Dibalik sukses jaringan restoran Jepang Takigawa

bintangbisnis

Inilah kisah dan sosok dibalik sukses jaringan restoran jepang Takigawa yang kini sudah punya puluhan outlet di Indonesia dan juga  eksis  di bisnis penyewaan tenda. Pendirinya memulai bisnis dari nol. Outletnnya sudah ada di puluhan lokasi, termasuk di Senayan City, Citos, Atrium Setiabudi, dan banyak lagi. Bagi warga menengah-atas Jakarta tentu sangat sangat kenal restoran  Takigawa. Ini salah satu pioner jaringan resto Jepang di Indonesia. 
Sukses jaringan resto ini tak lepas dari keuletan pendirinya, yakni pasangan Andrian Rosano dan Renny F. Kedua yang sama-sama lahir tanggal 10 Februari 1972 ini sudah berteman baik sejak di bangku SMP. Keduanya justru memulai bisnis dari penyewaan tenda. Perusahaan yang dibangun sejoli ini sekarang dikenal sebagai raja bisnis penyewaan dan dekorasi tenda di Indonesia. Jasanya sudah sering dipakai kalangan berduit di Jakarta dan beberapa kota besar lain.
Dua sejoli ini memulai mengasah kewirausahaannya saat keduanya kuliah di Universitas Trisakti. Modalnya seadanya. Andrian sendiri semasa masih bersekolah di sebuah SMA di Surabaya, pernah belajar bisnisa dengan berdagang produk hasil bumi impor. Ia biasa membeli hasil bumi seperti bawang dari Pelabuhan Tanjungperak, lalu ia jual ke para pedagang di pasar-pasar Surabaya.

 

 

 

“Pokoknya apa saja saya lakukan untuk menyambung hidup di Surabaya,” kata Andrian mengenang. Sewaktu kembali ke Jakarta dan kuliah di Fakultas Hukum Trisakti, Andrian pun kuliah sambil berbisnis. “Karena itu, saya dikenal oleh teman-teman sebagai PDG, alias pedagang, hahaha,” ujarnya.

 

Bersama Renny, ia kemudian mendirikan perusahaan dagang (trading company). “Waktu itu saya dagang secara serabutan. Dagang apa saja. Saya pernah jadi agen pemasang iklan mini. Pernah juga jadi agen koran dan majalah yang bisnisnya mulai dari jam tiga pagi,” ungkapnya. Karena disambi, Andrian mengaku baik bisnis maupun studinya kurang optimal. Namun, bila pada jadwal kuliah ada janji bertemu relasi bisnis, biasanya ia memilih meninggalkan kuliah demi bisnis. Tak heran, beberapa kali ia mengajukan cuti kuliah dan sering menghilang dari kampus. Ia merasa kuliahnya bisa selesai karena desakan orang tua dan calon mertua.
Sewaktu menjadi agen sebuah media Andrian merasa memperoleh pengalaman penting yang kelak memengaruhi pilihan bisnisnya. Selama menjadi agen media itu ia merasa diperlakukan kurang fair. Karena masih muda dan termasuk agen baru, ia hanya diberi diskon 20%, sedangkan agen lain mendapat diskon 30%. 

 

Dengan cara itu ia merasa bisnisnya tidak akan kompetitif dan sulit menjadi nomor satu. “Katanya sih memang ada mafianya juga,” ujarnya. Tak heran, sejak itu Andrian bercita-cita suatu saat kalau membesarkan bisnis sendiri tak ingin tergantung pada prinsipal. “Saya harus jadi prinsipalnya, supaya saya bisa menentukan strategi saya sendiri,” katanya tandas.
 

 

Untuk menemukan bisnis yang tak tergantung pada prinsipal itu, pasangan Andrian-Renny sudah mencoba menjalankan berbagai bisnis, seperti bisnis parsel. Ketika naik pelaminan, muncullah ide untuk berbisnis penyewaan dan dekorasi tenda. Sumber inspirasinya adalah sebuah buku perkawinan terbitan luar negeri. “Kenapa kami tidak mencoba membuat seperti ini sendiri?” pikir Andrian kala itu. 

 

Kebetulan pula, tenda seperti dalam buku itu belum ada di Indonesia. Keduanya lalu memutuskan dekorasi dan tenda pelaminan mereka dibuat sendiri, dengan bantuan teman-teman. “Menjelang tengah malam midodareni, calon pengantin prianya masih ada di genteng, pasang-pasang tenda sendiri,” kata Renny mengenang sembari tertawa.

