Kisah Sukses Pendiri Red Bean Resto

bintangbisnis
Jangan pernah berhenti belajar dan cobalah kembali bila Anda belum berhasil.  Petuah klasik ini lagi-lagi mendapatkan pembenaran dari kisah bisnis pasangan Edwardi Kardiman dan Fifi Lilian Tania di bisnis resto. Mereka  sempat mencoba mendirikan resto tapi kurang berkembang. Keduanya tidak patah arang  dan tahun 2003 mencoba mendirikan resto baru dengan nama Red Bean. Dan  sekarang, sebagian warga Jakarta yang biasa nge-mall umumnya tahu restoran  Red Bean. Ia termasuk jaringan resto populer di Jakarta.
Maklum, restoran yang menawarkan menu makanan chinese food ini memang sudah  punya banyak cabang di berbagai mal, khususnya di Jabotabek. Jumlah outlet  Red Bean total tak kurang dari 22 cabang. Bahkan juga sudah hadir di  beberapa mal besar di luar Jabobatek seperti Paris Van Java (Bandung), Mal  Ambarukmo Jogja, Ayani Megamall Pontianak, Mall Manado, dan di Panakukang  Mas Makassar.
Perkembangan bisnis restoran Red Bean memang tak lepas dari kejelian  pasangan Edwardi Kardiman dan Fifi Lilian Tania yang mulai merintis resto ini tahun 2003. Ketika merintis Red Bean, pasangan ini yang ingin punya  bisnis resto makanan chinese tapi yang sifatnya populer. Bukan makanan  chinese  tradisional yang disasarkan buat kaum ‘China totok’.
Sebelumnya pasangan ini pernah punya usaha resto chinese tradisional, namanya Restoran Mutiara, sempat buka di Mega Mall Pulit. Keluarga Fifi  pun pernah usaha resto chinese tradisional. Pasangan ini mengambil pelajaran  dari masa lalunya sehingga dalam menggulirkan Red Bean tak mau menyasar  segmen Chinese ‘totok’, tapi segmen makanan modern Chinese yang rasanya bisa diterima semua golongan. “Walau pun di sini chinese resto, tapi tidak ada  daging babi. Paling-paling kodok dan kepiting,” ujar Fifi yang kelahiran  Jakarta 8 November 1960 ini.
Pasangan ini juga tak ingin menggunakan nama merek Mutiara untuk resto  barunya, apalagi manajemen mal Puri Indah — outlet pertama Red Bean —  sejak  awal juga mewanti-wanti agar resto yang dibangun berbeda dari yang pernah  digeluti Edwardi dan istri. Harus lebih berkelas. Ia lalu memilih nama Red  Bean yang berarti kacang merah. “Bagi sebagian orang keturunan Tionghoa,  kacang merah biasa dimakni sebagai lambang kasih sayang dan cinta kasih,”  jelas Edwardi.
Outlet pertama Red Bean mengambil lokasi mal Puri Indah, Jakarta Barat.  Persisnya mulai buka Oktober 2003. “Kami sengaja buka pertama di Puri Indah untuk  test pasar,” kata Edwardi. Maklum, penduduk sekitar Puri Indah kebanyakan  masyarakat Tionghoa yang konsumennya sangat demanding. Mereka lebih cerewet  soal makanan Chinese food karena sudah biasa mengkonsumsinya. Jadi pasar  disana lebih sulit ditunddkkan. “Kita memang memulai dari daerah sulit  karena percaya bila sukses menembus daerah sulit pasti bisa diterima di mana  saja. Pusatnya Chinese di Jakarta ya di bagian Barat ini. Kalau disini diterima, di bagian lain pasti Oke,” Edwardi menjelaskan strategi  penetrasinya.
Untuk menyukseskan penetrasi Red Bean, Edwardi ternyata dituntut bersabar, terutama ketika mengenalkan konsep restonya. Wajar saja, ketika itu  Mal Puri Indah masih sepi. Fifi mengenang, ketika Red Bean pertama buka,  ruko-ruko foodcourt di mal Puri Indah masih sangat sepi. “Yang ada baru kita  dan Tamani Cafe. Belum ada chinese resto lainnya,” kata Fifi. Bahkan, karena  belum banyak penyewa lain alias masih sepi, Edwardi dan Fifi diberi kebebasan memilih oleh manajemen mall untuk mengambil lokasi ruko yang  disuka.
