Asal-Usul Kekayaan Erick Thohir dan Boy Thohir

bintangbisnis

Kisah kekayaan keluarga Thohir sering kali diringkas pada sosok dua bersaudara: Boy Thohir dan Erick Thohir. Keduanya tampil sebagai wajah publik dengan karier yang berbeda: Boy di sektor energi dan pertambangan, Erick di dunia media, hiburan, olahraga, dan belakangan politik. Namun di balik sorotan itu, ada nama yang jauh lebih senyap tapi fundamental: Mochamad (Teddy) Thohir, ayah mereka. Dari tangan Teddy-lah cerita keluarga ini bermula.

Teddy adalah bagian dari lingkaran kecil yang ikut mendirikan Astra, perusahaan yang kini menjadi konglomerasi raksasa di Indonesia. Bersama William Soeryadjaya, ia termasuk tujuh orang pertama yang menata langkah Astra di masa-masa awal. Waktu itu, Astra hanyalah perusahaan dagang yang belum jelas masa depannya. Tetapi perlahan, ia tumbuh menjadi raksasa dengan ribuan karyawan, menguasai berbagai lini bisnis dari otomotif, alat berat, pembiayaan, hingga perkebunan.

Astra pada akhirnya menjelma menjadi simbol korporasi Indonesia modern. Omzet tahunannya kini melampaui Rp 200 triliun, dengan puluhan ribu pekerja. Bagi Teddy, keterlibatan di masa awal perusahaan ini tidak hanya memberinya pengalaman bisnis, melainkan juga membuka pintu bagi kekayaan dan jaringan. Dari situlah, fondasi finansial keluarga Thohir mulai terbentuk.

Tidak puas hanya dengan peran di Astra, Teddy kemudian memanfaatkan peluang yang lebih spesifik: distribusi kendaraan bermotor. Ia menjadi salah satu distributor resmi sepeda motor Honda di Indonesia. Dari sini, lahirlah Wahana Oto Mitra dan WOM Finance, perusahaan yang berfokus pada pembiayaan konsumen. Bagi banyak keluarga kelas menengah, nama WOM Finance menjadi pintu masuk pertama mereka untuk memiliki kendaraan bermotor.

Keberhasilan WOM Finance mempertegas naluri bisnis Teddy. Perusahaan itu akhirnya dijual ke Maybank Group, memperkuat posisi keuangannya sebagai salah satu pengusaha sukses era itu. Teddy tidak hanya mengandalkan insting dagang, tetapi juga memanfaatkan jaringan alumni Astra yang kerap membentuk lingkaran bisnis yang solid.

Dengan kapital yang sudah terkonsolidasi, Teddy mendirikan TNT Group, perusahaan keluarga yang menjadi wadah investasi lintas sektor. TNT Group tidak sebesar Astra, tetapi cukup berpengaruh sebagai kendaraan finansial keluarga. Dari sinilah Boy dan Erick mulai ikut belajar bagaimana mengelola aset, membaca tren, dan memahami pentingnya diversifikasi.

Boy Thohir, sang kakak, sejak awal menunjukkan minat di sektor energi dan pertambangan. Ia kemudian menjadi coinvestor di Adaro, salah satu perusahaan batu bara terbesar di Asia. Kariernya tidak berhenti pada posisi investor pasif. Ia mengambil peran aktif, hingga menjabat sebagai presiden direktur. Dari kursi itu, Boy mengendalikan bisnis batu bara yang menjadi sumber energi utama Indonesia.

Keterlibatan Boy di Adaro bukan hanya soal bisnis, melainkan juga simbol transformasi generasi kedua keluarga Thohir. Ia memadukan modal warisan ayahnya dengan keberanian mengambil risiko di sektor yang penuh gejolak. Harga batu bara fluktuatif, regulasi ketat, tekanan lingkungan makin besar. Tetapi Boy mampu menavigasi tantangan itu dengan sikap yang relatif tenang.