 

Ternyata, sebagian besar tamu yang datang memuji tendanya. Karena itulah, Andrian-Renny berpikir untuk membisniskannya saja. Apalagi, keduanya merasa, bisnis penyewaan dan dekorasi tenda seperti yang mereka inginkan, belum dimasuki orang lain. Tahun 1995, pasangan ini mulai menggelindingkan bisnis penyewaan dan dekorasi tenda, menyasar kalangan menengah-atas.
 
Bisnis ini dikibarkan dengan merek Ten Party dengan payung usaha PT Cipta Arta Sepuluh – nama ten dan sepuluh dipakai untuk mengenang pasangan ini sama-sama lahir tanggal sepuluh dan hingga saat itu telah berpacaran sepuluh tahun. Desain, model, warna dan bahan-bahan tenda Ten Party dirancang sendiri. Bersamaan dengan dimulainya bisnis tenda, usaha trading lainnya ditutup. “Kami harus fokus. Semua modal kami alihkan ke bisnis tenda ini,” katanya. Waktu itu modal awalnya sekitar Rp 400 juta, diambil dari keuntungan dan modal bisnis sebelumnya. Uang sebanyak itu habis untuk membeli bahan-bahan tenda, gudang, dan perlengkapan pendukung.
Ternyata bisnis tenda tak segampang yang dibayangkan. “Awalnya susah banget. Segala upaya promosi kami lakukan, tapi nggak ada yang menelepon,” Renny membeberkan. Upaya promosinya antara lain lewat radio, media cetak, bikin spanduk, dan membagikan brosur. Bahkan, pengantin baru ini sampai membagi-bagikan brosur ke pom-pom bensin dan persimpangan lampu merah. 

 

Toh demikian, saat itu belum kunjung datang hasilnya. “Rupanya konsumen ngeri, tenda kami dianggap terlalu bagus. Apalagi, waktu itu tema promosi kami adalah ‘Hadirkan Ballroom di Halaman Rumah Anda’,” ujar Andrian mengenang. Spesifikasi tenda dan dekorasinya memang cukup keren: memakai lampu gantung, lantainya parket, dan sebagainya. Harga sewanya juga 10 kali lipat dari harga sewa pada umumnya. Kalau yang lain Rp 2.000 per m2, tarif sewa tenda Ten Party Rp 20.000 per m2.

 

Toh, sesulit-sulitnya jalan pasti ada celahnya. Rupanya setelah beberapa bulan dikibarkan, ada satu-dua orang yang kemudian tertarik mencoba jasanya. “Mereka ini kelompok orang yang tidak peduli dengan harga, yang penting hasilnya bagus. Beliau-beliau inilah yang memakai jasa kami di masa awal,” kata Andrian. Dari sedikit orang itu lalu berkembang menjadi banyak pelanggan. Maklum, setelah mereka melihat hasilnya langsung di pesta yang dihadiri, mereka merasa terkesan. 

 

“Dari satu pesta menjadi tiga pesta. Dari tiga pesta menjadi 9 pesta, dan seterusnya. Bisnis kami berkembang seperti telur yang menetas. Karena itu, kami yakin sekali, promosi paling efektif di dunia ialah dari mulut ke mulut (word of mouth). Apalagi, bisnis kami ini bukan produk massal, tapi butik,” Andrian menerangkan dengan serius.

 

Dari getok tular itulah bisnis tenda Ten Party makin berkembang, bahkan juga ke luar kota seperti Medan, Bandung, Surabaya, Makassar dan Samarinda. Jika pada bulan-bulan pertama sebulan hanya mengerjakan pesanan satu pesta, menginjak tahun kedua per minggu bisa mengerjakan 7 event pesta. Ketertarikan para pengguna ini disebabkan desainnya yang berkelas, indah, unik dan customized (misalnya, pengguna bisa memesan modelnya sesuai dengan selera apakah modern, klasik, etnik, dan sebagainya). Jurus layanannya adalah menghadirkan suasana ballroom di halaman rumah klien, dengan modal peralatan dan tendanya.
Hingga kini tak sedikit kalangan menengah-atas yang menjadi pelanggan Ten Party. “Misalnya pernikahan kalangan selebriti seperti Syahrul Gunawan, Cut Tari, Tia Ivanka. Kalau dulu pernikahan Mbak Tata & Mas Tommy, Yenny Rachman, Dandy Rumakna & Lulu Tobing, dan lain-lain. Kami nggak enak menyebutkan satu-satu,” papar Andrian. Setelah itu, ternyata juga ada beberapa perusahaan yang menyewa jasa Ten Party untuk mendesain venue di proyek properti mereka. 

