Perusahaan-perusahaan piranti lunak dalam negeri nampaknya tak perlu lagi minder bersaing dengan software house multinasional sekelas SAP, Oracle, Peoplesoft, JD Edward dan sejenisnya. Nyatanya, banyak software house lokal yang sudah membuktikan bahwa produk mereka tak kalah hebat. Bahkan dalam banyak kasus, softwarehouse lokal lebih mumpuni dalam membantu manajemen informasi di perusahaan-perusahaan klien. Tak sedikit diantara mereka yang sudah mencapai level kemampuan itu. Satu diantaranya Dataon (PT. Indodev Niaga Internet), software house lokal yang mengusung merek DataOn.
DataOn selama ini lebih banyak bermain untuk software pengelolaan informasi SDM yang diberi nama SunFish Human Resources – namun juga mengeluarkan produk ERP (Enterprise Resources Planning). Tak salah kalau SunFish HR terbilang software yang sukses berkembang. Hal ini tak sulit dideteksi dari sederet portofolio kliennya yang terdiri dari perusahaan-perusahaan ternama.
Mulai dari Banpu Group, BCA Finance, Komatsu Indonesia, Asuransi Astra Buana, JW Marrot Jakarta, Hotel Mulia, Samudera Indonesia, Group Indika, Bali Hyatt, Schott Igar Glass, Semen Padang, Ritz Carlton Jakarta, UOB Buana, Mandom Corporation, Anugerah Group (Anugerah Pharmindo Lestari dll), RCTI, Global TV, Apexindo, Placific Place, Four Season Hotel, dan sederet nama lain.
Malahan kliennya sudah mencapai kawasan Timur Tengah. Bulan November 2008 lalu, Sunfish HR terpilih sebagai software untuk Hyatt Group Uni Emirat Arab. Software tersebut yang akan diimplementasikan untuk lima hotel mereka yaitu Grand Park Hyatt Dubai, Grand Hyatt Dubai, Grand Hyatt Residence, Hyatt Regency Dubai, dan Galleria Dubai.
Tak bisa disepelekan, memang. Hanya saja, penetrasi di bisnis yang marketnya sudah dikuasai pemain-pemain global sebagaimana di bisnis TI itu memang bukan pekerjaan gampang dan pasti diwarnai banyak tantangan. Mulai dari tantangan bagaimana membangun image agar dipercaya klien perusahaan-perusahaan Indonesia yang umumnya masih multinational minded, hingga bagaimana menjalankan proses product development yang baik agar bisa menghasilkan software yang benar-benar handal dan memuaskan klien. DataOn pun tak luput dari tantangan-tantangan seperti itu.
DataOn sendiri mulai dirintis tahun 1999. Pendirinya sebenarnya orang Korea yang berkewarganegaraan Indonesia, Kim Yook Chan. Hanya saja Kim tidak banyak terlibat di pengelolaan operasional karena yang aktif mengelola adalah Gordon Enns (presdir) dan Jimmy Widjojoarto (GM Operasional).
Gordon Enns sendiri merupakan profesional warga negara Kanada yang memang punya pengalaman di industri TI, yaitu di Sanchez Solution. Terakhir, lulusan University of Victoria Kanada itu menduduki posisi koordinator wilayah Asia Pacific Sanchez Solutions. Sementara Jimmy yang tamatan University of Southern California (USA), sebelumnya berkerja di salah satu grup perusahaan di bidang garmen.
Tahun-tahun awal berdirinya DataOn penuh keprihatinan. Bak orang yang sedang berpuasa. “Selama tiga tahun pertama DataOn tidak menjual software. Kami hanya terus mencoba bikin software sehingga tidak ada revenue. No money,” Gordon Enns mengkilas balik.
Praktis, tiga tahun itu merupakan tahun investasi yang penuh teka-teki. Jangankan produknya laku atau tidak, produk akhirnya akan seperti apa saja belum ketahuan. Penuh pertaruhan. Hanya pemilik modal dan pengelola dengan keyakinan sukses kuat yang memungkinkan proyek bisnis tersebut terus dilanjutkan.
Manajemen DataOn sangat tertantang untuk membuktikan bahwa software yang dikembangkan programer lokal pun bisa bersaing dengan software asing. “Prinsip kita, jangan sampai ketika membuat software hanya seperti jualan kemasan box namun harus benar-benar mampu menawarkan jalan keluar,” terang Gordon.
