Jakarta — Mitsubishi Motors mempertahankan posisinya sebagai salah satu pemain utama industri otomotif Indonesia sepanjang 2025, meski menghadapi tekanan struktural dari lonjakan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang didominasi merek-merek China. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan Mitsubishi membukukan penjualan domestik sebesar 86.599 unit sepanjang Januari hingga November 2025, menjadikannya merek non-Astra terbesar di pasar nasional.
Kinerja ini dicapai di tengah pasar otomotif yang relatif stagnan, dengan total penjualan mobil nasional tercatat 710.087 unit. Namun, perubahan komposisi pasar — khususnya pergeseran menuju elektrifikasi — mulai menguji daya tahan model bisnis produsen Jepang seperti Mitsubishi, yang selama ini kuat di segmen kendaraan konvensional dan niaga ringan.
Kinerja Penjualan Mitsubishi: Stabil Namun Volatil
Secara bulanan, penjualan Mitsubishi menunjukkan volatilitas yang mencerminkan kondisi makroekonomi dan siklus permintaan domestik. Penjualan tertinggi tercatat pada Februari sebanyak 8.790 unit, diikuti lonjakan kembali pada Oktober dan November masing-masing 9.944 unit dan 9.820 unit.
Tekanan terlihat pada April saat penjualan turun menjadi 5.195 unit, sejalan dengan perlambatan pasar nasional yang pada bulan tersebut hanya mencatat total penjualan 52.369 unit. Meski demikian, Mitsubishi berhasil memanfaatkan pemulihan permintaan di paruh kedua tahun untuk menjaga momentum.
Dalam lanskap non-Astra, Mitsubishi unggul atas Honda (53.301 unit) dan Suzuki (55.905 unit), menegaskan posisinya sebagai merek Jepang non-Astra paling signifikan di Indonesia.
Elektrifikasi: Titik Lemah Relatif di Tengah Lonjakan EV
Meski penjualan total Mitsubishi relatif solid, tantangan utama datang dari percepatan adopsi kendaraan listrik nasional. Sepanjang 2025, merek-merek China seperti BYD dan Denza membukukan penjualan gabungan 47.327 unit, dengan lonjakan tajam pada semester kedua, termasuk rekor 10.785 unit pada Oktober.
Sebaliknya, kontribusi kendaraan listrik murni (BEV) terhadap total penjualan Mitsubishi masih terbatas dalam struktur pasar Indonesia, dengan portofolio yang lebih bertumpu pada kendaraan bermesin pembakaran internal (ICE) dan pendekatan elektrifikasi bertahap.
Perbedaan strategi ini mulai tercermin dalam dinamika pangsa pasar. Pangsa pasar grup Astra turun dari 56% pada Januari menjadi 47% pada Oktober, sementara pemain non-Astra berbasis EV mencatat ekspansi agresif.
“Mitsubishi masih kuat di volume, tetapi narasi pertumbuhan pasar kini bergeser ke EV, dan di sinilah tekanan kompetitif paling terasa,” ujar seorang analis otomotif di Jakarta.
Mitsubishi dan Tantangan EV di Pasar Indonesia
Indonesia saat ini berada dalam fase transisi industri otomotif. Kendaraan listrik belum mendominasi volume total, namun pertumbuhannya jauh melampaui segmen konvensional. Dalam konteks ini, Mitsubishi berada pada posisi strategis namun menantang: memiliki basis pelanggan besar, reputasi kuat, dan jaringan distribusi luas, tetapi menghadapi kebutuhan percepatan inovasi produk listrik.
Hyundai, yang lebih awal mengembangkan basis manufaktur EV lokal, mencatat penjualan 17.897 unit, sementara Wuling (15.382 unit) dan Chery (17.931 unit) terus memperkuat posisi mereka di segmen elektrifikasi. Persaingan ini meningkatkan tekanan bagi Mitsubishi untuk menyeimbangkan profitabilitas jangka pendek dengan investasi teknologi jangka panjang.
Pasar Masih Ditopang ICE, Tapi Arah Jelas Berubah
Data 2025 menunjukkan bahwa kendaraan konvensional masih menjadi tulang punggung pasar Indonesia. Segmen Low Cost Green Car (LCGC) mencatat penjualan 112.135 unit, dengan dominasi Astra sebesar 75%. Namun, segmen ini belum tersentuh elektrifikasi secara signifikan.
Bagi Mitsubishi, realitas ini memberikan ruang bernapas: pasar utama masih mendukung model konvensional. Namun arah kebijakan industri dan preferensi konsumen mengindikasikan bahwa ketergantungan pada ICE akan semakin berisiko dalam jangka menengah.
Lonjakan EV di Indonesia membawa implikasi besar bagi strategi Mitsubishi di kawasan Asia Tenggara. Indonesia bukan hanya pasar domestik besar, tetapi juga pusat potensial rantai pasok kendaraan listrik global, khususnya baterai berbasis nikel.
Masuknya produsen EV China meningkatkan tekanan harga, mempercepat siklus inovasi, dan berpotensi mendorong konsolidasi industri, termasuk kemitraan strategis, aliansi teknologi, dan transaksi merger dan akuisisi di sektor otomotif dan energi.
Bagi investor, kinerja Mitsubishi mencerminkan dilema klasik pemain incumbent: mempertahankan volume dan margin di pasar tradisional, sambil berinvestasi agresif untuk mengamankan relevansi di era elektrifikasi.
Melihat tren 2025, analis memperkirakan 2026 akan menjadi tahun krusial bagi Mitsubishi di Indonesia. Jika penetrasi EV terus meningkat, kemampuan Mitsubishi untuk memperluas portofolio elektrifikasi akan menjadi faktor kunci dalam menjaga daya saing.
Sementara itu, jika pasar nasional tetap ditopang oleh kendaraan konvensional, Mitsubishi berpotensi mempertahankan posisinya sebagai pemain volume utama non-Astra. Namun, arah jangka panjang industri tampak semakin jelas: elektrifikasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan strategis.

