Apakah rezeki Anda sedang seret? Usaha terasa mandek? Bisnis seolah tidak menemukan arah meski sudah bekerja keras siang dan malam? Kadang kita lupa, bahwa pintu rezeki tidak hanya terbuka lewat kerja keras, tapi juga lewat hubungan yang kita jaga dengan sesama manusia. Mungkin bukan soal strategi bisnis, bukan pula soal promosi atau modal, melainkan karena tali silaturahmi yang mulai rapuh, bahkan terputus tanpa kita sadari.
Silaturahmi bukan sekadar basa-basi sosial. Ia adalah ajaran yang menjadi bagian dari pondasi iman. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini bukan sekadar nasihat spiritual, tapi juga panduan kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam pandangan Islam, rezeki bukan hanya datang dari langit tanpa sebab. Ia sering kali mengalir lewat manusia lain—lewat jejaring, pertemanan, saling percaya, dan hubungan baik antar sesama.
Bayangkan jika hubungan dengan orang tua, saudara, tetangga, atau rekan kerja mulai renggang. Mungkin ada kesalahpahaman kecil yang dibiarkan membesar. Atau mungkin ada gengsi yang menghalangi kita untuk memulai kembali komunikasi. Padahal, di situlah sering tersembunyi kunci keberkahan. Orang yang menjaga hubungan dengan baik akan lebih mudah dipercaya, lebih banyak mendapat dukungan, dan lebih sering diberi peluang. Itulah mengapa Rasulullah menekankan pentingnya silaturahmi, karena ia memperluas jalan datangnya rahmat dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.
Dalam kehidupan modern yang sibuk dan serba cepat, banyak orang merasa cukup dengan komunikasi digital. Kita merasa sudah bersilaturahmi hanya karena menyapa lewat pesan singkat atau media sosial. Padahal, ruh silaturahmi sejati adalah pertemuan, tatap muka, dan hati yang saling berinteraksi. Islam tidak melarang teknologi, tetapi mengingatkan agar jangan sampai jarak fisik memutus kedekatan batin. Nabi ﷺ selalu mencontohkan bagaimana ia menziarahi sahabat, menanyakan kabar keluarga, dan menjaga hubungan baik dengan orang-orang di sekitarnya. Bagi beliau, silaturahmi bukan sekadar formalitas, melainkan ibadah sosial yang bernilai pahala besar.
Rezeki tidak selalu berupa uang. Dalam konteks Islam, rezeki berarti segala hal yang mendatangkan manfaat, ketenangan, dan keberkahan. Seseorang mungkin berpenghasilan besar, tetapi hatinya gelisah dan hidupnya tidak tenang. Ada pula yang hidup sederhana, tapi wajahnya berseri, keluarganya harmonis, dan rezekinya mengalir lancar dari arah yang tidak ia sangka. Silaturahmi sering kali menjadi pembuka jalan bagi keberkahan semacam ini. Orang yang memelihara hubungan baik akan lebih mudah mendapatkan pertolongan ketika butuh, lebih sering mendapat rekomendasi, dan lebih cepat menemukan peluang kebaikan.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahmi.” (QS. An-Nisa: 1). Ayat ini menunjukkan bahwa menjaga hubungan antarmanusia adalah bagian dari takwa. Bahkan, silaturahmi menjadi tolak ukur keimanan seseorang. Rasulullah pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, keberkahan dunia dan akhirat sama-sama bergantung pada hubungan kita dengan sesama.
Sayangnya, banyak orang yang baru menyadari nilai silaturahmi ketika mereka jatuh atau kehilangan sesuatu. Ketika bisnis turun, ketika rekan menjauh, atau ketika hidup terasa sempit. Padahal, silaturahmi seharusnya dijaga bukan karena kita butuh, tetapi karena itu perintah Allah. Dari hubungan yang tulus itulah kemudian muncul keberkahan hidup. Dalam konteks bisnis modern sekalipun, jejaring sosial yang kuat adalah aset utama. Orang yang dikenal ramah, mudah dihubungi, dan menjaga hubungan baik akan lebih mudah dipercaya dibanding mereka yang individualistis dan tertutup.
