Dua Mesin Pertumbuhan: Membandingkan Strategi Ekonomi Era SBY dan Jokowi

bintangbisnis

Dalam dua dekade terakhir, Indonesia bergerak melalui dua eksperimen ekonomi yang berbeda. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seorang jenderal yang menjelma teknokrat, mewariskan rezim ekonomi yang lembut namun efektif. Joko Widodo (Jokowi), mantan wali kota yang percaya pada kekuatan beton dan baja, mengarahkan bangsa ini ke jalur yang lain. Perbedaan mereka bukan sekadar gaya, tetapi juga filosofi tentang bagaimana sebuah negara seharusnya tumbuh.

Pada masa SBY, ekonomi berputar dengan irama yang lebih alami. Bank-bank nasional membuka kran kredit, memberi ruang kepada pengusaha untuk bermimpi lebih besar. Pertumbuhan sektor swasta menjadi motor utama, mendorong perekonomian ke angka di atas enam persen. Negara berperan sebagai wasit, bukan pemain utama. Ada keheningan yang produktif: pemerintah tidak banyak berbicara tentang pembangunan, tetapi bisnis berjalan dengan sendirinya.

Jokowi datang dengan cerita berbeda. Sejak awal ia menekankan pembangunan infrastruktur sebagai simbol kemajuan. Jalan tol trans-Jawa, pelabuhan yang diperbesar, dan kereta cepat menjadi wajah ekonomi baru Indonesia. Namun, di balik gemuruh proyek, dunia usaha swasta berjalan lebih lambat, bahkan tersendat.

Bagi pengusaha yang hidup di era SBY, kenangan itu masih jelas: kredit bank mengalir lancar. Percakapan di ruang-ruang rapat penuh rencana ekspansi, akuisisi, dan ekspor baru. Para pebisnis tumbuh bersama rasa percaya bahwa pemerintah tidak akan menutup jalan mereka. Dalam suasana itu, pertumbuhan ekonomi di atas enam persen bukan sekadar statistik, melainkan kenyataan sehari-hari.

SBY memang tidak mencatatkan diri sebagai “presiden infrastruktur.” Proyek fisik ada, tetapi tidak menjadi lambang kekuasaannya. Ia lebih memilih menjaga stabilitas: inflasi terkendali, nilai tukar relatif tenang, dan kepercayaan pada dunia usaha tetap terjaga. Dalam kerangka itu, mesin swasta bekerja dengan kecepatan penuh.

Jokowi sebaliknya. Ia menempatkan negara di panggung utama, dengan APBN sebagai bahan bakar. Infrastruktur menjadi mantra, sekaligus cara menunjukkan kepada publik bahwa pemerintah hadir dalam setiap kilometer jalan baru. Namun strategi ini memiliki harga. Ruang bagi swasta untuk berkembang justru semakin menyempit, karena hampir semua energi diarahkan ke proyek-proyek negara.

Pertumbuhan di era Jokowi pun bergerak dengan nada yang lebih berat. Angka di bawah lima persen menjadi wajah baru ekonomi, jauh dari euforia enam persen pada masa SBY. Infrastruktur berdiri, tetapi mesin swasta seakan mati suri. Ada paradoks yang sulit diabaikan: beton tumbuh, tetapi bisnis stagnan.

Di banyak forum pengusaha, perbandingan itu muncul dengan sendirinya. Pada masa SBY, ekspansi dianggap wajar; perusahaan berlomba-lomba memperbesar kapasitas. Pada masa Jokowi, strategi yang dominan justru bertahan, menunggu arah angin, atau bahkan menyingkir ke negara tetangga.

Kritik pun mengemuka: ekonomi Jokowi terlalu bertumpu pada APBN. Belanja negara memang menjaga konsumsi, tetapi efek berantainya terbatas. Infrastruktur bisa dibangun, tetapi apakah cukup untuk membuat swasta berani berinvestasi kembali? Pertanyaan itu menggantung, tanpa jawaban pasti.

Dalam suasana seperti ini, banyak pengusaha kecil dan menengah merasakan beban lebih berat. Akses kredit makin ketat, regulasi makin rumit, dan tekanan pajak semakin terasa. Sebagian melihat era SBY sebagai “masa emas,” bukan karena negara memberi subsidi, tetapi karena negara tidak terlalu mendominasi.

Sementara itu, investor asing membaca arah angin dengan hati-hati. Infrastruktur yang megah memang impresif, tetapi jika dunia usaha lokal tak tumbuh, apa gunanya jalan tol yang panjang? Mereka menunggu, menimbang, dan dalam banyak kasus, memilih menanam modal di Vietnam atau Thailand.

Perbedaan ini adalah cermin dua pandangan besar tentang pembangunan. SBY percaya bahwa pertumbuhan terbaik lahir ketika pasar diberi ruang. Jokowi percaya bahwa negara harus menjadi lokomotif, menarik gerbong swasta di belakangnya. Dua filosofi, dua hasil yang berbeda.

Hasilnya, Indonesia kini hidup dalam dilema. Apakah ingin mengembalikan mesin swasta seperti di masa SBY, atau terus mempertaruhkan anggaran negara sebagai motor penggerak seperti di era Jokowi? Infrastruktur sudah dibangun, tetapi apakah cukup untuk menyalakan kembali gairah swasta?

Pertumbuhan ekonomi di bawah lima persen memberi jawaban yang pahit. Beton tidak bisa sepenuhnya menggantikan kepercayaan. Jalan tol mungkin mempercepat perjalanan, tetapi tidak otomatis mempercepat investasi. Mesin swasta, yang dulu berderu di era SBY, kini lebih banyak terdiam.

Dua presiden, dua era, dua cerita pertumbuhan. SBY mungkin tidak meninggalkan jejak fisik sebesar Jokowi, tetapi ia meninggalkan ingatan kolektif para pengusaha: bahwa ekonomi bisa tumbuh cepat ketika negara memberi ruang. Jokowi meninggalkan warisan infrastruktur yang nyata, tetapi juga tanda tanya besar: bagaimana bila mesin swasta tetap enggan bergerak?

Share This Article