Bagi pebisnis sekarang, tentu tahu Group Sinarmas, perusahaan yang di dalamnya bisa jadi terdapat lebih dari 500 perusahaan dengan sekitar 7 divisi bisnis. Mulai dari perkebunan, produsen kertas, keuangan, manufaktur, properti, telekomunikasi hingga pertambangan. Group ini selalu masuk dalam tiga group perusahaan terbesar di Indonesia. Di industri perkebunan sawit, group ini adalah yang terbesar dengan land bank kebun ratusan ribu ha. Pemiliknya pun selalu masuk dalam Top 5 orang-orang terkaya di Indonesia. Sebelum menjadi pengusaha terkaya di Indonesia, ia sudah berkali-kali bangkrut habis uangnya.
Group Sinarmas didirikan oleh almarhum Eka Tjipta Widjaja, pria yang lahir pada 27 Februari 1921 di Quanzhou, China dengan nama Oei Ek Tjhong. Ia memang perantau. Ia sampai usia 9 tahun berada di kampung halaman itu, namun setelah itu migrasi Indonesia pada 1932, yakni bersama dengan ibunya bermigrasi ke Makassar menyusul ayahnya yang sudah terlebih dahulu sampai di sana.
Eka ini memang sosok yang pekerja keras. Dan bisnisnya dimulai dari berdagang, dagang apa saja, yang penting survive. Saat masih bocah 15 tahun, dia sudah berwirausaha menjajakan biskuit dan permen. Tanpa segan, dia berjualan dengan cara mengendarai sepeda di penjuru kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Cerita Heroik Saat-Saat Di Makassar
Saat itu Sang ayah di Makassar sudah punya rumah. Meski dindingnya terbuat dari bambu (gedhek). Dan atapnya dari rumput. Mungkin maksudnya: daun rumbia. Sang ayah sudah punya usaha kecil-kecilan. Toko sederhana. Eka tidak ingin sekolah dulu. Ingin membantu ayahnya. Yang ia pilih adalah: menjajakan barang mirip yang ada di toko ayahnya. Ke kampung-kampung. Ia tidak mau hanya ikut menjaga toko. Tapi memilih ‘jemput bola’ ke rumah konsumen. Ia jualan, menjajakan dagangan ayahnya.
Ketika umurnya 12 tahun ayahnya minta Eka sekolah. Di sekolah Tionghoa Makassar. Ketika ditest kemampuannya masih terbatas. Ia ketinggalan dibanding teman seumurnya. Eka disuruh memulai dari kelas satu tapi tidak mau, ingin langsung kelas tiga, karena merasa sangat malu kalau harus satu kelas dengan anak umur 7 tahun.
“Saya terus pegangi kaki kepala sekolah. Saya ciumi kaki itu,” ujar Eka.
Kepala sekolah iba. Eka dimasukkan kelas tiga. Tapi bahasa Mandarin pun belum bisa. Semua pesimis Eka akan bisa naik kelas. Akhirnya ia diterima di SD itu.
Tamat SD Eka tidak mau sekolah lagi. Logikanya: sekolah agar bisa bekerja. Saya harus bisa bekerja tanpa sekolah. Kalau siang untuk sekolah tidak bisa bekerja. Kalau siang untuk bekerja bisa sekolah malam. Siang hari Eka bekerja. Hasil kerjanya untuk memanggil guru. Malam hari. Belajar di rumahnya. Ijazahnya memang hanya SD tapi pengetahuannya tidak kalah dengan tamatan SMA. Plus pengalaman kerja.
Setamat SD Eka mulai berpikir untuk bisa dagang, cari duit. Ia mendatangi grosir dan ingin dipinjami biskuit 4 kaleng untuk ia jual. Cara bayarnya, setelah biskuitnya laku baru dibayar. Tapi sayang, tidak ada yang mau memberinya biskuit. Ia dianggap masih anak-anak. Tapi Eka tak kurang akal. Ia lantas menyerahkan ijazah SD-nya. Sebagai jaminan. Dapatlah ia 4 kaleng biskuit. Dari toko yang ia ingat betul namanya: Ming Heng. Habis dalam dua hari. Uang pun disetor. Untuk ambil yang baru. Lama-lama ambil enam kaleng. Ijazah dikembalikan. Eka sudah mendapat kepercayaan penuh.
