebih berat.
Bagi industri konstruksi, perlambatan ekonomi bukan sekadar angka statistik. Ia berarti kontrak yang tertunda, pembiayaan yang dipangkas, hingga ketidakpastian pada rantai pasok material. Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana kondisi dan arah bisnis konstruksi Indonesia di tengah situasi ini?
Kontribusi Besar, Tantangan Semakin Berat
Dalam catatan resmi, konstruksi menyumbang sekitar 10 persen terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia. Angka itu menjadikannya salah satu sektor kunci yang menopang aktivitas ekonomi sekaligus menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Hingga pertengahan 2024, nilai bisnis konstruksi mencapai Rp423,4 triliun, sebuah angka yang menggambarkan skala besarnya pasar ini. Diproyeksikan pula bahwa dari 2024 hingga 2029, nilai kumulatif pasar konstruksi bisa menembus Rp11.900 triliun.
Namun, di balik angka yang menjanjikan, terdapat paradoks. Pertumbuhan konstruksi memang tetap ada, tetapi lajunya tidak sekencang dulu. Tahun 2023 misalnya, sektor konstruksi diperkirakan hanya tumbuh 5–6 persen, lebih rendah dibandingkan masa sebelum pandemi ketika infrastruktur menjadi prioritas besar pemerintah.
Salah satu sebabnya adalah pemangkasan anggaran pemerintah. Proyek infrastruktur sipil, yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan, terpaksa dikurangi atau ditunda. Anggaran publik yang menyusut membuat para kontraktor besar harus mengencangkan ikat pinggang, mencari peluang di luar proyek-proyek pemerintah. Dampaknya, kontribusi konstruksi terhadap PDB berpotensi menurun, bahkan memunculkan risiko pemutusan hubungan kerja di beberapa daerah.
Tren Tiga Tahun Terakhir: Pergeseran Arah Pasar
1. Pergeseran dari Sipil ke Bangunan
Dalam tiga tahun terakhir, terlihat adanya pergeseran. Proyek sipil—jalan tol, bendungan, pelabuhan—masih penting, tetapi pertumbuhannya mulai tertekan. Sebaliknya, sektor bangunan seperti perumahan dan kawasan industri justru menunjukkan daya tahan lebih kuat. Hal ini didorong oleh kebutuhan masyarakat akan hunian, meskipun daya beli sedang melemah.
Investor swasta, terutama di sektor properti, masih melihat peluang di kota-kota besar. Proyek apartemen menengah, kompleks industri di pinggiran kota, hingga perumahan bersubsidi tetap berjalan. Dalam proyeksi 2025, sektor bangunan diperkirakan menjadi penyumbang pertumbuhan terbesar dibandingkan sektor sipil.
2. Real Estat sebagai Penyangga
Meski daya beli menurun, sektor real estat tetap menjadi penopang. Kredit pemilikan rumah (KPR) masih tumbuh positif, walaupun lebih lambat dibandingkan periode sebelumnya. Perusahaan pengembang besar cenderung berhati-hati, lebih selektif dalam merilis proyek baru. Namun bagi industri konstruksi, keberlanjutan proyek perumahan berarti ada roda yang tetap berputar, terutama bagi kontraktor menengah dan kecil.
3. Kolaborasi dan Inovasi
Pelaku konstruksi semakin menyadari bahwa kolaborasi adalah kunci. Dengan keterbatasan anggaran publik, perusahaan konstruksi harus membangun kemitraan dengan sektor swasta, investor asing, hingga penyedia material. Inovasi teknologi, seperti Building Information Modelling (BIM) dan konstruksi modular, mulai diadopsi, meskipun masih dalam tahap awal.
Tantangan Besar: Dari Biaya hingga Regulasi
1. Tekanan Biaya
Inflasi global membuat harga material seperti baja, semen, dan aspal melonjak. Biaya transportasi juga meningkat akibat harga energi yang tidak stabil. Kontraktor menghadapi dilema: menaikkan harga kontrak berisiko kehilangan proyek, sementara mempertahankan harga bisa menggerus margin keuntungan.
2. Regulasi dan Birokrasi
Proses perizinan masih dianggap lambat dan berlapis. Sertifikasi tenaga kerja konstruksi pun belum merata, padahal kebutuhan tenaga terampil semakin mendesak. Sementara itu, regulasi terkait lingkungan menuntut penggunaan material ramah lingkungan, yang sering kali lebih mahal dan sulit didapat.
3. Ketidakpastian Global
Ketegangan geopolitik, fluktuasi nilai tukar, dan gangguan rantai pasok global semakin menambah ketidakpastian. Proyek besar yang membutuhkan impor mesin atau material khusus menjadi rentan tertunda. Hal ini membuat investor bersikap lebih hati-hati.
Cahaya di Tengah Pelambatan
Meski tantangan menumpuk, industri konstruksi Indonesia tidak surut. Ada beberapa alasan mengapa sektor ini tetap dianggap prospektif:
-
Proyek Prioritas Pemerintah
Jalan tol, MRT, bendungan, hingga pembangunan ibu kota baru (IKN) tetap menjadi prioritas. Proyek-proyek ini menjadi simbol keberlanjutan pembangunan meskipun anggaran terbatas. -
Peran Sektor Swasta
Dengan semakin terbukanya kerjasama publik-swasta, investor domestik maupun asing melihat peluang untuk masuk. Skema pembiayaan alternatif seperti Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) semakin diminati. -
Teknologi dan Efisiensi
Inovasi dalam metode konstruksi, penggunaan prefabrikasi, serta digitalisasi proyek membuka jalan bagi efisiensi biaya dan waktu. -
Green Construction
Permintaan akan bangunan ramah lingkungan, hemat energi, dan berstandar internasional semakin meningkat, terutama dari investor asing. Ini membuka ceruk pasar baru yang bisa ditangkap oleh kontraktor yang siap bertransformasi.
Moderat Namun Optimis
Ke depan, industri konstruksi Indonesia diperkirakan tumbuh sekitar 5 persen per tahun. Pertumbuhan ini moderat, jauh dari euforia “ledakan infrastruktur” beberapa tahun lalu, namun cukup stabil untuk menjaga roda ekonomi. Sektor bangunan diprediksi menjadi lokomotif, sementara proyek sipil tetap penting meski pertumbuhannya lebih lambat.
Bagi kontraktor, kunci keberhasilan adalah kemampuan beradaptasi. Mereka yang hanya bergantung pada proyek pemerintah berisiko tertinggal. Sebaliknya, perusahaan yang gesit mencari peluang di sektor swasta, mampu mengadopsi teknologi, dan berani masuk ke proyek hijau akan lebih kuat bertahan.
Tak Pernah Berhenti
Bisnis konstruksi di Indonesia selalu bergerak, meskipun dalam ritme yang berubah-ubah. Era pelambatan ekonomi memang membawa tantangan: anggaran yang ketat, biaya yang naik, daya beli yang melemah. Namun, sektor ini tetap menjadi tulang punggung pembangunan.
Di jalan tol yang sedang dibangun, para pekerja terus memukul baja, menuang semen, dan merangkai besi. Mereka bekerja dengan keyakinan bahwa setiap proyek yang berdiri adalah simbol dari harapan. Industri konstruksi Indonesia mungkin menghadapi jalan yang berliku, tetapi seperti bangunan yang berdiri tegak setelah proses panjang, sektor ini akan terus menjadi pilar pembangunan bangsa.