Indonesia memasuki 2025 dengan panggung e-commerce yang semakin panas. Lima tahun terakhir melihat percepatan internetisasi, penetrasi smartphone, dan digital payment membuat konsumen belanja online bukan lagi sekadar alternatif, melainkan bagian dari gaya hidup. Platform mobile aplikasi mendominasi, live stream dan hiburan belanja (“shoppertainment”) makin populer, terutama di kalangan muda. Semua ini membutuhkan kapasitas platform dan logistik yang besar serta strategi produk dan harga yang sangat adaptif.
Shopee tetap menjadi raja akses: survei APJII 2025 mencatat bahwa 53,22% responden menyebut Shopee sebagai e-commerce paling sering mereka akses — naik tajam dari sekitar 41,65% di tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa strategi pemasaran agresif, fitur gratis ongkir, dan promosi harian berhasil mengokohkan posisinya.
TikTok Shop berada di posisi kedua yang tumbuh signifikan: 27,37% responden menyebutnya paling sering dikunjungi, dari sebelumnya hanya ~12%. Kenaikan ini menandai pergeseran besar dalam peta persaingan karena TikTok menjual bukan hanya produk tetapi pengalaman hiburan lewat video pendek dan live shopping.
Tokopedia, meskipun berada di peringkat ketiga (sekitar 9,57% akses), masih memiliki basis pengguna loyal terutama di kota-kota besar dan segmen produk bermerek. Lazada mengikuti di belakang, dengan ~9,09% akses. Sementara itu, BliBli hampir tidak terlihat di urutan atas, dengan akses masyarakat sangat rendah.
Secara keseluruhan, nilai transaksi e-commerce Indonesia (GMV) untuk 2023 dilaporkan sekitar USD 62 miliar, tumbuh sekitar 7–8% dibanding tahun sebelumnya. Proyeksi untuk 2025 membayangkan GMV akan mencapai kisaran USD 85-90 miliar, meningkat sekitar 20-25% dibanding 2024.
GMV ekonomi digital Indonesia lebih luas (termasuk transport, makanan online, fintech, media online) diproyeksikan mencapai USD 110 miliar pada 2025 oleh laporan Google-Temasek-Bain & Company. Dari total itu, e-commerce tetap penyumbang terbesar.
Dari sisi kontribusi platform: pada 2022, Shopee menyumbang sekitar 36% dari total GMV marketplace e-commerce Indonesia (~USD 51,9 miliar atau sekitar Rp 773,7 triliun), diikuti Tokopedia dengan ~35%. Lazada dan Bukalapak masing-masing sekitar 10%, TikTok Shop ~5%, dan BliBli ~4%.
Tapi bukan hanya soal GMV total, market share akses konsumen juga penting: Shopee lebih dari separuh suara akses masyarakat; TikTok Shop berkembang cepat; Tokopedia dan Lazada mulai “dipencet” dalam hal akses dan intensitas penggunaan.
Dalam bisnis e-commerce, harga (pricing) menjadi senjata utama. Strategi diskon, voucher, gratis ongkir, flash sale — semua dipakai untuk menarik konsumen yang sensitif terhadap selisih harga kecil. Platform yang gagal menawarkan kombinasi promosi dan harga kompetitif akan kehilangan traffic dengan cepat.
Tetapi strategi harga saja tidak cukup. Logistik dan kecepatan pengiriman menjadi pembeda, terutama bagi konsumen di luar kota besar. Platform yang punya jaringan logistik kuat dan layanan antar cepat bisa mempertahankan loyalitas lebih baik.
Fitur tambahan seperti live shopping, video produk, rekomendasi berbasis algoritma, dan konten interaktif makin menjadi harapan konsumen — bukan sekadar belanja murah saja. TikTok Shop memang unggul di aspek hiburan dan interaksi, sementara Shopee dan Tokopedia berinvestasi pada fitur-pengalaman dan merchant support.
UMKM menjadi motor pertumbuhan: banyak kecil dan menengah usaha yang bergabung di e-commerce, memanfaatkan marketplace populer dan promosi platform besar untuk menjangkau pasar lebih luas. Tapi biaya promosi dan marjin tetap tantangan utama bagi mereka.
Pemain lokal yang lebih kecil seperti BliBli menghadapi dua tekanan besar: keterbatasan anggaran untuk marketing/promosi dan kalah dalam skala logistis. Tanpa investasi besar atau diferensiasi yang kuat, peluangnya makin mengecil.
Regulasi mulai memberi efek: persetujuan akuisisi Tokopedia oleh TikTok, aturan perlindungan konsumen, bahkan kebijakan terhadap promosi diskon ekstrem, semua menciptakan medan persaingan yang lebih tersentralisasi dan terukur.
Tren ke depan menunjukkan bahwa GMV e-commerce Indonesia bisa melampaui angka USD 100 miliar dalam beberapa tahun setelah 2025 jika pertumbuhan sekitar 20-25% per tahun tetap terjaga dan infrastruktur logistik merata ke daerah luar Jawa.
Teknologi pembayaran digital dan opsi kredit konsumen (yang memadukan e-wallet, COD, kartu kredit) ikut mendorong konversi. Konsumen makin mudah melakukan checkout, meningkatkan frekuensi transaksi.
Persaingan antar platform juga melibatkan fitur customer experience seperti retur barang, keamanan transaksi, ulasan pembeli, keaslian produk — aspek ini makin menjadi faktor pembeda, terutama di segmen produk bermerek atau bermutu tinggi.
Dalam hal inovasi, pemain harus terus menyesuaikan UX aplikasi mobile: kecepatan load aplikasi, antarmuka intuitif, navigasi mudah, sistem pencarian produk efektif. Ini karena mayoritas akses konsumen ke e-commerce melalui mobile.
Shopee, dengan ekosistem besar, modal promosi kuat, dan penetrasi offline-online, masih memegang keunggulan yang signifikan. Tokopedia meskipun punya reputasi dan ekosistem lokal, harus terus memperbarui dirinya agar tetap kompetitif menghadapi agresi TikTok Shop dan fitur promosi Shopee yang agresif.
Kesimpulan data: e-commerce Indonesia pada 2025 bukan hanya soal siapa paling murah, tetapi siapa paling gesit berinovasi, paling kuat infrastruktur logistiknya, paling taktis dalam strategi harga + pengalaman pengguna. Pemain dengan gabungan tersebutlah yang akan memimpin dalam dekade mendatang. (RED)