Tuntutan pertanian dunia yang mesti memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan keberlanjutan (susnaibility) dalam lima tahun terakhir tampaknya semakin disambut positif oleh masyarakat pertanian di Indonesia. Hal itu misalnya terlihat dari aplikasi produk-produk pupuk organik di kalangan industri perkebunan sawit yang merupakan salah satu sektor pertanian penting di Indonesia. Bila dulu kalangan perusahaan pengelola perkebunan sawit hanya mau mengaplikasikan jenis-jenis pupuk kimia di lahan perkebunan sawitnya, kini secara bertahap pupuk non kimia atau pupuk organik mulai banyak digunakan.
Selain didorong oleh tuntutan pasar dunia yang mensyaratkan produk-produk ramah lingkungan, gerakan itu tampaknya tak lepas dari kesadaran terhadap efek merusak dari pemakaian pupuk kimia. Mulai dari efek merusak kesuburan tanah, mengancam kelangsungan hidup mikro organisme yang berada dalam tanah, hingga menjadikan tanaman lebih mudah terserang hama penyakit tanaman.
Tren positif penggunanaan pupuk non kimia itu juga dirasakan pengelola perusahaan bioteknologi asal Sumatera Utara yang juga produsen pupuk non kimia, PT Propadu Konair Tarabuhun (PKT Group). “Memang betul, sejak lima tahun terakhir makin banyak perusahaan besar perkebunan sawit di Indonesia yang mulai menggunakan pupuk non kimia, termasuk produk dari PKT. Tentunya itu tren positif, seiring dengan gerakan dan kesadaran pro green di dunia,” tutur Supeno Surija, pendiri dan CEO PKT Group. Pemicu lain, sambung Supeno, saat ini para pengelola kebun di Indonesia juga sudah merasakan efektifitas produk-produk non kimia yang faktanya juga sangat baik dalam meningkatkan produktifitas tanaman.
Pada masa lalu, memang ada beberapa alasan yang mendorong para pengelola kebun untuk memakai pupuk kimia. Pertama, para pengebun memandang bahwa pupuk kimia memiliki efektifitas yang lebih instan atau bisa langsung dirasakan. Dampaknya terhadap perkembangan tananaman langsung terlihat — meski tanpa disadari juga menimbulkan berbagai dampak perusakan tanah. Di lain sisi, kala itu berbagai produk pupuk organik atau non kimia yang ada memang belum menunjukkan tingkat efektifitas tinggi dalam memperbaiki kualitas tanaman ataupun pembasmian penyakit tanaman.
Supeno menyadari persepsi negatif masyakarat terhadap pupuk organik itu sehingga ia dan timnya kemudian terdorong melakukan riset di bidang pupuk dan obat non kimia guna yang punya efektifitas tinggi namun tidak merusak alam. Tentu Supeno yang punya latarbelakang pendidikan doktoral di bidang riset sehingga tak canggung untuk memimpin proyek riset itu. Supeno yang mantan CEO salah satu industri besar di Medan ini sangat terinspirasi untuk membangun industri biotech berbasis riset.
Tak heran bila kemudian dari perusahaan yang dirintisnya, PT Propadu Konair Tarabuhun, lahir produk-produk terobosan di bidang pupuk non arganik dan obat non kimia untuk sektor perkebunan. Contohnya adalah pupuk organik Dewik Ijo yang merupakan jenis pupuk multi organic alkali fertilizer (MOAF) satu-satunya di Indonesia. Cara pembuatan Dewik Ijo terbilang sangat unik. Kalangan pabrikan pupuk biasanya membuat satu pupuk standar untuk semua kebun. Model itu tak dterapkan PKT Group.
“Pupuk Dewik Ijo ini diformulasi secara khusus dan berbeda untuk kebun yang satu dengan yang lain. Formulasi pupuknya itu sendiri diperoleh setelah tim kami melakukan survey mendalam terhadap kebun milik pelanggan kami, khususnya kita analisa dulu kondisi tanaman, tanah, kelembaban, iklim, serangan penyakit, dan faktor lain yang relevan,” ungkap Supeno. Tak heran, bila setiap produk pupuk yang diproduksi PKT memiliki nomor batch yang berbeda untuk setiap kebun yang berbeda.
Lebih lanjut Supeno menjelaskan, pupuk Dewik Ijo diformulasikan agar dapat bekerja lebih cepat dari pupuk kimia, namun tidak bersifat booster atau hanya efektif sementara. Selain itu juga tidak menimbulkan residu. Supeno sendiri sangat concern dengan aspek kelestarian lingkungan sehingga dalam membuat produk selalu menjaga agar selalu selaras dengan prinsip pro green tersebut. “Kami bersyukur bahwa pupuk kami merupakan satu-satunya produk pupuk yang sudah mendapatkan standar sertifikasi DIOXIN-FREE,” terang Supeno. Yang juga menarik, bila sudah menggunakan produk Dewik Ijo sudah tak diperlukan lagi pupuk tambahan baik bupuk kimia, kompos, pupuk kandang, dan mikrorganisme lain.
Produk terobosan PKT Group tak hanya pupuk, namun juga di bidang obat non kimia untuk tanaman. Salah satunya CHIPS, yakni sebuah produk teknologi organik untuk mengendalikan serangan jamur ganoderma. Bukan rahasia lagi, bagi pengusaha perkebunan sawit di Indonesia, jamur ganoderma boninense menjadi momok yang sangat dibenci. Pasalnya jamur ganoderma ini menyebabkan busuk pangkal batang atau Basal Stem Rot (BSR) yang bisa memangkas hasil produksi hingga 50%. Bagi perusahaan-perusahaan perkebunan besar, dalam beberapa tahun terakhir ini ganoderma ditengarai menjadi pemicu kerugian miliaran rupiah pertahun karena daya rusak yang diciptakannya terhadap tanaman sawit.
Supeno menjelaskan, setelah melalui serangkaian test lab dan test di kebun, tim di PT Propadu Konair Tarahubun (PKT) berhasil menemukan teknologi organik yang cukup canggih di bidang biotech ini. “CHIPS ini formulasi organik dan gabungan dari beberapa jenis dan strain mikroorganisme seperti Trichoderma dan jenis lainnya dengan estimasi jumlah 6×10 pangkat 7 sampai dengan 2×10 pangkat 8 CFU,” kata Supeno.
CHIPS, papar Supeno, telah diaplikasikan dan diujicobakan pada beberapa demoplot di perkebunan swasta dengan disaksikan Asosiasi Bio-agroinput Indonesia (ABI). “Hasilnya, aplikasi CHIPS berhasil melumpuhkan jamur ganoderma,” kata Supeno. Produk tersebut terbukti bisa menghentikan serangan ganoderma dan oryctes. Pertumbuhan akar pohon dan daun menjadi lebih baik.
Di luar dua produk itu, PKT yang dipimpin Supeno juga masih punya beberapa produk terobosan lain untuk memberikan solusi bagi perusahaan perkebunan, khususnya perkebunan sawit. Selain itu timnya juga akan berpacu untuk terus menghasilkan produk-produk pupuk organik dan non kimia yang harus selalu ramah lingkungan. Sebagai pribadi Supeno merasa prihatin dengan praktek perkebunan di Indonesia yang diserang bertubi-tubi oleh kalangan LSM dunia karena kurang ramah lingkungan. Ia berharap apa yang dilakukannya bisa menjadi sebuah langkah positif untuk membangun perkebunan Indonesia yang lebih produktif, ramah lingkungan dan lestari.