Silaturahmi juga mendidik hati untuk rendah hati dan terbuka. Ia melatih kita untuk menyingkirkan ego dan gengsi. Dalam banyak kasus, orang tidak lagi saling menyapa hanya karena masalah kecil atau perbedaan pendapat. Padahal, dalam pandangan Islam, meminta maaf dan memaafkan adalah bentuk silaturahmi tertinggi. Rasulullah pernah bersabda, “Tidak halal bagi seorang Muslim untuk tidak berbicara dengan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, Islam mendorong kita untuk segera memperbaiki hubungan, bukan menunggu waktu berlalu tanpa tindakan.
Dalam keluarga, silaturahmi berarti menjaga komunikasi dengan orang tua, saudara, dan kerabat. Berkunjung, menanyakan kabar, atau sekadar mengirim makanan adalah bentuk kecil yang berdampak besar. Banyak orang yang merasakan, setelah mereka meminta maaf atau kembali berhubungan dengan kerabat yang lama tak disapa, urusan hidupnya menjadi lebih ringan. Dalam Islam, itu bukan kebetulan, melainkan janji Allah yang menegaskan bahwa silaturahmi membawa kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan.
Dalam konteks sosial, silaturahmi memperkuat rasa persaudaraan di masyarakat. Umat yang kuat adalah umat yang saling mengenal dan saling peduli. Dari silaturahmi lahir gotong royong, tolong-menolong, dan solidaritas. Dalam situasi sulit seperti bencana, pandemi, atau krisis ekonomi, silaturahmi menjadi sumber kekuatan kolektif. Orang saling membantu karena ada rasa kedekatan. Ketika hubungan antarindividu lemah, yang muncul adalah kecurigaan, kesalahpahaman, dan permusuhan.
Silaturahmi juga menjadi sarana dakwah yang lembut. Dengan menjalin hubungan baik, pesan Islam akan lebih mudah diterima. Orang yang merasa dihargai dan disapa dengan penuh kasih akan lebih terbuka terhadap nilai-nilai kebaikan. Rasulullah ﷺ dikenal bukan hanya karena ucapannya, tetapi juga karena kehangatan sikapnya kepada semua orang—baik Muslim maupun non-Muslim. Itulah bentuk silaturahmi universal yang membawa kedamaian dan rezeki bagi seluruh umat manusia.
Dalam dunia modern yang penuh kompetisi, silaturahmi menjadi kekuatan moral yang menyejukkan. Ia menumbuhkan empati di tengah egoisme, menumbuhkan persahabatan di tengah kesibukan, dan menumbuhkan keberkahan di tengah kerasnya perjuangan hidup. Orang yang menjaga silaturahmi tidak akan merasa sendirian, karena selalu ada jaringan kasih dan dukungan yang mengelilinginya. Bahkan, dalam banyak penelitian sosial, orang yang memiliki hubungan sosial kuat cenderung hidup lebih bahagia dan panjang umur—sejalan dengan sabda Nabi tentang silaturahmi memperpanjang usia.
Sudah saatnya kita mengevaluasi diri. Mungkin bukan karena usaha kita kurang keras, tapi karena hati kita kurang terbuka. Coba ingat, kapan terakhir kali kita menelpon keluarga jauh, menjenguk teman lama, atau sekadar menyapa tetangga yang dulu akrab? Jangan-jangan, pintu rezeki kita tertutup bukan karena kurang doa, tetapi karena kita menutup pintu silaturahmi.
Mari kita hidupkan kembali tradisi ini—menyapa, mengunjungi, memaafkan, dan mempererat tali kasih antarsesama. Bukan hanya demi keberkahan hidup di dunia, tapi juga sebagai bekal menuju akhirat. Karena dalam Islam, silaturahmi bukan hanya membawa rezeki, tapi juga menghadirkan rahmat, cinta, dan ketenangan batin.
Jadi, jika hari ini rezeki terasa seret atau bisnis tidak kunjung berhasil, jangan hanya menengadah ke langit, tapi juga tengoklah ke sekitar. Siapa tahu, kunci pembuka keberkahan itu sedang menunggu di ujung salam, di sapaan hangat, atau di pelukan tulus seorang sahabat lama