Eka lantas bisa membeli sepeda. Cukup untuk mengangkut enam kaleng biskuit. Omsetnya tidak pernah lagi naik. Kapasitas sepedanya terbatas 6 kaleng. Omsetnya baru naik ketika Eka bisa membeli becak bekas. Yang tidak ada joknya. Khusus untuk angkut biskuit. Bisa 18 kaleng.
Eka membayar tukang becak. Lima gulden sebulan. Dalam empat tahun ia bisa mengumpulkan tabungan 2.500 Gulden. Ia minta ijin ayahnya. Memperbaiki rumah. Habis 1.000 Gulden.
Dinding bambu diganti dengan kayu. Atap daun diganti seng. Sisanya ditabung. Ingin sekolah ke Tiongkok. Atau ke Hongkong. Sambil mencari tambahan tabungan itu ia ikutkan arisan tender. Caranya: siapa yang mau memberi bunga tertinggi yang menang. Belum ada deposito waktu itu. Orang seperti Eka tidak akan bisa diterima bank.
Tahun 1941 Jepang masuk Makassar. Keadaan kacau. Ekonomi hancur. Tabungan itu hilang bersama yang menang tender. Itulah kejatuhan pertama Eka. Masih remaja sudah merasakan ludes. Ia pun tidak tahu apa yang bisa dikerjakan.
Di zaman perang seperti itu. Ia lebih banyak bermain di pantai Losari. Saat duduk-duduk di bebatuan itulah ia kaget. Ada truk tentara yang membuang sampah. Di tanah tidak jauh dari pantai. Sampah itu bukan sembarang sampah. Tapi reruntuhan bekas perang. Barang-barang dari gudang yang terbakar: besi, kayu, karung-karung terigu, karung semen, seng dan sebagainya.
Tiap hari truk itu membuang rongsokan ke situ. Eka berpikir semua rongsokan itu bisa jadi uang. Tapi bagaimana mengangkutnya. Uangnya habis. Tabungannya ludes. Tapi orang yang membuang rongsokan itu pasti perlu minum. Maka Eka mendirikan warung di dekatnya.
Memasak kopi. Menyediakan meja kursi. Yang dibawa dari rumahnya. Ternyata laku. Kopinya selalu habis. Lalu ibunya ia minta bikin ayam rebus. Ayam putih. Disajikan bersama kopi.
Ayam putihnya itu tidak laku. Ia panik. Modal beli ayam itu yang terbesar. Bukan kopi. Justru tidak laku. Ia kepepet. Nekat. Ia datangi komandan Jepang. Ia minta mencicipinya secara gratis. “Saya beri sepotong saja. Tidak berani memberi banyak. Takut ayamnya habis tanpa mendapat uang,” guraunya. Harapannya terkabul. Sang komandan menyukainya. Anak buahnya membeli. Tiap hari ayam putihnya habis. Tapi tujuannya bukan jualan ayam.
Yang utama cari modal. Untuk bisa mengangkut rongsokan-rongsokan yang menggunung itu. Halaman rumahnya pun penuh rongsokan. Juga tanah kosong di sebelah rumahnya. Besi-besi diluruskan. Seng-seng diratakan. Terigu yang kelihatan terbakar dibuka. Bagian luarnya dibuang. Terigu yang masih baik dikumpulkan. Karung dicuci. Dikeringkan. Untuk mewadahi terigu yang masih baik.
Semen-semen yang sudah membatu ditumbuk. Yang masih baik dikumpulkan. Dikarungi lagi. Persoalannya: terigu bekas harganya murah. Maka Eka mempelajari cara menjahit karung. Yang bisa sesempurna jahitan pabrik. Agar dikira semuanya masih baru. Ia beli jarum di toko. Ia praktekkan cara menjahit karung yang baik.
Berhasil. Terigu ia jual. Setiap hari. Semen tidak ia jual. Tunggu momentum. Toh dari jualan terigu sudah cukup untuk bisa hidup. Lalu ia pelajari: untuk apa orang beli semen. Ternyata banyak yang dipakai untuk membangun kuburan. Kuburan Tionghoa. Eka pun mencari siapa tukang makam terbaik. Ia ajak joint. Ia beri ‘saham’ 20 persen. Hasilnya menggembirakan. Dalam setahun bisa membangun 8 makam. “Bagian depan makam dekat bandara Makassar itu saya semua yang bangun,” katanya.
