Di bisnis peralatan presentasi, nama Soedjarwo Budiono sedang berkibar. Ia sukses mengantarkan perusahaannya PT Indovisual Presentama — agen Proxima, NEC, ASK, dan Panasonic — merajai bisnis peranti presentasi. Soedjarwo mendirikan perusahaan ini awal 1999, bersama lima sobatnya, yakni Kodrat Budiadji, Hamzah Junaid, Ong Madian, Hartono Lim, dan Muhammad Nazaruddin Anwar. “Sekarang kami market leader di pasar peranti presentasi,” ujarnya.
Soedjarwo dkk. mendirikan bisnis keagenan bidang ini lantaran sebelumnya tak ada perusahaan yang khusus menggarapnya. PT Datascrip, misalnya, memang menyediakan perlengkapan presentasi, tapi hanya bagian kecil dari bisnis besarnya di bidang penyediaan perlengkapan kantor. Demikian pula, beberapa pemain lain. “Kami berani karena sangat fokus dan terspesialisasi,” katanya.
Enam sekawan ini dengan bulat menunjuk Soedjarwo sebagai nakhoda Indovisual. Lewat urunan, mereka berhasil mengumpulkan total dana Rp 600 juta sebagai modal memulai usaha. Uang ini antara lain dipakai untuk menyewa ruangan di Menara Gadjah Mada Lantai 18 (Jakarta), yang tentu saja tak bisa dibilang murah.
Indovisual betul-betul harus merangkak dari bawah. Pada awal beroperasi, roda bisnis perusahaan ini hanya dijalankan dua orang, Soedjarwo dan Kodrat — saat itu keduanya menjabat General Manager. Indovisual ketika itu juga baru berbisnis selaku sub-agen atau subdistributor, yang bertugas menjualkan produk dari beberapa agen lain, bukan sebagai agen atau distributor tunggal. Maklum, perusahaan ini masih seperti bayi yang baru belajar menyusu dan merangkak.
Titik cerah makin terlihat ketika Indovisual dipercaya menjadi distributor proyektor merek Proxima (dari AS) — setelah sempat ditolak beberapa prisipal lain. Waktu itu, Indovisual sengaja melamar Proxima karena melihat kinerja pemasaran distributornya di Indonesia kurang bagus. Tawaran Indovisual disambut baik manajemen Proxima. Maklum, bisnis Proxima sedang tak bagus. Hanya saja, kala itu Indovisual belum diposisikan sebagai distributor tunggal karena Proxima telah lebih dulu menggandeng PT Lusavindra.
Setelah dua tahun berjalan, Indovisual ternyata mampu menunjukkan prestasi mengesankan. Karena itulah, perusahaan ini memberanikan diri meminta manajemen Proxima menjadikannya distributor tunggal. Ternyata, dikabulkan. “Itu tonggak pertama kami dipercaya sebagai agen tunggal,” ujar Soedjarwo mengenang.
Kepercayaan dari Proxima tak disia-siakan manajemen Indovisual. Hal ini dibuktikan, tiap tahun Indovisual memperoleh berbagai penghargaan dari Proxima sebagai distributor terbaik. Tiga tahun berturut-turut sejak 2001, Proxima ditahbiskan sebagai penerima The Top Sales ASEAN Award.
Bahkan, tahun 2002 dan 2003 Indovisual menggaet The Top Sales South Asian for Proxima. Setelah itu, manajemen Indovisual mulai melebarkan portofolio bisnisnya dengan mencari prinsipal lain agar bisa memiliki lebih dari satu merek kuat. Lamaran sebagai distributor ke beberapa pemilik merek lain pun dilayangkan. Tak sia-sia, Indovisual kemudian dipercaya juga mengageni merek NEC, ASK, dan Panasonic.
Menurut Soedjarwo, selain persoalan memperoleh kepercayaan prinsipal, tantangan muncul dalam mengembangkan pasar dan mencari pelanggan. Selain harga proyektor masih relatif mahal, pasar juga belum melihat peranti ini sebagai kebutuhan pokok perusahaan. Kala itu, masih lebih banyak orang yang memakai overhead projector (OHP) — proyektor jenis lama yang masih memakai slide.
- Langkah Dan Persiapan Perusahaan Sebelum IPO
- Kisah Sukses Resto SS, Modal Rp 9 Juta, Kini Punya Puluhan Outlet
- Kisah Sukses Pengusaha Celana Jean Terbesar Di Dunia
- Inilah Rahasia Sukses Pemasaran Kosmetik MS Glow
- Jurus Jitu Untuk Tingkatkan Omset Jualan Online
- Cara Kerja dan Seluk-Beluk Investor Pre IPO
Layanan pascajual menjadi perhatian Indovisual. Contoh terobosannya, pertama, menyediakan suku cadang dan unit cadangan (pengganti) proyektor. Jadi, bila proyektor pelanggan mengalami kerusakan dan tengah diservis, aktivitas tak perlu terganggu sebab dipinjami proyektor oleh Indovisual. Kedua, Indovisual memberikan jasa servis gratis selama proyektor itu berfungsi, ditambah garansi suku cadang selama dua tahun.
Ia merinci, tahun 1999 Indovisual mampu menjual rata-rata 25 unit/bulan. Kemudian, tahun 2000, naik menjadi rata-rata 55 unit/bulan; tahun 2001, 100 unit/bulan; tahun 2002, 200 unit/bulan; dan tahun 2003, 300 unit/bulan. “Proxima dan NEC adalah dua brand proyektor yang kami pasarkan saat ini,” tutur kelahiran Bojonegero, 27 Mei 1969 ini, seraya menjelaskan harga proyektornya per unit Rp 9-50 juta. Soedjarwo yakin pihaknya kini memimpin pasar di bisnis ini.
Pernyataan Soedjarwo tampaknya tak berlebihan. Bila dilihat dalam konteks korporat, saat ini dengan beberapa merek peranti presentasi yang diageninya, Indovisual merupakan yang terbesar. Namun, bila dibandingkan langsung brand-to-brand, penjualan terbesar di Indonesia masih dipegang merek Infocus yang diageni PT Triyaso Telekomindo.
Di bisnisnya, Indovisual bersaing dengan Computa (Yogya), PT Triyaso (Infocus), Grup Galva, Datacrip (Canon), dan PT Metrodata. Sebenarnya, selain Proxima, NEC, ASK, Canon, dan Infocus, di Indonesia beredar pula produk peranti presentasi merek Toshiba, Sony, dan Hitachi. Hanya saja, posisi pasar merek-merek ini di Tanah Air relatif belum kuat.
Indovisual yang memiliki sekitar 220 karyawan juga memasarkan peranti presentasi lainnya, seperti plasma display, conference system, monitor, OHP, kamera digital, dan notebook. “Hingga saat ini kami masih konsisten memasarkan peranti presentasi,” kata Soedjarwo seraya mengungkapkan, omset perusahaannya sudah mencapai puluhan miliar rupiah — tanpa mau menyebut angka pasti. Perusahaan besar yang menjadi pelanggannya, antara lain, Arta Boga Cemerlang (Grup ABC), Grup Astra, PT Telkom, Mattel Indonesia, IBM, Goodyear, Nestle, Schlumberger, PriceWaterhouse-Cooper, Vico Indonesia, dan Indosat, ditambah beberapa institusi pendidikan seperti Universitas Indonesia, Institut Pengembangan Manajemen Indonesia, Universitas Pelita Harapan, Universitas Bina Nusantara, dan Institut Teknologi Bandung.