Kiat Sukses Mewaralabakan Bisnis

bintangbisnis


Banyak orang yang punya bisnis bagus dan ingin mewaralabakan tapi tak tahu jalan. Banyak pula bisnis yang sudah diwaralabakan namun kinerjanya jauh dari harapan. Apa saja yang harus dilakukan untuk sukses mewaralabakan bisnis?

 

Kiat mewaralabakan bisnis

 

 


Mahmud Widjaja (45) sangat menyesal kenapa dirinya mewaralabakan bisnis restonya lima tahun lalu. Saat itu ia sudah punya dua restoran Sunda yang laku keras di pinggiran Jakarta, namun gara-gara menuruti saran salah satu koleganya untuk mewaralabakan bisnisnya, dua restonya itu kini habis tak berbekas. Sebab-musababnya, ada pembeli waralabanya yang tak bisa mengelola bisnis restonya dengan benar, baik dari sisi caranya melayani tamu maupun cita-rasa masakan. Puncaknya, ada satu kasus besar yang merugikan pelanggan di salah outlet resto milik franchisee yang kasus itu kemudian menjadi bola salju yang merusak image jaringan restoran  Ratmono secara keseluruhan.


Tak ayal lagi, tak hanya restoran milik franchisee itu yang kemudian tutup, dua restoran milik Widjaja pun ikut terseret, gulung tikar. Tragis, kini Widjaja kembali bekerja sebagai karyawan kontrak di sebuah perusahaan kontruksi. Cita-citanya untuk menjadi entrepreneur sukses pun kembali menguap.


Sesungguhnya banyak kasus pebisnis waralaba yang mengalami nasib tragis seperti Widjaja — sempat punya usaha sukses namun ketiga difranchisekan malah berantakan — hanya saja memang tak banyak yang mau bercerita. Pada intinya kasus-kasus seperti itu kembali menegaskan kepada semua pelaku bisnis untuk tidak sembarangan mengembangkan bisnis dengan pola franchise. Banyak yang belum siap namun sudah dipaksakan”.


Ketika terpikir untuk mengembangkan bisnis dengan pola franchise, orang itu harus jeli melihat kondisi riel bisnisnya seberapa layak untuk difranchisekan. Kita harus lihat tren pasar akan seperti apa dan apakah bisnis kita punya diferensiasi yang kuat. Contoh, kalau akan membuat waralaba pisang goreng yang rasa dan bentuknya sama dengan buatan rumah tangga, tentu tak akan menarik bagi investor. Harus punya uniqueness yang jadi daya tarik utama dan juga diapresiasi konsumen.


Sebenarnya menilai tidak ada kriteria khusus mana saja bisnis yang layak diwaralabakan. Produk apapun, bisa. Hanya saja kalau produknya cenderung hanya trend sesaat, seyogyakanya tak usah diwaralabakan karena akan mudah dilupakan konsumen ketikaa sudah menjadi trend lagi. Dalam lingkup industri food and beverage (F&B), misalnya akan lebih bagus mewaralabakan resto berjenis fusion food karena menunya akan bisa mengikuti jaman.


Memang, ada banyak kriteria yang diperhatikan pelaku bisnis sebelum menfranchisekan usahanya. Antara lain ada keunikan, prospek, sudah terbukti sukses dari tokonya yang sudah berjalan, profitable, punya manajemen dan bisa diduplikasikan. Kalau aspek-aspek itu tidak dipenuhi, franchise tersebut tak punya prospek. Dalam hal ini pemilik usaha waralaba mesti jujur terhadap kemampuannya untuk menghadirkan keuntungan bagi pembeli waralaba. Dalam melihat prospek bisnis pun harus dilihat minimal 5-10 tahun. Kalau untungnya hanya 2 tahun setelah itu rugi bagaimana? Bukankah kerjasama franchise biasanya 5 tahun?.