Nilai semennya lebih tinggi daripada dijual dalam bentuk semen. Dari bisnis barang rongsokan itu Eka bisa menabung Rp 20.000. Waktu itu harga sebuah rumah tembok Rp 1.000.
Bangkrut dan Bangkrut lagi
Stock rongsokannya pun habis. Eka lantas ingin bisnis minyak goreng. Ia sudah tahu di mana pusat penghasil minyak goreng: Selayar. Sebuah pulau di Selatan Sulawesi. Perlu naik kapal satu malam penuh untuk ke sana. Ia pun berangkat.
Semua tabungan ia bawa. Diikatkan di pinggang secara merata. Ia tahu tidak bisa beli secara utang, harus kontan. Di Selayar ia bisa kulakan 4.000 kaleng minyak goreng. @18 liter. Ia mendapat diskon 20 persen. Karena membayar kontan. Ia mabuk. Tidak mampu berdiri. Pun waktu kapal sudah tiba kembali di pelabuhan Makassar. Ia harus pegangan tiang listrik dulu. Lama. Sebelum bisa berjalan tegak. “Mabuk tapi hati sangat gembira. Semangat sekali,” katanya.
Baru beberapa hari di Makassar keluarlah peraturan pemerintah Jepang. Penjualan minyak goreng hanya boleh dilakukan pihak Jepang. Milik swasta harus diserahkan. Dengan harga dipatok. Rp 1,5/liter. Eka Tjipta, yang waktu itu namanya masih Ek Tjhong, bangkrut untuk kedua kalinya. Masih muda sudah merasakan ‘jatuh’ dua kali. Hidup pun susah. Untuk semua orang. Berbulan-bulan tidak makan roti. Bukan tidak punya uang tapi sulit mendapatkan roti.
Beli roti harus antre. Satu orang dibatasi maksimal dua roti. Hari itu ia sangat ingin beli roti. Ia antre. Beli dua. Tapi hanya diberi satu. Ia marah. Tetap tidak diberi. Ia lemparkan roti yang di tangannya ke muka penjualnya. Ia ngeloyor pulang. Hatinya mendidih. Dendam.
Tekadnya bulat: ingin bikin pabrik roti. Berhari-hari ia cari tahu: siapa juru masak pabrik roti itu. Ia datangi rumahnya. Ia bawakan oleh-oleh untuk istrinya. “Kalau saya tidak bawakan oleh-oleh bisa-bisa tidak boleh masuk rumahnya,” katanya bergurau. Langsung ia tawarkan gaji dua kali lipat.
Dari Rp 15 ribu sebulan ke 30 ribu. Tawaran diterima dengan senang. Tapi baru bisa bulan berikutnya. Ia tidak mau kehilangan gaji sebulan itu. Eka tidak sabar. Dendamnya masih membara. Langsung saja dikeluarkan jurus pamungkasnya: ia bayar gaji yang sebulan itu.
Pabrik rotinya maju. Tapi sulit mendapatkan gula. Beli gula harus antre. Satu orang hanya boleh antre untuk 1 kg. Eka mencari pengantre bayaran. Tujuh orang.
Satu bulan bisa mendapat 10 ton. Eka pun merinci. Berarti satu orang antre di 40 tempat sehari. Eka menjadi kaya kembali. Ia berani membeli mobil. Rp 70 ribu harganya.
Tapi harus inden. Mobilnya baru tiba enam bulan kemudian. Saat itulah temannya kesusahan. Perlu uang. Menyerahkan mobilnya. Hanya dengan harga Rp 30 ribu. Jadilah Eka punya dua mobil.
Tip Sukses Merintis Bisnis Kontraktor & EPC
Menjadi orang yang sangat terpandang. Waktu meninjau bekas sekolahnya dulu sang kepala sekolah sendiri yang membukakan pintu mobilnya. Eka banyak menyumbang ke sekolah itu.
Lalu terjadilah perang kemerdekaan. Keadaan kacau. Jalur logistik putus. Pasukan bahan baku macet. Eka bangkrut lagi. Untuk ketiga kalinya.
