Perjalanan hidup tidaklah linear. Kegagalan dan kesulitan tak perlu disesali berlebihan karena semuanya bisa diselesaikan bila mengerahkan seluruh kesungguhan dan kemampuan. Kesuksesan hanyalah sebuah garis lanjut ketika siapapun mau menekuni bidang yang menjadi spesialisasinya secara fokus dan terus mengembangkan diri. Prinsip itu tampaknya menjadi senjata andalan bagi Budi Permana dan lima kawannya dalam berwirausaha di bisnis telko, mengibarkan Group Hariff. Mengaplikasikan prinsip tersebut, Budi dkk sanggup memiliki perusahaan telko yang memperkerjakan 700 karyawan.
Group Hariff (GH) yang asal Bandung ini tak salah bila disebut sebagai salah satu pemain lokal besar besar di bisnis yang digeluti. GH memang punya banyak anak usaha namun semuanya fokus. Tak ada yang keluar dari bisnis intinya, bisnis telko. Gh memproduksi perangkat mekanik untuk menunjang industri infrastruktur telko. Mulai dari pembuatan power system, alat transmisi, pembuatan BTS baik yang mobile maupun fix, produk berbasis WiMax, hingga penyedia jaringan broadband wireless access.
HG menekuni mulai dari pelayanan jasa teknisnya, perencanaan sistem, pabrikasi hingga produk dan layanan lain yang dikembangkan dengan sistem turnkey project untuk pelaku telko. Pelanggannya hampir seluruh operator seluler di tanah air. Menarik, bila dulu perusahaan ini dibangun enam sekawan tanpa modal uang, kini sudah punya pabrik dan perkantoran seluas 1,3 ha di Jl Soekarno-Hatta Bandung. Kisaran omset tahunan Hariff Grup sudah ratusan miliar, menampung 700 karyawan tersebar di berbagai cabang dan unit bisnisnya.
Kehadiran Hariff Group memang menjadi antitesis dari paradgima bahwa para entrepreneur lokal hanya bisa sukses di bisnis-bisnis yang tak perlu ‘putar otak’ banyak serta di segmen produk non value added. Sangat pantas kalau awal tahun 2009 ini Hariff Group menerima penghargaan Rintisan Teknologi dari Presiden RI atas prestasinya dalam melakukan invensi (penciptaan atau perancangan) teknologi di berbagai bidang yang digarapnya.
Bila dikilas balik, cikal-bakal Group Hariff dimulai dengan berkumpulnya 6 sekawan — lima diantarannya jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) — tahun 1982. Sejak awal mereka ingin mendirikan perusahaan bidang telekomunikasi. “Keenam orang ini pada dasarnya memang tukang ngoprek (suka utak-atik) barang. Tapi kita juga punya mimpi untuk meningkatkan produksi dalam negeri lewat kemampuan anak bangsa,” jelas Budi Permana, satu dari enam sekawan itu yang sekarang didapok sebagai President Director PT Hariff Daya Tunggal Engineering.
Mereka berenam sebelumnya aktif di Radio 8 EH ITB — radio siaran mahasiswa ITB — yang begitu lulus lalu memencar untuk mencari namun kemudian bertemu dan bersama lagi. “Ada sejarah cukup panjang sebelumnya, satu sama lain sudah percaya, lalu bertemu lagi bikin usaha,” ujar Budi Permana yang lulusan Teknik Elektro ITB angkatan ’74’ ini.
Awalnya aktifitas usaha yang didirikan bergerak di proyek telekomunikasi HF, VHF dan UHF. Lalu, tahun 1986, juga sempat membuat perusahaan konsultan telko. Pengalaman selama menjalankan usaha-usaha awal itu rupanya menghasilkan jaringan dan kepercayaan terhadap kemampuan enam sekawan ini di dunia infrastuktur telko.
Dua tahun kemudian, 1988, mereka mendapatkan proyek besar di Sangatta, Kutai, Kalimantan Timur. Namun menemui kendala karena belum punya bendera perusahaan yang bisa dijadikan kendaraan untuk ikut tender proyek. Akhirnya, mereka mengakuisisi perusahaan bidang general trading bernama PT Hariff Tunggal Engineering, milik Ahmad Shukri Bay yang saat ini menjadi komisarisnya.