Dalam menggulirkan outlet pertamanya, pasangan ini dibantu 13 orang  karyawan. “Belum ada supervisor, belum ada manajer. Semua kita dikerjakan  sendiri dan masih serba terbatas. Menu-menunya belum selengkap sekarang,”  ujar Fifi. Ketika itu Edwardi masih terlibat banyak membantu pekerjaan dapur  sementara Fifi membantu di kasir.
Proses mengenalkan restonya juga tak mulus begitu saja. “Awalnya juga susah Pak. Walapun kita punya pengalaman di bisnis resto karena pernah buka resto Mutiara, tetapi ini kan konsepnya berbeda dan baru,” kenang Fifi. Saat-saat pertama buka banyak konsumen yang menyangsikan restonya dengan bertanya”  Red Bean ini jual makanan apa? Enak nggak? Ada cabang di tempat lain nggak?  Sudah ada dimana saja? Pokoknya awalnya kita cukup sulit untuk menarik pengunjung yang lewat untuk mampir dan makan di resto kita,” kenang Edwardi  yang kelahiran 18 Mei 1961 ini. Bukan sekali dua kali juga bila ada pelanggan yang marah-marah karena kurang puas dengan pelayanannya.
Tetapi Edwardi dan Fifi yakin bahwa restonya akan berkembang terutama dengan  upaya penyempurnaan yang dilakukan. “Dari hari ke hari terus meperbaiki diri  dan belajar supaya tampil lebih baik,” katanya. Perbaikan dilakukan baik dari sisi  kualitas dan varian menu maupun pelayanan. Lama-lama pengunjung mall tahu  kalau Red Bean merupakan chinese food yang harganya lebih terjangkau dan cocok untuk semua lapisan, baik untuk anak-anak, ABG, keluarga muda, maupun  orang tua. Apalagi menu yang disajikan bukan menu yang membosankan karena  bisa dimakan sehari-hari. Misalnya sapi lada, udang gandum, udang mayonais  dan menu-menu chinese lain yang lebih umum dan banyak disukai.
Tanpa menunggu terlalu lama, tepatnya tiga bulan setelah beroperasi, tanda-tanda resto Red Bean bakal sukses sudah tampak jelas. “Kalau sabtu dan Minggu biasa penuh hingga antri. Kalau hari  libur sulit cari tempat duduk disini Pak,” kata Edwardi. Tak heran, tiga  bulan sejak dibuka outlet Red Bean Puri Indah, Edwardi langsung berani membuka outlet lagi di Bintaro Plaza. Lalu dua bulan setelah buka di Bintaro Plaza, buka outlet lagi di Supermall Karawachi. Dan enam bulan setelah itu  buka outlet baru Mall Arta Gading. “Ini kami kembangkan sendiri, dengan  modal sendiri,” timpal Fifi.
Setelah punya 6 outlet sendiri yang berjalan baik, Edwardi dan Fifi mulai  berpikir untuk mempercepat pertumbuhan usahanya. Terutama melalui konsep  waralaba yang saat itu mulai populer. Hanya saja pasangan ini berpikir alangkah baiknya kalau terlebih dulu menata dan memperbaiki sistemnya. Edwardi bercerita, usahanya saat itu bisa berkembang baik namun sistem dan pola manajemennya masih amatiran karena sejujurnya ia dan istri memang tak  punya pengalaman di manajemen modern. Waktu itu bahkan belum punya kantor,  semuanya masih dikerjakan dari rumah. “Karena itu kami mengajak Pak Herman untuk bergabung di Red Bean karena beliau punya pengalaman di manajemen  modern. Kalau kita punya feeling bisnis tapi tidak tahu banyak manajemen  modern,” ungkap Fifi.
Herman yang dimaksud Fifi adalah Herman S. Suriadimaja, managing director PT  Red Bean Indonesia — pengelola Red Bean. Sebelumnya Herman pernah bekerja di manajemen mal sehingga punya pengetahuan memadahi soal manajemen modern.  Herman inilah yang kemudian didapok sebagai managing director untuk  mengembangkan Red Bean dan menata sistem. Kelengkapan organisasi Red Bean  juga diperbaiki. Mulai diangkat para supervisor, manajer purchasing,  training manager, franchise manager, area manager, dll. Para karyawan  diwajibkan memakai pakaian seragam agar lebih baik dan rapi. “Sekarang semua  departemen di Red Bean di bawah Pak Herman. Saya dan istri lebih banyak  mengontrol di lapangan,” terang Edwardi sembari menjelaskan Herman juga  punya saham di Red Bean.