Karena itu, hal terbaik, bila pihak penjual waralaba sebelumnya sudah membuktikan bahwa bisnisnya memang menguntungkan alias sudah teruji. Bisnis baru dikatakan teruji jika sudah lebih dari 5 tahun. Jadi, karena sudah tidak punya model pengembangan yang lebih baik secara konvensional, lalu dikembangkan dengan franchise. Maka saya yakin dengan itu akan tumbuh besar. Tapi kalau masih kecil dan belum teruji lalu dipaksakan dengan franchise, akan berbahaya untuk tahun-tahun ke depan.

 

Waralaba sukses seperti Alfamart, Esteller 77, Indomart, dan Shop & Drive, contohnya, sebelumnya diwaralabakan juga sudah dikembangkan bertahun-tahun oleh pengelolannya, dan sudah terbukti menguntungkan. Alfamart misalnya, ketika mulai waralaba bahkan sudah punya 50-an outlet sendiri.


Franchisor harus punya outlet yang sudah terbukti bagus. Outlet itu dijadikan  pilot project atau best practise yang dimiliki franchisor. Dari sistem maupun pasarnya sudah jalan baik. Itu jadi ada alat perbandingan apakah otulet franchisee sudah standar atau belum. Kalau ada gap, franchisee bisa menuntut.


Persyaratan tersebut secara tak langsung juga menyarankan para pebisnis yang hendak mengembangkan bisnisnya dengan pola waralaba agar tak terburu-buru. Perlu dipersiapkan matang, sistematis, dan bertahap. Kalau tata kerjanya sudah dibereskan di awal dan rapi, lain kali tinggal melakukan duplikasi saja. Bisnis franchise adalah bisnis duplikasi. Yakni menduplikasi dari pengalaman franchisor yang sukses, lalu ditiru oleh pemilik yang berbeda (investor) dengan sistem yang sama. Karena itu, dalam mengembangannya tak bisa tambal-sulam di tengah jalan. Kalau dijalankan tambal sulam akan terjadi gesekan-gesekan di lapangan.


Calon franchisor juga harus membuat standard operating procedures (SOP) sebelum mulai ditawarkan ke investor. Demi menjaga konsistensi mutu dan pelayanan. Banyak franchisor yang hanya menyimpan SOP dalam kepalanya sendiri. Akibatnya, terjadi inkonsistensi pelayanan karena di outlet milik franchisee pelayanan kurang bagus. Sekitar 80% franchise di Indonesia belum memiliki SOP. SOP tentu saja juga mencakup standarisasi peralatan dan bahan baku. Pengadaan peralatan misalnya, tak bisa dari bengkel sembarang, mesti dari supplier yang andal dan terpercaya.


Secara ringkas, ada dua hal besar yang harus disiapkan franchisor. Critical point-nya, brand dan sistem yang baik. Di dalam sistem sudah mencakup aspek produksi, pelayanan, keuangan, pelaporan, dll. Sementara dalam brand terkait awarenss, image dan coverage yang luas. Sistem harus dikerjakan dahulu. Sisdur produksi, SDM, layanan, keuangan, dan pelaporan harus diperbaiki. Ini tidak hanya perlu dibuat, tapi juga diuji. Kalau sistem yang dibangun sudah setengah matang, boleh sembari diiringi langkah berikutnya, membangun brand franchise.

 

 


Lalu, khususnya pekerjaan membangun brand, mesti mengkover dua sisi, yakni sisi ke calon franchisee (investor) dan konsumen/pembeli produk. Kenyataannya banyak franchisor yang asal. Dia hanya fokus menjual ke franchisee. Asal ada produk, sistem, lalu digenjot dengan promosi gencar-gencaran dan ikut pameran, beriklan, dll. Sementara sisi konsumennya belum digarap. Nggak akan jalan.


Dalam prakteknya, para pemilik bisnis yang akan mulai mengembangkan usaha dengan waralaba terbentur ketika merumuskan sistem. Maklum,  umumnya tak punya pengalaman teknikal soal sistem dan pola waralaba. Mulai dari bagaimana menentukan fee, apa saja fee yang akan dikenakan ke investor, besarannya, bentuk dukungannya, strategi kerjasamanya, aspek legalisasinya, hingga model-model kerjasama. Maklum, bisnis waralaba bagaimana pun punya varian-varian yang luas.