Proyek pertama Hariff, mendirikan stasiun bumi di PT Kaltim Prima Coal, Kutai, Kalimantan Timur. Ia teringat, dalam mengerjakan proyek itu pihaknya tidak punya modal uang, hanya berbekal kepercayaan mitra. Padahal nilai proyeknya Rp 2,3 miliar. Angka yang terbilang untuk saat itu, apalagi bagi entrepreneur pemula. Mereka mampu menjalankan proyek itu karena kepercayaan pihak bank.
“Kepada bank saya jelaskan bahwa kita punya bisnis dengan prospek seperti ini, kemampuan kita begini. Saya modal dengkul tidak punya apa-apa. Untungnya pada saat itu pemberian pembiayaan dari bank bagitu mudah sehingga soal keuangan tidak menjadi masalah,” kenang laki-laki kelahiran Tasik 8 Februari 1954 ini.
Toh demikian, dalam perjalanannya, dua tahun kemudian bisnis mereka kurang mulus. Memang perusahaan itu punya proyek namun secara keseluruhan operasi bisnisnya merugi. Tak heran, bank juga memasukkannya sebagai perusahaan tak layak kredit. Tak pelak lagi, Budi ikut pusing tujuh-keliling saat itu, walaupun posisinya bukanlah orang nomor atau dirut sebagaimana saat ini. Sebenarnya, ditengah perusahaan patungan yang gonjang-ganjing itu bisa saja Budi cabut keluar dan memilih bergabung di perusahaan mapan yang memang banyak yang membutuhkan tenaga ahli seperti dirinya. Hanya saja, di benaknya terbayang-bayang nasib 15 karyawan lainnya yang menggantungkan hidup dari perusahaan itu.
Buramnya kondisi perusahaan tersebut akhirnya justru melecutnya untuk bertahan dan mengembangkan agar lebih maju. Gayung bersambut, mulai tahun 1991 ia didapok untuk mengambil alih nahkoda perusahaan, menjadi presiden direktur. Ia lalu mencoba menstimulir timnya untuk mencari peluang-peluang baru agar perusahaan bisa bertahan. Tak heran, tak lama setelah itu Hariff mulai banyak menggarap proyek jaringan kabel telepon di Surabaya, Jakarta dan Batam.
Lalu, tahun 1994 saat teknologi telepon seluler mulai muncul, Hariff juga mulai ikut terjun sebagai penyedia infrastruktur. Ia menawarkan jasanya ke perusahaan-perusahaan operator seluler. Cara ini tak terlalu sulit dilakukan karena sebelumnya rata-rata pemain seluler sudah kenal dan percaya dengan awak Hariff. Di industri seluler, sejak awal produk yang disediakan Hariff ialah power system — unit alat yang merupakan bagian dari base transceiver station (BTS). Penemuan bisnis power system merupakan berkah tersendiri bagi Hariff karena dalam perjalanannya, bisnis itu mampu menjadi tulang punggung. “Bahkan hingga saat ini produk ini menjadi kontribusi terbesar perusahaan,” Budi jujur mengakuinya.
Tak lama setelah mengeluakan power system, Hariff juga mengembangkan perangkat mobile BTS. Tak ubahnya BTS, mobile BTS juga sangat dibutuhkan perusahaan operator seluler untuk menjalan bisnis seluler. Bedanya, Mobile BTS digunakan untuk daerah-daerah yang belum terjangkau. Ia juga bisa berfungsi sebagai alat pemancing sekaligus alat survei jumlah customer.
Misal ada suatu daerah yang belum terjangkau jaringan (belum ada BTS-nya), maka dipasanglah mobile BTS. Ketika responnya tampak bagus atau jumlah customer sudah banyak baru kemudian dibangun BTS permanen. “Kalau harus membangun fixed BTS butuh waktu lama. Kalau mesti nunggu BTS fix bisa kalah cepat, pelanggan keduluan direbut operator lain,” Budi menjelaskan kenapa mobile BTS banyak dibutuhkan. Yang menarik, di bisnis mobile BTS ini Hariff merupakan pelopor dan hingga kini jumlah produksinya sudah lebih dari 3 ribu unit.