Edwardi berasa tepat untuk mengembangkan usaha dengan waralaba setelah punya  6 outlet sendiri. “Kita nggak mungkin jual franchise tanpa kita sendiri membuktikan bahwa restoran ini bagus dan diminati konsumen. Kita berani buka  karena dari 6 outlet sendiri tahu bahwa ini menguntungkan,” kata Edwardi  seraya menjelaskan pihaknya 8 outlet sendiri dari lebih 20 outlet Red Bean  yang ada saat ini.
Selain itu faktanya, outlet Red Bean pun semakin ramai ketika akan mulai diwaralabakan. Contohnya Red Bean Puri Indah, dari yang awalnya hanya memperkerjakan 14 karyawan, kemudian memperkerjakan 43 orang  karena ramainya restoran. Pengunjung, khususnya di hari libur, selalu penuh.
Ditanya tentang kenapa Red Bean bisa sukses dan berkembang, menurut Fifi,  bukan karena agresifitas promosi. “Kita justru promosinya sangat minimal, hanya mengandalkan dari mulut-mulut,” kata Fifi. Pihaknya saat ini memang  bekerjasama dengan bank penebit kartu kredit untuk promosi bersama, namun  pihaknya membatasi dalam satu tahun hanya bekerjasama dengan satu bank.  “Kita nggak mau jor-joran apalagi memberi diskon ini-itu. Margin kita tidak tinggi makanya tidak berani beri diskon besar,” ujarnya. Manajemen Red Bean sengaja mengambil strategi harga medium, bukan premium. “Kita tidak ambil  margin tinggi, tapi kita kejar turnover tinggi atau volume,” Edwardi menjabarkan.
Dalam amatan Edwardi, harga yang terjangkau dan rasa menu sesuai lidah  konsumen, merupakan faktor utama kenapa Red bean ramai pengunjung. “Menu yang kita sediakan merupakan menu sehari-hari yang bisa dimakan dan tidak  membosankan,” ujarnya. Sekedar contoh, harga menu di Red Bean, paket A untuk  makan dua orang terdiri dari ayam Kung Pao, Angsio Tahu, Pocai Cah Bawang  Putih dan Nasi Putih 2 Porsi, seharga Rp 87.900. Contoh lagi Paket C untuk 4  orang berisi Kakap Filet Mun Tahu Tausi, Cumi Goreng Cabe Garam, Ayam kung  Pao, Pocai Siram Jamur Enoki & Shimeji plus nasi 4 porsi, seharga Rp  141.900. Edwardi memang ingin membuktikan bahwa makanan Chinese food tidak  harus mahal sebagaimana pandangan umum yang berkembang.
Soal desain outlet, Red Bean memang selalu dibuat dengan konsep modern  minimalis. Ukuran per outlet berkisar 140 m2 sampai 300 m2.”Kami buat  konsepnya tak hanya cocok buat segmen keluarga, namun juga untuk kongkow  ketemu relasi bisnis,” kata Ima Goetirno, Manajer Operasional Red Bean,  seraya menjelaskan tagline Red dengan ‘Fresh and Tasty Food’.
Ditanya tentang berapa target jumlah outletnya, Edwardi mengaku  tidak  ada target tertentu karena pihaknya tak ingin terlalu ekspansif. “Kita tak  ingin asal buka dimana-mana karena ingin investor kita juga untung, bukan  semata-mata dapat uang franchise. Investasi harus saling take and give.  Kenapa mereka mau invest karena juga berharap untung. Makanya kita tidak asal buka,” Edwardi berprinsip.
Selama ini, bagi investor yang ingin bekerjasama dengan pola waralaba, biaya  waralaba (franchise fee) sebesar R p 350 juta/5 tahun untuk dalam kota  Jakarta. Sedangkan luar kota Rp 250 juta. Adapun royalty waralaba sebesar 4%  dari total omset sebelum pajak, disetor tiap bulan. Edwardi memperkirakan  bagi investor yang ingin membuka satu outlet, total biaya sekitar Rp 1  miliar. Angka itu sudah all in —  termasuk sewa tempat ke manajemen mall,  instalasi dapur, pengadaan furnitur, dll.