 

“Kami juga dipandang sebagai konseptor venue karena biasa menyulap sebuah tempat menjadi seperti yang diinginkan pemiliknya. Banyak orang besar yang meminta bantuan kami,” ungkap Andrian sambil menambahkan, soal tarif buat mereka tergantung pada kompleksitasnya, dari Rp 15 juta (di dalam gedung) hingga di atas Rp 1 miliar. “Ini bisnis seni, sulit ditetapkan standar harganya,” Andrian menegaskan.

 

Mince Tinton Suprapto adalah salah satu pelanggan sekaligus mitra bisnis Ten Party. Istri pembalap senior Tinton Suprapto ini juga berbisnis di bidang dekorasi, tapi bidangnya nontenda. “Saya sering pakai Mas Andrian untuk acara-acara di sirkuit Sentul,” kata Mince. Ia mengaku klop dengan pengelola Ten Party, sehingga kerja samanya cukup awet. “Andrian bisa mendesain dan memvisualiasi konsep-konsep desain yang saya inginkan,” tutur ibunda Ananda Mikola dan Moreno ini.
Meski Ten Party kini sudah bisa dibilang sukses, bukan berarti tidak ada riak dalam perjalanannya. Contohnya, Ten Party pernah mengalami overload. Karena permintaan yang membludak – pernah dalam sehari mengelola 10 event pesta – Ten Party sempat kewalahan. Tenaga kerja dan peralatannya diambil secara cabutan. “Waktu itu kami merasa bisa mengerjakan dengan mudah. Padahal ada sesuatu yang kami lupakan. Semua dibuat berdasarkan sistem sehingga personal touch seorang Andrian jadi berkurang. 
Tak heran ada beberapa pelanggan yang komplain kenapa tidak sebagus biasanya,” Andrian bercerita. Belajar dari sana, Ten Party mulai membatasi per minggu maksimum mengelola lima acara pesta. Kecuali, kalau ada permintaan dari pelanggan lama yang sudah loyal. “Misalnya keluarga Mbak Tutut. Bila tiba-tiba telepon minta tolong untuk mengelola acara keluarganya, masak kami mau menolak? Nggak mungkin, apalagi beliau sudah lama memakai jasa kami.”

 

Menjelang tahun kelima bisnis tendanya, Andrian-Renny mulai memikirkan bisnis lain yang dibutuhkan di tiap pesta selain dekorasi dan tenda. Mereka melihat peluang di bisnis katering. “Food & beverage biayanya terbesar di tiap pesta,” Andrian memberi alasan. Namun, ia berpikir tak asal menyediakan jasa katering, melainkan harus bisa menyediakan makanan sehat yang siklusnya bisa bertahan lama. Dari situ dipilihlah masakan Jepang. Kebetulan Andrian-Renny dan anak-anak mereka memang penggemar berat masakan Jepang, sehingga tahu cukup banyak. “Waktu itu belum ada katering masakan Jepang yang menonjol. Yang ada dari hotel-hotel besar saja,” kata Andrian.
Agar usaha katering masakan Jepang ini sukses, pasangan ini tak mau tanggung-tanggung. Mereka menyempatkan pergi ke Jepang untuk survei masakan Negeri Matahari Terbit itu, hingga masuk ke jalan-jalan dan warung-warung kecil di Tokyo. Keduanya mencari ide-ide masakan Jepang dan cara mengolahnya, termasuk masakan yang belum dipopulerkan resto-resto Jepang di sini tapi potensial dikembangkan. Kesimpulannya, mereka harus berani menghadirkan jasa katering masakan Jepang yang lengkap. Simpelnya, seperti lima restoran disatukan. Ada sukiyaki, chankonabe, sushi, shabu-shabu, dan sederet masakan Jepang lainnya.
Agar investasinya cepat balik, Andrian berpikir sekalian saja mendirikan restoran Jepang. Pasalnya, kalau cuma mengandalkan jasa katering, sulit sekali mencapai titik impas, sebab dapur dan peralatannya khusus dan mahal. Toh, mereka terbentur masalah besar, yakni: modalnya belum ada.
“Modalnya belum ada. Kami kan bukan anak konglomerat. Jadi, kami harus menabung dulu dari bisnis Ten Party,” ujar Andrian. Baru sekitar empat tahun sejak ditemukannya ide itu, Andrian-Renny merealisasikan usaha katering plus resto Jepang. Resto besutannya itu dinamai Takigawa – dalam bahasa Jepang, takigawa berarti air terjun yang mengalir. Gerai pertama di Jl. Panglima Polim, Jakarta Selatan. Jadi, di resto ini pula usaha katering masakan Jepang digelindingkan bersama-sama. Luas tanahnya 350 m2 dan kapasitas tempat duduk untuk 120 orang. “Kami tidak menyewa konsultan atau manajer. Kami berdua inilah manajer dan konsultannya,” kata Andrian mengenang saat merintis usaha resto lima tahun lalu.
Toh, lantaran tak ingin gagal, Andrian-Renny membajak 7 orang chef terbaik dari 7 resto Jepang paling top di Jakarta. Ketujuh ahli masak ini dijadikan karyawan, dan dengan mereka, Andrian-Renny mengajak bersama untuk menemukan formula masakan Jepang yang sesuai dengan lidah konsumen Indonesia. “Kami tak semata-mata mengumpulkan menu dari ke-7 orang itu. Kalau cuma itu nanti jumlah menu kami bisa banyak banget, dan kalau dibukukan bisa setebal Al Quran. Kami menciptakan menu baru yang harus lulus tes lidah 9 orang tadi,” Andrian menguraikan. 
 

