Bagi kalangan pengusaha muda Sumatera Utara, nama Musa Rajecksjah sudah sangat dikenal. Ia seorang pebisniis muda yang berbakat dan juga aktifis di berbagai kegiatan sosial. Musa adalah penerus dari bisnis keluarga, Group ALAM, yang dirintis oleh ayahnya, Haji Anif Shah.
Ayah Musa, Haji Anif, dikenal luas karena kedermawanan dan kesuksesannya sebagai pengusaha di Medan. Apalagi Anif dan keluarganya cukup aktif di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan Sumut.
Anif adalah pengusaha dengan multi bisnis yang juga membangun usahanya dari bawah. Kini Group Anugerah Langkat Makmur (ALAM) miliknya mencakup bisnis perkebunan dan pabrik kelapa sawit, properti, kompos, SPBU, sarang burung walet, dll.
Masyarakat Sumatera Utara, apalagi orang Medan, juga mengenal Group Alam karena kesuksesannya membangun mega perumahan mewah di Medan, Komplek Cemara Asri dan Cemara Abadi.
Maklum, komplek perumahan ini terbilang terbilang paling mewah di Medan selain Komplek Setiabudi. Di Perumahan Cemara Asri tidak sulit mencari rumah yang harga per unit diatas Rp 2,5 miliar. “Kami punya sekitar 300 hektar tanah di komplek ini, tapi yang dibuka baru 130 ha,” kata Musa Rajecksjah, putra Anif yang ditugasi sebagai direktur utama PT Anugerah Langkat Makmur.
Group ini mulai menggeluti bisnis perkebunan sawit tahu 1982. “Waktu itu perkebunan sawit di Sumut belum populer. Tanah masih murah dan pemainnya sedikit,” ujar Musa yang juga pembalap dan Ketua IMI Sumut itu. Anif mulai membuka usaha perkebunan dengan skala kecil. Awalnya hanya sektar 1.500 ha di Langkat.
Namun dari situ terus dikembangkan. Kalau awalnya hanya punya lahan di Langkat, kini sudah punya di Deli Serdang, Mandailing Natal dan Riau. “Total lahan kita sekitar 30 ribu ha,” jelas Musa yang mulai dilibatkan mengelola bisnis sawit keluarga sejak 2004. Yang jelas, meski Alam sudah punya pabrik PKS di Langkat, berencana membangun 4 pabrik PKS lagi dari.
Salah satu yang menonjol dari prestasi perkebunan ALAM Group dibanding perkebunan swasta lainnya ialah soal manajemen plasma dan kemitraan dengan petani. ALAM Group memang ingin maju bersama petani di lingkungan kebunnya. Tak heran, seperti di Mandailing Natal misalnya, ALAM punya 3.000 petani plasma.
Sementara di Langkat 233 KK. Bila perusahaan perkebunan lain, sesuai aturan pemerintah, memberi lahan ke petani plasma per KK seluas 2 hektar, maka ALAM memberi per KK seluas 3 ha. “Karena itu di kebun kami hubungan dengan petani sangat baik dan beberapa kali mendapatkan penghargaan dari pemerintah,” papar Musa yang juga menjelaskan kebun dan pabriknya pernah menjadi studi banding Kementrian Pertanian Belanda.
Musa yang biasa dipanggil Ijeck sendiri bertekad mengembangkan bisnis perkebunan keluarganya dan kedepan bisnis perkebunan akan menjadi core selain pengembangan perumahan.
Tak heran, meski perusahaan daerah, pihaknya serius belajar manajemen modern dengan mengundang konsultan ISO dunia, TÜV Rheinland Group. “Awalnya hanya ingin belajar dari mereka, tidak tahunya mereka menyarankan sekalian sertiifikasi dan audit,” tutur penggemar Harley Davidson ini menjelaskan perusahaannya sudah mendapatkan ISO 9001: 2000.
Karena implementasi konsep manajemen modern pula, maka ketika harga CPO pernah jatuh tahun 2008 pihaknya bisa selamat. “Waktu itu kita sempat rugi juga, tiga bulan. Cuma karena kita bisa mengelola cadangan dana dan yakin suatu saat harga akan bagkit, maka bisa selamat”. Ini berbeda dengan para petani yang banyak gulung tikar karena mereka tidak mengelola dana cadangan dengan baik.
Selain perkebunan, properti, SPBU, ALAM Group juga sudah mulai masuk di bisnis pengolahan kompos, mengolah limbah CPO. Adapun bisnis walet gua di pinggiran Sumut lebih banyak dimanfaatkan untuk membantu masyarakat di tiga desa di sekitar gua, baik untuk mendirikan sekolah, menaikkan haji petani, maupun memberi beasiwa. “Bisnis walet sudah tidak kita konsolidasikan keuangannya ke group karena Bapak saya maunya untuk kegiatan sosial saja,” tutur Ijeck.
Menurut Ijeck, ia banyak berlajar dari ayahandanya yang memang banyak berderma sebagai bagian dari syukur karena diberi kemurahan rejeki oleh Yang Diatas.
“Orang tua saya dulu orang susah Pak. Pernah karena nggak punya beras, beras yang ada dijadikan bubur supaya bisa dibagi banyak orang, 9 anak. Dulu kita nggak punya TV dan bapak saya merasa tersayat untuk bangkit ketika mendengar cerita ada anaknya yang tidak boleh nonton TV tetangga,” kenang Ijeck.