Sekali lagi Eka tidak mau meninggalkan utang. Ia sangat yakin kepercayaan adalah modal terpenting. Dengan kepercayaan ia yakin pasti bisa bangkit lagi. Kelak. Ia jual yang bisa dijual cepat. Termasuk dua mobil kebanggaannya.
Ia kembali naik sepeda. Saat bangkrut yang ketiga itulah Eka merasa sangat sakit. Bukan soal hidup susah lagi. Tapi soal harga diri. Orang yang dulu membukakan pintu mobilnya pun tidak mau menyapanya lagi. Bahkan melengos saat disapa. Ia sampai malu keliling Makassar dengan sepedanya. Ia merasa semua jari menuding ke mukanya. Eka tidak tahan lagi. Dirinya merasa terhina. Ia pun minggat dari Makassar. Menuju Malino. Daerah pegunungan sekitar 60 km dari Makassar. Ia menghabiskan waktu di situ. Dengan membaca. Ia memang gemar membaca.
Berbisnis dengan tentara
Setelah 6 bulan Eka retreat di Malino barulah hatinya dingin. Ia kembali ke Makassar. Ingin mengerjakan apa yang bisa dikerjakan. Waktu itu, awal 1950, TNI mengerahkan banyak pasukan ke Makassar. Untuk menumpas pemberontakan Andi Aziz. Dan Kahar Muzakar. Tentara kekurangan logistik. Para pedagang tidak mau menjadi pemasok. Khawatir pembayarannya macet. Eka mendengar itu. Mau. Satu-satunya yang mau jadi pemasok. Ia punya logika sendiri.
“Ini kan tentaranya pemerintah. Pemerintah sendiri. Sudah merdeka. Pasti punya uang. Kalau pun tidak kan bisa cetak uang. Kan negaranya sendiri,” pikirnya. Eka kembali akan mengandalkan kepercayaan.
Sebagai modal utamanya. Ia datangi perusahaan dagang negara. Peninggalan Belanda. Seperti Geowehry. Ia minta barang. Bayar belakangan.
Minta waktu dua minggu. Seperti pembayaran yang dijanjikan tentara. Ternyata dua minggu tidak ada pembayaran. Satu bulan tidak ada. Satu bulan setengah juga tidak.
Eka datang ke Geowehry. Minta maaf. Menceritakan apa adanya. Membawa semua berkas dan tagihan. Ia ceritakan apa adanya. Tidak ada yang disembunyikan. Setelah lewat dua bulan pembayaran cair. Sekaligus. Banyak sekali.
Eka menjadi banyak uang lagi. Utangnya pun lunas. Eka menjadi akrab dengan tentara. Tentara juga begitu. Merasa Eka orang yang berjasa. Kesempatan pun terbuka.
Eka boleh memanfaatkan kapal tentara. Yang pulang ke Makassar dalam keadaan kosong. Setelah mengirim tentara ke Manado. Eka pun memuatinya dengan kopra. Yang melimpah di Manado. Dengan harga murah. Ia jual di Makassar. Dengan harga tinggi.
Jadilah Eka pedagang kopra. Ia sering pergi ke Manado, Palu, Toli-toli, Maluku. Pusat-pusat kopra ia kuasai. Ia pun sudah berani carter kapal. Untuk kirim kopra dari Manado ke Surabaya dan Jakarta.
Jaringan dagangnya kian luas. Suatu saat ia sudah mengumpulkan 3 ribu ton kopra di Manado. Ia carter kapal besar dari Jakarta. Untuk ukuran saat itu. Ketika kapal tiba pecahlah pemberontakan Permesta. Terjadi perang. Eka menyelamatkan diri. Kopra 3 ribu ton ia tinggal.
Pindah Ke Surabaya
Kapal carterannya kembali ke Surabaya hanya membawa dirinya. Eka bangkrut untuk keempat kalinya. Ia tidak mau lagi tinggal di Makassar. Ia ingin pindah Surabaya. Di daerah yang lebih aman. Yang memungkinkan bisnis berkembang. Di Surabaya Eka ditampung di kamar temannya. Ukuran 2 x 3 meter. Ia hanya membawa modal kepercayaan. Dan nama baik. Ia pun menghadap Pangdam Brawijaya, Mayjen Basuki Rahmat. Diijinkan pula mengisi kapal tentara dengan barang dagangannya. Kapal itu berangkat ke Sulawesi membawa bahan makanan.