 

Dengan cara ini, Takigawa bisa melahirkan menu-menu masakan yang lengkap dan disukai, selengkap empat-lima restoran dijadikan satu. Sebagai contoh, ada nigiri sushi, kamameshi, kushiyaki, sashimi, temaki, shabu-shabu, dan bakmi. “Kami salah satu pionir jenis restoran Jepang bernuansa fusion cuisine di Jakarta,” ucap Andrian bangga. Sebagai konsekuensi pencampuran ide itu, apalagi dapurnya juga melayani jasa katering, membuat dapur Takigawa complicated. Tak heran, untuk dapur saja butuh tiga lantai sendiri.

 

Cara promosi yang dilakukan sejoli ini untuk mengorbitkan Takigawa juga menarik. Yakni dengan merekrut selebriti dan kalangan sosialita untuk jadi PR agent Takigawa. Misalnya ada Marissa, Ivy Purwita, Dina Lorenza dan Davina Veronica. Mereka ini sosok yang sering tampil di majalah-majalah sosialita. “Daripada ngerumpi doang, mereka kami ajak ngerumpi di Takigawa, dan dapat gaji lagi,” ungkap Andrian. 

 

Sebenarnya tujuan Andrian mengajak komunitas artis itu agar mereka mau mencoba sajian di Takigawa. Karena itu, sebagai endorser mereka hanya dipakai dua-tiga bulan, dan biasanya lalu diganti selebriti lain. “Sebab, kalau sudah dua-tiga bulan seluruh kawan dan keluarganya mungkin sudah diajak ke Takigawa. Dari situ diharapkan akan ada beberapa pelanggan yang sudah mencoba kemudian loyal,” Andrian membeberkan jurusnya.

 

Kombinasi citarasa masakan yang pas, plus promosi yang mengena, rupanya membuat penetrasi Takigawa relatif cepat. Adapun bisnis kateringnya berjalan dengan baik pula. Sehingga, sejoli ini makin percaya diri untuk membuka gerai berikutnya, yakni di La Piazza, Kelapa Gading, mal milik Grup Summarecon. Bila luas lahan untuk gerai pertamanya hanya 350 m2, di La Piazza luasnya lebih dari 1.000 m2. “Sampai sekarang gerai kami yang terbesar masih di La Piazza,” kata Andrian. Menariknya lagi, untuk menempati gerai ini Takigawa tidak dikenai biaya sewa sepeser pun karena memakai pola bagi hasil (revenue sharing). 

 

“Kami ke sana cuma bawa peralatan dapur dan furnitur, selebihnya sudah disediakan manajemen La Piazza. Sangat efisien,” ungkapnya bangga. Konon, ini semua bagian dari tanda terima kasih Sutjipto Nagaria, pemilik Grup Summarecon, karena Andrian telah membantu mengonsep dan mendesainkan venue La Piazza. Resto ini juga disambut pasar cukup baik. Karena itu, tahun berikutnya Andrian-Renny langsung membuka lagi satu gerai Takigawa di Setiabudi One (Atrium Setiabudi), Kuningan, Jakarta.