Pada tahun 2000 GH ingin memperluas bisnisnya di bidang telko sehingga mendirikan anak perusahaan lagi. Budi dkk memimpikan sebanyak mungkin pekerjaan telko di Indonesia dikerjakan perusahaan lokal. Hariff yang sebelumnya lebih banyak bermain di sisi elektroniknya kemudian juga tertarik ke industri mekanikal-nya. Maka didirikanlah PT Telehouse Engineering (Telehouse). Telehouse membuat perangkat mekanik untuk menunjang industri infrastruktur telko, contohnya membuat tower BTS.
“Omset Telehouse tahun kemarin Rp 230 miliar dan bisa membangun hingga 7000 BTS dalam satu tahun,” ujar Budi seraya menjelaskan pihaknya punya perwakilan di 32 kota Indonesia untuk membantu service dan logistik dari bisnis ini. Tak hanya itu, di tahun 2004 juga mendirikan PT Sarana Inti Persada (SIP) yang bisnisnya menyewakan infrastruktur telko.
Maklum, makin banyak perusahaan operator seluler yang tidak ingin membangun sendiri infrastruktur BTS-nya, namun menyewa milik pihak ketiga seperti SIP. Dalam lingkup Group Hariff, SIP sekaligus juga ditujukan untuk menampung produk-produk Telehouse. Hingga saat ini ada sekitar 110 tower yang telah dibangun dan disewakan oleh SIP. Baik Telehouse maupun SIP merupakan pilar penting GH saat ini.
Rupanya kesuksesan demi kesuksesan yang sudah diraih tak membuat punggawa GH puas. Terbukti mereka terus melakukan investasi di ceruk-ceruk baru bisnis telko. Tahun 2006, contohnya, Hariff masuk mengerjakan proyek WiMax. Budi dkk merasa tertantang ketika pemerintah menawarkan tender teknologi pita lebar (broadband wireless access/BWA) dengan memprioritaskan konten lokal.
“Apa betul? Saya bergerak di industri ini sejak tahun 80-an dan tidak pernah ada local content. Local content tidak lebih dari 5%. Pengalaman sebelumnya menunjukkan betapa sulit meyakinkan customer karena sudah minded dengan produk luar. Padahal kita ini negara customer, negara lain berebut menjual ke sini,” ujarnya dengan nada menggebu-gebu.
Sebab itu, ketika pemerintah mengumumkan tender BWA Budi dkk sangat antusias menyambutnya. Mereka punya keyakinan dengan menggunakan perangkat dalam negeri, perusahaan operator akan mendapatkan harga jauh lebih murah, bisa menghemat 50%. GH berinvestasi awal Rp 10 miliar di bisnis Wimax. Untuk mewadahi bisnis BWA, manajemen GH mendirikan anak usaha baru, PT Telemedia Nusantara.
Tahun 2008, GH punya peluang manis untuk mengakuisisi perusahaan yang memiliki lisensi BWA 3,3 GHz, yakni PT Starcom Solusindo (Starcom). “Itu kesempatan bagus bagi kami sehingga kami punya radio, punya lisensi dan frekuensinya. Makanya bisa menjadi operator. Kita bisa menyediakan internet murah,” katanya sumringah.
Starcom yang 100% sahamnya diakusisi Group Hariff itu hingga April 2009 akan mengembangkan pasar dan jaringan di 11 region dari target 14 region. “Yang sudah dipasang di Batam, Kalimantan, Bangka, dan Bali. Untuk Surabaya sedang digarap,” terang Budi. Selanjutnya manajemen GH berencana menggabungkan (merger) Starcom dengan PT Telemedia Nusantara. Maklum, Telemedia Nusantara punya lisensi ISP sehingga kalau digabung akan sangat sinergis.