Sejak awal DataOn memang fokus untuk mengembangkan software pengelolaan SDM di perusahaaan karena meski saat itu sudah cukup banyak perusahaan pembuat software namun belum ada yang fokus di SDM. Software ini nampaknya dirancang cukup matang dan manajemen DataOn tak ingin tanggung-tanggung.
Setelah melalui proses product development yang panjang, software HR tersebut kemudian diluncurkan ke pasar dan diberi nama SunFish HR. Program itu pula yang kini menjadi unggulan DataOn di bisnis TI.
Dengan SunFish, kata Gordon, bisa mengatur secara online sistem administrasi masing-masing karyawan termasuk waktu kedatangan dan pulang karyawan, manajemen penggajian, jenjang karir, pelatihan, dan manajemen berbasis kompetensi. Malahan bisa juga bisa untuk menghitung Return on Investment (ROI)
SunFish menawarkan program yang fleksibel dan lebih customized. Hal ini antara lain tergambar dari fitur yang tersedia dalam multi bahasa (Inggris, China, Indonesia dan Jerman) — dibuat dengan pemrograman komputer berbasis Java. Lalu, penghitungan sistem gaji karyawan juga bisa menggunakan beberapa mata uang seperti rupiah, dollar Amerika, dolar Singapura, dan lainnya. Hal ini penting mengingat DataOn dari awal memang diproyeksikan menjadi perusahaan software global.
Banyak Dibaca :
Dengan kepercayaan diri bahwa produk yang dibuat memang qualified, tim DataOn pelan-pelan mencoba untuk memasarkan poduknya. “Klien pertama kami adalah Indika Group,” ujar Jimmy Widjojoarto, GM DataOn. Indika Group sendiri punya berbagai bisnis, dari mulai media radio hingga energi. Ketika itu Indika memerlukan sistem yang bisa mengatur manajemen waktu karyawan. “Dengan menggunakan SunFish, Indika terbantu menentukan waktu kedatangan dan kepulangan karyawan. Software ini sangat membantu merek dalam menjalankan bisnis penyiaran,” kata Jimmy.
Setelah itu, Indosat Mega Media (IM2) juga berhasil dirangkul sebagai klien. “Mereka mencari vendor lokal yang fleksibel dan bisa merubah sistem HR mereka,” ulas Jimmy kembali. Seterusnya juga PT Samudera Indonesia Tbk yang mempunyai karyawan 3.000 orang. “Mereka perlu mengintegrasikan lebih dari 100 unit bisnis dengan manajemen SDM yang berbeda-beda, hingga menjadi satu walam wadah yang sama dengan sistem manajemen SDM yang sama,” kenang Jimmy.
Praktis, setelah beberapa perusahaan besar sekelas Samudera Indonesia, IM2 dan Indioka Group percaya, semakin banyak pula klien-klien baru berhasil didapat. “Sekarang jumlah klien kami lebih dari 100 perusahaan,” ujar Gordon Enns. Tak sedikit dari klien DataOn yang merupakan perusahaan asing (PMA) dan terbuka (Tbk). “Beberapa PMA ada yang menggunakan software dari vendor asing namun sekaligus vendor lokal seperti kami,”ungkap Gordon.
Gordon tak menampik fakta di kalangan perusahaan lokal mulai terjadi apresiasi positif terhadap software lokal.
Tahun 1990-an, kebanyakan perusahaan lokal belum menyadari betapa pentingnya manajemen SDM. Investasi pembelian software belum dianggap penting. “Namun lambat laun kesadaran mereka bertumbuh. Awal tahun 2000 mulai banyak perusahaan terutama industri perbankan, keuangan, perhotelan dan TI yang mulai melirik dan menganggap investasi software SDM sangat penting,” jelas Gordon.
Selama ini umumnya perusahaan Indonesia yang membeli software asing sebagai in-house software hanya menggunakan bagian tertentu saja. “Karena sangat mahal sehingga beli sebagian saja misalnya mengenai sistem penggajian. Selebihnya menggunakan software SDM yang dikembangkan perusahaan lokal seperti Indodev,” terang Gordon. Dalam dugaan Gordon, DataOn kini mengambil 20% market share software SDM.