Berbeda dengan Boy, Erick Thohir memilih jalur yang lebih berwarna. Sejak awal, ia menunjukkan minat di sektor media dan hiburan. Erick mengakuisisi berbagai media, membangun jaringan televisi, hingga merambah industri olahraga. Nama Erick mencuat ketika ia menjadi pemilik klub sepak bola Inter Milan di Italia, salah satu klub dengan sejarah panjang di Eropa.

Kepemilikan Inter Milan membuat Erick masuk ke panggung global. Ia bukan sekadar pengusaha lokal yang bermain di Jakarta, tetapi aktor yang hadir di meja bisnis olahraga internasional. Meskipun pada akhirnya ia melepas kepemilikannya, pengalaman itu menegaskan citranya sebagai pengusaha kosmopolitan yang pandai membaca tren budaya populer.

Bisnis media dan hiburan yang dirintis Erick kemudian menjadi pijakan penting sebelum ia masuk ke politik. Ketika Presiden Joko Widodo menunjuknya sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara pada 2019, Erick membawa serta pengalaman panjang mengelola perusahaan lintas sektor. Ia juga membawa modal sosial: jaringan bisnis, kepercayaan investor, serta nama keluarga yang telah lama dikenal di lingkaran elite ekonomi.

Tidak bisa dipungkiri, keberhasilan Boy dan Erick tidak berdiri sendiri. Fondasi yang diletakkan Teddy terlalu kuat untuk diabaikan. Alumni Astra seperti Tedy Rahmat, Benny Subianto, dan Edwin Soeryadjaya adalah kawan seperjuangan Teddy yang kemudian menjadi taipan juga. Lingkaran inilah yang memberi dukungan moral maupun peluang bisnis kepada keluarga Thohir.

Kisah ini menunjukkan bagaimana jaringan sosial dalam bisnis Indonesia memainkan peran besar. Astra bukan hanya tempat lahirnya konglomerasi, tetapi juga sekolah bagi para pebisnis yang kemudian melahirkan jaringan pengusaha lintas generasi. Boy dan Erick mendapat akses langsung ke jaringan ini sejak kecil, sebuah keuntungan yang tidak dimiliki banyak orang.

Namun demikian, kedua bersaudara itu tidak bisa hanya mengandalkan warisan. Mereka harus membuktikan diri. Boy dengan keberaniannya masuk ke sektor energi, Erick dengan insting tajamnya di media dan olahraga. Keduanya memperlihatkan kemampuan untuk mengembangkan modal keluarga ke arah yang lebih luas dan beragam.

Warisan Teddy bukan hanya berupa modal finansial, melainkan juga etos kerja dan filosofi bisnis. Ia membesarkan anak-anaknya dengan kesadaran bahwa bisnis adalah permainan jangka panjang, membutuhkan kesabaran, keberanian, dan jejaring. Nilai-nilai itu terbukti melekat dalam perjalanan Boy dan Erick.

Bagi masyarakat, nama Thohir kini identik dengan kekayaan dan pengaruh. Tetapi sedikit yang tahu bahwa akar dari semua itu terletak pada pilihan Teddy bergabung dengan Astra di masa-masa awal. Keputusan yang tampak sederhana itu—bergabung dengan perusahaan dagang kecil bersama William Soeryadjaya—ternyata menjadi batu loncatan menuju konglomerasi keluarga.

Ketika Teddy wafat pada 1 November 2016, ia meninggalkan warisan bukan hanya dalam bentuk harta, tetapi juga dalam bentuk reputasi. Boy dan Erick melanjutkan kisah itu dengan cara mereka sendiri, membawa nama keluarga ke ranah publik yang lebih luas. Jika Teddy adalah fondasi, maka Boy dan Erick adalah bangunan megah yang berdiri di atasnya.

Kini, TNT Group masih menjadi kendaraan investasi keluarga Thohir, meski publik lebih sering menyoroti peran Boy di Adaro dan Erick di pemerintahan. Namun, akar finansial dan historis keluarga ini tetap tak bisa dipisahkan dari kiprah Teddy. Astra, Honda, WOM Finance, dan jaringan alumninya adalah bagian tak terhapuskan dari cerita ini.

Share This Article