Sekilas perjalanan bisnis GH tampak mulus. Padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Pada saat krismon 1998 contohnya, GH juga terpukul. Bisnisnya mengkeret. Hanya saja GH bisa menjadikan krisis ekonomi sebagai peluang. Pada saat itu, tim R&D GH berhasil membuat suatu perangkat yang fungsinya untuk menggandakan kemampuan transmisi.
Menurut Budi, hanya ada 5 perusahaan di dunia yang bisa membuat perangkat serupa, dan GH bisa menjual hingga ratusan modul. Apalagi harganya mampu bersaing dengan produk impor, karena harganya 80% lebih murah. “Saat itu untuk mendapatkan alat ini begitu sulit. Transmisi masih jarang. Umumnya perusahaan menggunakan teknologi microwave yang kapasitasnya hanya 4 MB. Nah alat itu bisa berfungsi sebagai penggada sehingga kemampuan transmisinya bisa 8 MB,” ujarnya.
Yang menarik, saat krismin GH punya stok produk barang itu cukup banyak yang dibiayai dengan harga produksi waktu ikurs dollar masih Rp 2500 sementara dijual dengan harga ketika USD sudah melonjak hingga level Rp 16 ribu. Tak heran, walau omset GH saat itu turun dari Rp 20 miliar menjadi Rp 5 miliar, tetapi karena semuanya produk stok dari barang lama sehingga tak perlu cost produksi lagi, maka GH bisa menuai untung. “Itulah yang menyelamatkan perusahaan ini dari bahtera krismon. Kami bisa hidup tanpa ada PHK,” kata Budi mengenang. Yang jelas, setelah krismon, kinerja GH bak anak panah yang dilepaskan dari busur. Melesat. Omset GH tumbuh terus berlipat-lipat tiap tahunnya dan tahun lalu sudah mencapai Rp 800 M.
“Mensyukuri apa yang diberikan Alloh,” Budi yang terus berusaha menjadi entrepreneur spiritual ini menuturkan kunci suksesnya. Menurutnya, tidak perlu muluk-muluk mencari bisnis lain yang tidak dikuasai. “Kita fokus saja pada bidang yang kita kuasai”.
Baginya yang terpenting di binsis infrastruktur telko ini soal kepercayaan pelanggan. Faktor trust. Sebab itu, pekerjaan membina kepercayaan pula yang terus dikembangkan. Kepercayaan sendiri tercipta melalui pengalaman-pengalaman dalam pelayanan dengan cara terus memberikan solusi-solusi terbaik untuk pelanggan. “Kami punya ujung tombak di seluruh Indonesia sehingga kalau ada masalah bisa melakukan penangan cepat,” Budi menceritakan kiatnya
Promosi yang dijalankan GH lebih banyak melalui mulut ke mulut. Selain itu juga melalui personal branding dari para pimpinan GH yang memang sudah dikenal di industri seluler tanah air. Toh demikian, semua itu ujung-ujungnya tetap harus melalui profesionalisme dalam mengerjakan semua permintaan pelanggan.
Diantara mitra GH ialah Nokia Siemens Network (NSN) yang di Indonesia banyak membangun infrstruktur jaringan seluler. Hariff sudah bermitra dengan Nokia sejak 2001. NSN banyak bekerjasama dengan Hariff untuk membangun lokasi-lokasi pemancar dan penerima GSM di wilayah di Indonesia, mulai dari kota besar hingga kota kecamatan. Hariff menyediakan perangkat catuan daya yang diperlukan di lokasi.
Selain itu Nokia Siemens Network, Telkomsel juga termasuk diantara deretan mitra pelanggan GH. Telkomsel bekerja kerjasama Hariff sudah terjalin sejak Telkomsel berdiri. Hariff banyak bekerjsama dengan Telkomsel terutama untuk menyediakan power system. Ketika Telkomsel ekspansi besar-besaran dalam pembangunan BTS di berbagai daerah, Hariff banyak terlibat. Banyak perusahaan yang menawarkan power system ke Telkomsel, namun siapa yang teknologinya cocok dan harganya sesuai itu yang dipilih, Selain itu Telkomsel juga bekerjasama dengan untuk pengadaan “combat” mobile BTS yang difungsikan untuk daerah-daerah yang belum terjangkau sinyal jika ada event tertentu.