 

Melihat resto Takigawa yang selalu ramai, beberapa pelanggan Takigawa datang ke Andrian-Renny agar mereka diberi kesempatan memiliki Takigawa. “Terus terang kami awalnya bingung bagaimana memenuhi permintaan teman-teman itu,” cerita Andrian. Karena merasa tidak enak, akhirnya Andrian mempersilakan teman-temannya untuk bekerja sama dengan pihaknya menggunakan pola waralaba. “Terus terang kami nggak pernah menawarkan franchise kami. Mereka yang datang meminta ke kami karena sudah menjadi pelanggan Takigawa. Kami setujui beberapa figur supaya sekalian bisa jadi public relations,” tutur Andrian.
Namun, ia menegaskan prinsipnya tak ingin menjual hak waralabanya secara massal. Karena itu, ia tak pernah mau ikut pameran. “Resto kami ini resto butik. Kami harus hati-hati mengembangkannya. Kami tidak cari uang dari menjual royalti waralaba. Kami juga harus memastikan investor kami untung,” Andrian menuturkan beberapa prinsip bisnis restonya. Itu saja tak cukup. Harus didukung dari sisi komunikasi. “Kami dan dia (investor) juga harus klop kalau mengobrol, karena kerja sama franchise untuk 10 tahun. Bayangkan, kalau 10 tahun bertengkar melulu? Harapan kami, kalau berbisnis selain dapat uang juga harus senang kan.”
 
Andrian menambahkan, saat ini terus ekspansi membuka jaringan restonya. Ia bekerjasama dengan para pemodal dengan pola kerjasama bagi hasil dan juga ada yang pola franchise. Model kerjasama ia susun sendiri dan bersifat unik sehingga berbeda dengan para pengelola franchise lain. Dalam memilih mitra Andrian selalu memilih investor yang mau bekerja keras dan bervisi jangka panjang.
Dalam hal event, Andrian berusaha  menjaga eksklusivitas, sehingga per minggu hanya menangani lima event. “Kami ingin melayani pasar kami sendiri yang sudah loyal selama ini.” Bisnis tenda dan dekorasinya itu ternyata sudah pula diwaralabakan lima tahun lalu, sebab banyak yang tertarik setelah melihat Ten Party menggelar tendanya di beberapa kota besar seperti Medan, Makassar, Bandung, Semarang, Surabaya dan Samarinda. 

 

“Ten Party termasuk bisnis tenda dan dekorasi yang sudah punya mitra waralaba,” katanya bangga. Franchisee Ten Party antara lain sudah ada di Bandung, Surabaya dan Samarinda. “Kami di Jakarta yang jadi motor desainnya, dan alat kami juga diputar hingga ke daerah,” ungkap Andrian.

 

Kini, bisnis Andrian-Renny sudah mempekerjakan lebih dari ratusan orang. Menariknya, mereka memberikan bagian saham di perusahaan holding kepada beberapa karyawan senior yang sudah menunjukkan loyalitas, kompetensi dan kejujurannya. “Saya berharap ini bisa menjadi tabungan bagi anak-anak mereka kelak ketika mereka sudah tidak bekerja lagi,” kata Andrian bijak. 

 

Ya, selama ini sang pasutri mengelola perusahaannya dangan cara kekeluargaan, seperti hubungan bapak-ibu dengan anak-anaknya. Setiap karyawan bebas meneleponnya untuk konsultasi. Tak heran, karyawannya cukup loyal. “Tujuh chef yang kami ajak saat pertama mendirikan resto juga belum ada satu pun yang keluar,” kata Andrian sembari menyebutkan bahwa bisnis utamanya adalah bisnis tenda.

 

Lebih lanjut ia menjelaskan, salah satu resep bisnisnya bisa maju – baik di bisnis tenda maupun resto – adalah karena inovasi. Apalagi di kedua bisnis itu kini persaingannya makin ketat. Di bisnis tenda misalnya, kini banyak pengusaha keturunan India dan Tionghoa yang masuk. Kalau dulu ia tergolong perintis yang membuka pasar, sekarang pemainnya sudah ratusan. 

 

“Kami bisa bertahan karena inovasi. Kalau kami meleng sedikit saja pasti disalip kompetitor,” katanya. Menyadari tingkat persaingan yang tinggi, semua desain Ten Party telah dipatenkan agar tidak dijiplak seperti pada era sebelumnya. Cara ini juga dilakukan di bisnis resto yang dapurnya dipusatkan di kediaman mereka di bawah komando langsung Renny, supaya aman dari peniruan.

 

Andrian menyebut bisnisnya berkembang karena dari awal ditekuni sendiri. “Kami sendiri yang mengopeni. Kami percaya, kalau menekuni bisnis sebaiknya memang mesti menceburkan diri, dan mendalami agar benar-benar bisa mengerti. Sehingga apes-apesnya bisnis kami nggak jalan atau tutup, paling tidak kami sudah dapat satu, yaitu ilmunya. Ilmu itu modal yang paling mahal kalau ingin sukses,” Andrian menerangkan filosofinya. “Lagi pula, bisnis yang diopeni dan ditekuni sendiri oleh sang pemilik, biasanya akan lebih maju karena ada personal touch dan passion dari sang pemilik.”   
 

 

 

Bacaan Lain :

 

 

 

Share This Article