Contohnya soal peran investor, apakah hanya sebagai penyetor modal, tanpa keterlibatan di operasional? Atau operasi outlet sepenuhnya ada di tangan franchisee(investor) ? Indomaret dan Alfamart contohnya, memilih pola pengelolaan outlet yang di-handle franchisor. Maka training SDM, dll dilakukan franchisor dan investor tahunya beres tarima laporan bulanan. Paling-paling pihak investor mesti memilih manager toko yang nanti akan ditraining franchisor dan membantu mengontrol harian. Namun operasionalnya hampir-hampir 80% dikelola franchisor. Pola yang diterapkan Indomart dan Alfamart mirip manajemen chain hotel. Investor hanya manaruh uang, manajemen hotel lalu diserahkan pada jaringan merek terentu, entah itu Ritz Carlton, Westin, Sheraton, ShanriLa, dll.


Di lain sisi, banyak juga yang pengelolaan outlet dilakukan hampir 80% oleh investor, dan pihak franchisor hanya mengelola branding, sourching menu dan bahan bakul. Tapi ada pula franchisor yang menawarkan ke investornya supaya invest saja dan bisnis dikembangkan franchisor. Namun kalau sudah sukses, operasionalnya diserahkan ke investor. Sistemnya memang berbeda-berbeda. Tentu saja masing-masing pola punya konsekuensi.


Rumitnya lagi, tidak ada satu pola baku dan terbaik yang berlaku untuk semua pelaku bisnis waralaba. Banyak franchisor yang gagal karena hanya mengintip industri yang sama di Amerika atau franchisor lainnya di Indonesia. Padahal struktur biaya, kondisi lingkungan dan struktur operasional berbeda. Akibatnya bisnis franchise yang dicontek bisa survive, tapi yang mencontek tak survive. Yang lucu kalau sistem yang salah kemudian juga diaplikasikan para pembeli waralaba. Tak heran kalau ketika meng-copy SOP dari franchisor sesungguhnya juga meng-copy semua kelemahan dan kesalahan sistemnya.

 

 

Memang, tak bisa sembarangan. Bisa dimengerti kalau kemudian banyak pemilik bisnis yang menggandeng konsultan waralaba ketika akan mulai mengembangkan bisnis waralaba.  ILP, contohnya, seperti pernah dikatakan Bambang Pangestu, pendiri dan presdir ILP, ketika menyusun konsep waralaba ILP dulu pihaknya menggandeng konsultan asing yang ahli waralaba agar hasilnya tak setengah-setengah. Mereka membantu tim ILP dalam merumuskan format waralaba yang tepat untuk bisnis pendidikan tersebut. Dan kini ILP terbukti terus berkibar.

Tentu hal itu tak berarti harus selalu memakai jasa konsultan dan bisnis waralaba tak akan sukses tanpa konsultan. Tak seekstrem itu. Pengelola Ayam Goreng Fatmawati misalnya, bisnis franchisenya berkembang pesat dan kini sudah punya 56 outlet (51 milik franchisee) tanpa menggunakan konsultan sama sekali. “Namun kami memang aktif ikut seminar, talkshow dan forum-forum mengenai franchise,” tutur Johan Wahyudi, GM PT Ayam Goreng Fatmawati Indonesia. Selain Ayam Goreng Fatmawati pasti banyak franchisor lain yang juga sukses.