Yang jelas, sejauh ini pengalaman kerjasama dengan GH dinilai cukup memuaskan. Hariff memberikan support cukup baik. Ketika dibutuhkan bisa langsung menghandle masalah serta memberikan solusi sesuai kebutuhan. Ia punya organisasi di berbagai provinsi sehingga kalau ada gangguan pemeliharaan bisa cepat ditangani,. Tenaga ahlinya juga kompeten di bidangnya.
Pemerhati industri telko Gunawan Wibisono menimpali, sepengetahuannya Hariff merupakan perusahaan lokal di bidang pembuatan rectifier yang sangat dibutuhkan para operator telko untuk mensupport sistem catu daya. Ia melihat Hariff cukup berpengalaman dan punya SDM serta organisasi yang solid. Manajemen Hariff telah mampu menangkap peluang bisnis di telko seluler yang hampir semuanya dikuasai asing ini secara jeli. “Setahu saya dia satu-satunya pemain lokal yang memproduksi rectifier,” kata Gunawan.
Kebutuhan akan perangkat BWA (dibaca WiMAX) di Indonesia sangat besar, apalagi sekarang pemerintah mengeluarkan regulasi BWA yang membuat makin kondusif bagi perkembangan bisnis perangkat BWA. Berbicara prospek Hariff, kata Gunawan, sangat tergantung pada strategi yang dijalankan karena di segmen BWA ada kompetitor seperti TRG dan LEN yang juga pemain lokal.
Gunawan menyarankan, agar mampu terus eksis, GH mesti terus menghasilkan produk-produk perangkat telko yang mengikuti perkembangan teknologi. “Setelah WiMAX 16d tentu harus bisa dilanjutkan atau berevoluasi ke WiMAX 16eatau 16m, dan bila dimungkinkan siap-siap menangkap peluang peengembangan teknologi LTE,” pesannya. Juga perlu juga berkolaborasi dengan partner asing yang kredibel. “Kolaborasi adalah langkah yang efisien dan efektif dalam mengembangkan bisnis saat ini,” Gunawan menyarankan.
Selaku komandan GH Budi sendiri optimis industri telekomunikasi di Indonesia masih terus menarik sehingga GH tetap punya prospek cerah. “Saat Indonesia booming satelit, banyak perusahaan AS kaya raya. Begitu juga waktu booming seluler. Dan saat ini giliran WiMax. Industri seluler sudah mencapai 120 juta pelanggan dalam 15 tahun terakhir, harapannya industri WiMax juga mengalami nasib sama, semakin banyak orang yang mengakses internet,” Budi menjelaskan visinya.
Yang pasti pihaknya terus berusaha tidak tertinggal dengan cara terus melakukan inovasi. “Kita selalu berpikir untuk memberi suatu kontribusi untuk bangsa, dan kami tidak ingin jadi follower,” prinsip engineer yang suka ngoprek ini. Untuk itu pula kini pihaknya sedang menyiapkan untuk pengembangan bisnis konten yang kini juga makin dilirik kalangan network provider dan operator.
Bahkan Group Hariff kini juga sudah membangun sistem telekomunikasi yang digunakan untuk kepentingan militer dan pertempuran. Selama ini sistem pengendalian telekomunikasi militer selalu dipasok oleh oleh produsen software asing. Hal inilah yang memunculkan keprihatinan para petinggi Hariff untuk membuat solusi untuk sistem militer agar kerahasiaan negara tidak jatuh ke tangan asing.
_____________________________
Bacaan Lain:
- Banyak Investor Asing Cari Mitra Lokal, Siap Tanam Uang Modal Di Bidang-Bidang Bisnis Ini
- Mengenal Seluk-Beluk Dan Cara Kerja Private Equity
- 10 Kiat Sukses IPO: Strategi Efektif untuk Pemegang Saham dan Manajemen
- 5 Alasan Kuat Kenapa Perusahaan Harus Go Public
- Cari Perusahaan Untuk Diakuisisi Sahamnya