Balik ke Surabaya kosong. Hasilnya dibagi dua: tentara mendapat 25 persennya. Di Surabaya Eka berkembang pesat. Dengan pabrik minyak kelapanya. Dari Surabaya merambah Indonesia. Tidak pernah bangkrut lagi.
Pimpinan Jawa Pos Dahlan Iskan saat usianya 40 tahun pernah bertanya ke Eka, Apakah masih membayangkan bahwa suatu saat akan bangkrut lagi? Untuk kelima kalinya. “Sekarang sudah tidak mungkin lagi bangkrut. Sudah terlalu besar untuk bisa bangkrut,” katanya. Itu tahun 1992. Diucapkan di Surabaya. Kepada saya.
Di Balik Sukses Pemasaran Kosmetik MS Glow
Saat itu Pak Eka sudah menjadi orang terkaya kedua di Indonesia. Setelah Liem Soe Liong. Pabrik minyak gorengnya sudah yang terbesar di Indonesia. Pabrik kertasnya terbesar di Asia. Bisnis Grup Sinar Mas sudah merambah ke segala arah. Waktu mengucapkan ‘tidak mungkin lagi bangkrut’ kelihatannya Pak Eka tidak membayangkan: bakal terjadi krisis moneter delapan tahun kemudian. Saat itu utang Sinar Mas mencapai sekitar Rp 110 triliun. Kepada lebih 60 bank. Di lebih 40 negara.
Yang menagih pun sampai kesulitan. Untuk berunding pun sulit. 60 bank dan 40 negara harus setuju. Caranya maupun pembagian hasil penagihannya.
Sampai-sampai utang itu distensil. Dibekukan. Ini membuat Sinar Mas kembali jaya. Semua hasil penjualannya bisa untuk menggerakkan operasionalnya. Tanpa mikir nyicil utang.
Memang Sinar Mas sempat kehilangan Bank International Indonesia. Tapi Pak Eka benar: sudah terlalu besar untuk bisa bangkrut. Sabtu lalu Pak Eka meninggal dunia. Meninggalkan semua itu. Tapi juga meninggalkan pelajaran bisnis yang luar biasa berharga.
Banyak Pelajaran Bagi Anak Muda
Masa muda Eka penuh perjuangan. Meski hanya mampu menyelesaikan pendidikan hingga sekolah dasar, ia mau belajar di lapangan. Ia tak pernah belajar dalam arti yang sesungguhnya. Ia beberapa kali bangkrut dan bangkit lagi. Ia mulai berjualan keliling di kota Makasar dengan sepedanya. Berjualan dari pintu satu ke pintu yang lain, ia menawarkan permen, biskuit dan barang lainnya di toko milik ayahnya. Menginjak usia 15 tahun, ia sudah berani menjadi pemasok kembang gula dan biskuit dengan sepedanya yang melewati hutan-hutan karena jalanan tidak sebagus saat ini. Hasil yang ia dapat hanya sebesar Rp 20.
Menjaga tim inti
Eka sangat menjaga anak buahnya yang loyal. Ada salah satu sekretaris Eka Tjipta yang hingga kini masih dipekerjakan selama hampir 60 tahun. Sekretaris bernama Bu Eli tersebut hingga kini masih sehat dan terus berkantor serta tidak boleh dipensiunkan atas permintaan Pak Eka sendiri. Eli masih terus berkantor walaupun dari segi usia dan kondisi fisik sudah tidak memungkinkan untuk bekerja sebagai sekretaris. Tetapi pesan Pak Eka tidak boleh dipensiunkan karena Bu Eli ini sudah ikut Bapak dari zaman Pak Eka belum memiliki apa-apa.
Bacaan Terkait:
- Kisah sukses Djoko Pendiri Alfamart Group
- Kolonel Sanders, Pendiri KFC, Yang Berkali-Kali Gagal
- Lika-Liku Di Balik Sukses Es Teller 77
- Sejumlah Investor Asing Cari Mitra Lokal