“Tapi saya juga tidak tahu persisnya karena memang belum ada penelitian dibanding pemain lain,” akunya. Namun ia berani meyakinkan bahwa market share-nya siggnfikan. “Karena kami mampu menunjukkan diferensiasi,” klaim Gordon.
Kemampuan mengkostumisasi (customizing), nampak aspek itulah keunggulan yang diusung DataOn. Software vendor lain, klaim Jimmy, lebih banyak membuat klien harus menyesuaikan pada aturan impelentasi software itu. “Ini berbeda dengan SunFish, karena memungkinkan programnya yang mengikuti proses bisnis di klien,” tegas Jimmy yang kelahiran Jakarta 22 Oktober 1963.
SunFish juga mungkin disesuaikan dengan peraturan tenaga kerja di masing-masing negara. Misalnya saja di Indonesia, software harus menyesuikan peraturan tenaga kerja menyangkut pembayaran upah serta pembayaran pensiun. Jika perubahan kebijakan Departemen Tenaga Kerja, Jamsostek dan Direktorat Jenderal Pajak berubah, software pun ikut menyesuaikan.
“Sofware HR di Indonesia cukup berbeda dengan software HR di negara lain seperti Jerman dan Amerika Serikat. Disini pembuatan software dipengaruhi kebijakan peraturan Depnakertrans dan Jamsostek,” tambah Jimmy. Tak heran, ketika belum lama ini pemerintah memberlakukan sistem pajak baru Sunset Policy, maka sistem di Sunfish juga langsung disesuaikan.
SunFish mencakup integrasi strategi manajemen SDM. Tidak hanya sistem adminstrasi dasar yang menjadi kelebihan SunFish, klien bisa menggunakan software ini untuk perencanaan karir karyawan, pelatihan dan manajemen berbasis kompetensi, memantau target penghasilan karyawan dan kemampuan perusahaan, memudahkan perhitungan Balance Scorecard, dll.
Maklum, fitur yang ada di Sunfish meliputi personnel administration, organization management, compenzation management, time and attendance, reimbursement management, notification and alert, appraisal management, career and succession planning, training management, recruitment and selection, dan competency management.
Contoh kasus menarik di perusahaan pengelasan yang dipasang SunFish. Bonus prestasi di perusahaan pengelasan itu didasarkan atas berapa banyak hasil las masing-masing karyawan per harinya. “Karena itu software dibuat terkoneksi pada mesin pengelasan. Secara otomatis, mesin tersebut akan menghitung berapa banyak hasil las per hari masing-masing karyawan. Itu menjadi pedoman bonus prestasi dalam sebulan,” jelas Gordon lebih lanjut.
- Aneka Cara Untuk Mengamankan Cashflow Perusahaan
- Daftar Investor Luar Negeri Yang Berminat Membangun Joint Venture
- Cari Utang Korporasi Berbunga Rendah ?
Barangkali menarik menyimak PT Komatsu Indonesia yang sejak Januari 2006 juga merupakan pelanggan SunFish dari DataOn. Agustinus Setiawan, Manajer Personalia PT. Komatsu Indonesia (KI), menjelaskan pihaknya punya beberapa alasan memilih SunFish. Antara lain karena harga lebih murah ketimbang sistem yang dikembangkan perusahaan asing.
“Software luar negeri bisanya mematok harga berdasarkan berapa jumlah karyawan, seolah semua karyawan adalah user terhadap suatu program. Sedangkan SunFish menggunakan perhitungan atas seberapa banyak user yang menggunakan sistem ini,” jelasnya.
Harga SunFish untuk KI dengan jumlah karyawan 1.500 orang, berkisar ratusan juta rupiah. “Tetap ada perhitungannya. Namun harganya tidak terlalu mahal,”jelasnya. Selain itu sistemnya cukup lengkap. “Bukan berarti vendor semacam SAP tidak menawarkan program untuk pengelolaan SDM, namun ia tidak mempunyai program selengkap SunFish,” katanya. Selain itu servis purna jualnya juga baik.
Dari sisi pemasaran, sejak awal berdiri DataOn tak pernah menawarkan promosi dengan penjualan sofware secara gratis. “Namun untuk Indonesia, mulai bulan bulan Juli 2008 kami menawarkan pengunduhan software gratis untuk sistem sederhana seperti penggajian, registrasi Jamsostek serta penghitungan pajak,” ulas Gordon.