 

 

Yang tak boleh dilupakan, para franchisor mesti betul-betul memahami model bisnis yang digelutinya termasuk hitung-hitungan kinerja keuangannya. Artinya, ketika sudah memutuskan untuk mewaralabakan, franchisor harus yakin bahwa bisnisnya bisa menguntungkan investor, apalagi kalau bisnis itu mesti dikelola full time. Data-data keuangan tak boleh disediakan secara missleading karena kerjasama dengan investor akan berlangsung jangka panjang. Selain itu, tidak boleh memberikan janji-janji, misalnya pasti akan BEP atau modal kembali dalam sekian tahun. Lebih baik dengan memberikan contoh-contoh investor yang sudah sukses bekerjasama, melakukan tur ke investor yang sukses, dan sebagainya.

Proses pemilihan investor pun sangat penting. Betapapun, kalau bisnis ingin langgeng, franchisor mesti memilih investor yang betul-betul berkomitmen untuk kerjasama, tidak asal sanggup setor uang. Yakni mereka mau terlibat di operasional dan pengontrolan. Akan lebih bagus lagi bila bisa berbisnis dengan orang yang belum punya usaha bermaca-macam agar fokus. Juga, akan lebih manageble lagi kalau punya investor yang sudah dikenal. Semakin banyak investor yang memiliki lebih dari satu outlet tentu semakin baik karena berarti hubungan dan ikatan trust semakin terjalin. “Waralaba tak akan sukses bila masing-masing bekerja sendiri. Kebanyakan gagalnya franchise karena ketidakpedulian salah satu pihak atau hanya melihat kepentingan sendiri,” tunjuk Andrianus.

Andrian Rosano, pendiri jaringan restoran Jepang, Takigawa, juga cenderung bekerjasama dengan investor yang kawan-kawan dekatnya dari kalangan pesohor yang sudah ia kenal karakternya. “Selain saya sudah kenal, kerjasama dengan mereka juga bisa sinergis karena bisa menjadi PR yang bagus bagi restoran Takigawa,” katanya. Tak heran kalau pembeli waralaba Takigawa banyak dari kalangan seleb seperti Mayangsari, Ussy Sulistyowati, Wulan Guritno, dll.

Bahkan, meski investor yang membeli waralaba sudah kita kenal, tetap harus dilakukan evaluasi terus-menerus. Tak boleh putus koordinasi apa saja masalah-masalah yang dihadapi para franchisee. Evalusasi dilakukan baik secara terbuka maupun diam-diam. Misalnya dengan membuat mistery shopper untuk mengecek kualitas para franchiseenya.

Selama ini masih mengemuka fenomena kurangnya pemahaman franchise di kalangan franchisor itu sendiri. Mungkin pimpinan memahami, tapi begitu masuk ke tingkat pelaksana di level bawah, tidak banyak yang tahu. Disini pentingnya pihak franchisor terus memperkuat tim internalnya. Sebelum melatih pembeli waralaba, tim internal franchisor harus dibereskan dahulu, mulai dari product knowledge, cara-cara pelayanan dan semua kompetensi lain yang dibutuhkan untuk menyukseskan bisnis para investor.

Selain itu, tak perlu terlalu ekspansif. Jangan sampai semua investor yang datang melamar lalu dikabulkan. Lihat saja, karena kontrol kualifikasi investor kurang ketat, banyak waralaba yang cabangnya bisa berkembang kemana-mana, hanya saja kemudian kuwalahan mengontrol berbagai aspek. Mulai kualitas produk, layanan hingga brand. Wajar kalau banyak walaraba yang awalnya gencar namun makin tidak terdengar.

Harus dicatat, bisnis waralaba umumnya juga kurang bisa bertahan ketika franchisor tidak mau lagi berinvestasi  untuk mengembangkan perusahaan. Ada mental ‘saya begini saja sudah jalan, mengapa mesti invest nambah biaya lagi’. Seharusnya dari royalti dan franchise fee yang diterima, tidak semua masuk ke kantor franchisor sebagai profit. Harus ada reinvestasi untuk melakukan inovasi. Ketika franchisor tidak mau investasi untuk inovasi dan pengembangan, perusahaan akan tak berkembang, bahkan berpeluang untuk jatuh dan ketinggalan jaman.  (FHD)

 

 

Bacaan Lainnya: 

Share This Article