Ledakan Penjualan Mobil Listrik Ubah Peta Industri Otomotif Indonesia, BYD dan Denza Melaju Kencang

bintangbisnis

Jakarta — Pasar kendaraan listrik (electric vehicle/EV) Indonesia menunjukkan pertumbuhan signifikan sepanjang 2025, menjadi titik terang di tengah pelemahan penjualan mobil nasional. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengindikasikan bahwa lonjakan penjualan EV, terutama dari merek-merek China, mulai mengubah struktur persaingan industri otomotif domestik yang selama puluhan tahun didominasi pemain Jepang.

Total penjualan mobil domestik Januari hingga November 2025 tercatat 710.087 unit, relatif stagnan dan berada di bawah tren historis sebelum pandemi. Namun di balik angka agregat tersebut, segmen kendaraan listrik dan elektrifikasi menjadi motor pertumbuhan baru, dengan kontribusi yang semakin signifikan terhadap total pasar.

Merek China Pimpin Pertumbuhan Kendaraan Listrik

Penjualan gabungan BYD dan Denza sepanjang 2025 mencapai 47.327 unit, menjadikannya salah satu pencapaian paling menonjol di pasar otomotif Indonesia tahun ini. Lonjakan tajam terlihat sejak Maret, saat penjualan bulanan menembus 4.792 unit, berlanjut pada April 4.307 unit, dan mencapai puncaknya pada Oktober dengan 10.785 unit dalam satu bulan.

Kinerja ini mencerminkan akselerasi adopsi kendaraan listrik berbasis baterai (BEV), yang didorong oleh kombinasi insentif pemerintah, ekspansi infrastruktur pengisian daya, serta strategi harga agresif dari produsen China.

Selain BYD dan Denza, Chery mencatat penjualan 17.931 unit, sementara Wuling membukukan 15.382 unit. Kedua merek ini memanfaatkan positioning sebagai EV dan kendaraan elektrifikasi dengan harga lebih terjangkau, menyasar konsumen kelas menengah perkotaan.

Hyundai, yang lebih awal masuk ke pasar EV Indonesia melalui investasi manufaktur lokal, mencatat penjualan 17.897 unit, namun menghadapi tekanan kompetitif yang semakin kuat dari pemain China yang menawarkan fitur teknologi lebih kaya dengan harga kompetitif.

EV Jadi Penopang Pasar di Tengah Pelemahan Daya Beli

Secara keseluruhan, pasar otomotif nasional mengalami volatilitas sepanjang 2025. Penjualan bulanan total domestik turun tajam pada April menjadi 52.369 unit, sebelum kembali pulih pada Oktober dan November masing-masing 74.015 unit dan 74.253 unit.

Dalam konteks ini, kendaraan listrik berperan sebagai penopang utama permintaan, terutama di segmen konsumen yang relatif tidak terlalu sensitif terhadap suku bunga dan kredit kendaraan. Model EV juga menarik minat pembeli baru yang sebelumnya belum memiliki kendaraan, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.

“EV bukan lagi segmen niche. Data 2025 menunjukkan kendaraan listrik mulai menjadi bagian struktural dari pasar otomotif Indonesia,” ujar seorang analis industri otomotif di Jakarta.

Dominasi Astra Mulai Tergerus di Era Elektrifikasi

PT Astra International Tbk masih mempertahankan posisi dominan dengan total penjualan 368.426 unit, setara 52% pangsa pasar nasional. Namun dominasi tersebut mulai tertekan seiring meningkatnya penetrasi EV yang sebagian besar berasal dari merek non-Astra.

Pangsa pasar Astra turun dari 56% pada Januari menjadi 47% pada Oktober, sebelum sedikit pulih pada November. Penurunan ini terjadi bersamaan dengan lonjakan penjualan EV, khususnya dari BYD dan Denza, yang tidak berada dalam portofolio Astra.

Hingga 2025, kontribusi EV dalam grup Astra masih relatif terbatas dan lebih terkonsentrasi pada segmen hybrid serta kendaraan konvensional berbasis efisiensi bahan bakar. Hal ini kontras dengan strategi produsen China yang secara agresif mendorong BEV murni sebagai produk utama.

LCGC Tetap Kuat, Namun Tidak Terkait EV

Segmen Low Cost Green Car (LCGC) tetap menjadi tulang punggung volume nasional dengan total penjualan 112.135 unit, di mana Astra menguasai 84.015 unit atau sekitar 75% pangsa pasar.

Namun LCGC berbasis mesin pembakaran internal (ICE) ini belum berkontribusi langsung pada penetrasi EV. Ketergantungan pasar mass terhadap kendaraan murah berbahan bakar fosil menjadi salah satu tantangan utama dalam percepatan elektrifikasi nasional.

Pemerintah hingga kini masih mengkaji formulasi kendaraan listrik terjangkau yang dapat menjangkau segmen LCGC, termasuk melalui insentif pajak dan dukungan produksi lokal baterai.

Struktur Pasar Berubah: Jepang Bertahan, China Menyerang

Data Gaikindo menunjukkan bahwa pemain Jepang seperti Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, Suzuki, dan Honda masih menguasai mayoritas volume nasional. Toyota dan Lexus sendiri mencatat penjualan 225.458 unit, sementara Daihatsu 118.774 unit.

Namun, pertumbuhan mereka cenderung stagnan dibandingkan merek China yang tumbuh agresif dari basis yang lebih kecil. Mitsubishi mencatat 86.599 unit, Suzuki 55.905 unit, dan Honda 53.301 unit, dengan tren yang relatif datar.

Sebaliknya, merek China mencatat pertumbuhan eksponensial, terutama di paruh kedua tahun ini, menandakan perubahan preferensi konsumen yang semakin terbuka terhadap teknologi baru dan merek non-tradisional.

Lonjakan EV membawa implikasi luas bagi industri otomotif Indonesia, mulai dari rantai pasok, manufaktur baterai, hingga kebutuhan infrastruktur pengisian daya. Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar dunia, diposisikan sebagai pusat rantai pasok baterai EV global, menarik minat investasi asing langsung.

Masuknya produsen EV China juga meningkatkan potensi konsolidasi industri, kemitraan strategis, serta transaksi merger dan akuisisi di sektor otomotif, energi, dan teknologi pendukung.

“EV adalah pintu masuk investasi jangka panjang. Pemain yang bergerak cepat akan menguasai ekosistem, bukan hanya penjualan kendaraan,” kata seorang banker investasi regional.

Outlook 2026: EV Jadi Penentu Arah Pasar

Melihat tren 2025, pelaku industri memperkirakan kontribusi EV terhadap total penjualan nasional akan terus meningkat pada 2026, bahkan jika total volume pasar relatif stagnan.

Dengan kombinasi insentif fiskal, dukungan kebijakan industri, serta masuknya model-model baru, kendaraan listrik diperkirakan menjadi faktor penentu arah pasar otomotif Indonesia dalam lima tahun ke depan.

Bagi investor global, data ini menegaskan bahwa Indonesia bukan hanya pasar volume besar, tetapi juga medan persaingan strategis dalam transisi global menuju elektrifikasi.

Share This Article