Fifi menambahkan, sebenarnya pihaknya selama ini ingin membuka banyak  outlet, tetapi sering terkendala ketersediaan tempat di mal. Selain karena  mal yang ada sudah full booked, seringkali positioning mall juga kurang  cocok dengan Red Bean. “Permintaan menjadi mitra waralaba cukup banyak baik  dari Jakarta maupun luar daerah. Rata-rata mereka merupakan pelanggan kita  sendiri, sudah coba makanan kita lalu tertarik ikut mengembangkan usaha,”  kata Fifi.
Hendra, karyawan sebuah perusahaan elektronik terkemuka di Jakarta, juga   merupakan investor waralaba Red Bean dan punya outlet Red Bean di mal Margocity Depok. Ia mulai membeli waralaba Red Bean  sejak Januari 2008 lalu. “Awalnya saya dan keluarga sudah memutuskan untuk  masuk bisnis makanan karena bisnis makanan nggak ada habisnya. Kapan saja  orang butuh makan. Kebetulan sebelumnya kami sudah menjadi pelanggan Red  Bean. Menurut kami Red Bean ini harga menunya tidak mahal dan pilihannya  banyak. Walaupun ini chinese food tapi menunya tidak terlalu chinese, tapi  lebih umum dan modern. Makanya kami sekeluarga tertarik menjadi investor,”  ujar Hendra.
Tampaknya Hendra termasuk investor waralaba yang happy dengan perkembangan  bisnisnya. “Sejauh ini prediksi hitungan keuangan dari awal yang dulu  diberikan pihak franchisor Red Bean masih cocok atau sesuai kalkulasi awal.  Target-target bulanan sesuai harapan bahkan boleh dibilang diatas target,”  ujar Hendra. Hendra sendiri sudah merencanakan untuk membuka cabang Red Bean  kedua karena kebetulan ada mal baru yang akan buka.
Edwardi tak menampik perkembangan bisnis Red Bean memang pesat. “Ya kalau  sekarang memang sudah sangat bagus. Rata-rata pengunjung mal kenal Red Bean.  Tapi awalnya juga nggak gampang karena pesaing banyak Pak. Tapi kita terus  sempurnakan menu-menu dan pelayananya,” katanya. Kini rata-rata per outlet  Read Bean dikunjungi 3-5 ribu pengunjung per bulan. “Kalau di outlet besar  seperti mal Puri Indah, Paris Van Java, dan mal Pondok Indah Mall jauh  diatas angka itu,” imbuh Fifi, ibu dari satu putri dan dua putra ini.
Toh demikian, walapun bisnis Red Bean berkembang pesat, bukan berarti tanpa  kendala. Diantara kendalanya ialah manajemen investor waralaba yang tidak  selalu mudah. “Kadang ada investor yang nggak nurut. Mereka suka menaikkan  harga sendiri atau menambah menu-menu sendiri di luar konsep Red Bean. Ini  yang sering menjadi kendala. Walapun investor seperti itu hanya sedikit  sekali. Tapi kita mestinya take and give dan berkembang bersama sesuai  komitmen awal,” kata Fifi.
Fifi dan Edwardi sendiri juga punya brand resto lain selain Red Bean, yakni  Rice & Noodle. Resto ini disasarkan untuk segmen yang lebih bawah dibanding  Red Bean. “Tapi yang ini belum kita kembangkan, makanya outletnya baru dua.  Kita fokus di Red Bean,” terang Fifi seraya menjelaskan dirinya dan suami lebih suka disebut founder ketimbang owner Red Bean. Yang pasti pasangan ini tak menyesal meninggalkan konsep resto lamanya yang menyasar segmen chinese tradisional  menjadi resto chinese modern. Terutama dengan melihat performa Red Bean yang sudah sukses menjadi jaringan restoran yang cukup terkemuka saat ini.
Ya, awal keberhasilan bisnis memang sering harus  dimulai dari keberanian mengubah konsep dan cara-cara bisnis lama!
Share This Article