Software yang ditawarkan sangat bermanfat bagi perusahaan skala UKM. Mereka bisa langsung mengunduh dari website. Jika mereka menginginkan sistem dengan kemampuan lebih lanjut seperti perencanaan kompetensi, prestasi manajemen, Balance Scorecard, akan dikenakan biaya. “Kami mengharapkan, setelah menggunakan sistem dasar yang gratis itu, mereka akan menggunakan servis kami yang lain,” harap Gordon tentang kiat marketingnya.
Selama ini DataOn menentukan harga per proyek yang beragam bagi pelangganya, tergantung berapa banyak user-nya. Mulai dari Rp 50 juta sampai miliaran rupiah. Gordon mencontohkan perusahaan dengan jumlah 100 karyawan yang mengunduh SunFish versi Enterprise alias komplit dikenakan charge sekitar Rp.100-200 juta. “Pelayanan itu sudah keseluruhan sistem termasuk pelatihan para operatornya,” katanya.
DataOn sendiri pemasarannya lebih banyak menggunakan cara presentasi ke calon-calon klien. Umumnya klien bisa diperoleh setelah 3-6 bulan setelah presentasi. Kurun waktu tersebut biasa dipakai calon klien untuk mengenal lebih dalam mengenai produk DataOn. Selain kecocokan pelayanan, yang sering menjadi pertimbangan soal harga.
“Pembeli sangat berhati-hati membeli software,” katanya. Jimmy juga mengakui banyak calon pelanggan yang hati-phati karena pernah mengalami kegagalan. Entah karena software lama tidak bisa diimplementasikan sesuai kebutuhan klien, tidak komplit atau layanan purna jualnya kurang baik. Atau malah soffweare sudah dibeli namun tidak bisa running.
Tak bisa bisa dipungkiri, ada banyak pesaing di bisnis software SDMi. Namun Gordon tak khawatir akan tersalip. “Vendor lain hanya fokus pada sistem penggajian, sedangkan kami menawarkan solusi keseluruhan,” klaim Gordon. Optimismesnya juga karena makin banyak perusahaan yang memikirkan bagaimana karyawan bisa lebih efektif dalam bekerja.
“Apalagi dengan adanya krisis finansial global, software SDM salah satu solusinya. Ketika penghitungan gaji, pajak penghasilan, cuti, absensi sudah ditangani oleh SunFish, departemen SDM bisa lebih leluasa fokus pada pengembangan pelatihan karyawan dan manajemen karir karyawan,” sahut Jimmy.
DataOn sendiri tak ingin sekedar menjadi jago kandang, tak heran, sejak tahun 2001 sudah membuka cabang di Jerman, melalui DataOn Detschland Gmbh di Berlin. Selain itu juga mendirikan kantor distrinusi di Thailand yang mengurusi distribusi wilayah Filipina, Thailand, Malaysia dan Vietnam.
Saat ini DataOn sedang mengadakan persiapan penempatan instalatir software di beberapa negara diatas. Bulan Januari 2009 ini akan menempatkan programer dan instalatir di Vietnam. Sedangkan Maret akan menempatkan di Malaysia dan Filipina. “Sulit bila penjualan sekaligus implementasi semuanya didatangkan dari Indonesia,” ungkapnya.
Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia mencatat sekarang ini terjadi trend positif di bisnis software SDM lokal. Secara umum, pasar software untuk yang perusahaan-perusahaan besar (highend) memang masih dikuasai oleh pemain-pemain asing seperti Oracle, SAP dan Peoplesoft. Namun belakangan pasar para pemain lokal makin berjkembang. Apalagi di perusahaan menengah dan kecil, pemain lokal makin banyak.
Pada umumnya pemain-pemain lokal tak bermain dengan hanya jualan software, melainkan juga jualan services sehingga nanti biasa dengan menghitung berapa jumlah karyawannya dan kemudian dikalikan dengan biaya tertentu untuk pelayanan. Pemain lokal biasanya lebih fleksibel.
Memang sangat masuk akal bila pemain-pemain software lokal bidang SDM tumbuh karena memang seandainya klien memakai softeware asing pun pasti ada komponen-komponen yang harus dilokalisasi. Misalnya soal aturan-aturan perpajakan dan ketenegakerjaan. Jadi keunggulan mereka karena mengusung aspek lokal ini.