Kisah Sukses Eddy Hartono: Membangun Hammer, Nail, dan Coconut Island dari Nol hingga Ikon Fesyen Lokal

bintangbisnis

Tidak semua bisnis besar lahir dari ambisi yang megah. Sebagian justru bermula dari keputusan-keputusan kecil yang diambil berulang kali, pada saat tak ada sorotan, tak ada tepuk tangan, dan nyaris tak ada yang percaya. Dunia usaha, seperti hidup itu sendiri, kerap menguji ketahanan seseorang bukan lewat badai besar, melainkan melalui rutinitas sunyi yang menuntut kesabaran. Mereka yang bertahan—yang tidak tergoda berhenti hanya karena hasil belum terlihat—sering kali menemukan bahwa hal yang dulu dianggap sepele, jika ditekuni dengan konsisten, dapat tumbuh menjadi sesuatu yang jauh melampaui bayangan awalnya.

Prinsip inilah yang diam-diam dijalani Eddy Hartono, jauh sebelum nama Hammer dikenal sebagai merek fesyen nasional. Ia tidak memulai dengan visi menaklukkan industri, apalagi membangun simbol kebanggaan lokal. Yang ia miliki hanyalah keyakinan pada kualitas, dan kemauan untuk terus memperbaiki diri, bahkan ketika pasar belum ramah pada produk buatan dalam negeri. Puluhan tahun kemudian, dari ketekunan yang nyaris tak terlihat itu, lahirlah sebuah merek yang membuktikan bahwa kesabaran—jika dijalani cukup lama—dapat menjelma menjadi legitimasi.

Nama Eddy Hartono tidak pernah terlalu sering muncul di panggung publik. Ia bukan tipe pengusaha yang gemar berpidato atau memamerkan angka. Tetapi di dunia ritel fesyen Indonesia, jejaknya tertanam kuat. Dari tangan dan intuisi bisnisnya lahir PT Warna Mardhika—perusahaan yang membesarkan Hammer, Nail, dan Coconut Island—tiga merek dengan karakter berbeda, yang bersama-sama membentuk lanskap fesyen kasual Indonesia selama lebih dari tiga dekade.

Eddy tidak memulai kariernya sebagai “orang mode.” Pada 1970-an, ia adalah pelaku manufaktur penjahitan. Dunia yang digelutinya keras, penuh hitung-hitungan ongkos, efisiensi produksi, dan tekanan margin. Tidak ada glamor. Tidak ada peragaan busana. Yang ada hanyalah mesin jahit, kain, dan tenggat waktu. Dari sanalah Eddy belajar satu pelajaran mendasar: kualitas tidak bisa dipalsukan. Jahitan yang rapi, bahan yang tepat, dan konsistensi produksi adalah fondasi yang menentukan hidup-mati sebuah usaha.

Pada masa itu, ia sempat meluncurkan merek bernama Lacoupe. Merek itu berjalan, tetapi tidak meledak. Ia menjual, tetapi tidak membekas. Eddy mencatatnya bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai latihan. Ia mulai memahami bahwa dalam fesyen, produk bagus saja tidak cukup. Dibutuhkan identitas—sebuah kata, simbol, dan keberanian untuk tampil berbeda.

Kesadaran itu menemukan bentuknya pada 1987, tahun kelahiran Hammer, sekaligus berdirinya PT Warna Mardhika secara resmi. Nama “Hammer” dipilih bukan tanpa pertimbangan. Bagi Eddy, palu adalah simbol kekuatan, kerja, dan ketegasan. Pada masa ketika merek lokal cenderung memilih nama lembut atau terdengar “asing setengah-setengah”, Hammer terdengar berani, maskulin, dan lugas. Ia adalah kata yang berdiri sendiri.

Hammer langsung menempuh jalur yang tidak biasa. Warnanya berani. Garis desainnya tegas. Ia tidak mencoba meniru merek luar, tetapi menciptakan bahasa visual sendiri. Dalam waktu relatif singkat, Hammer menjadi pusat perhatian, dikenakan oleh selebritas, model, dan figur publik. Bukan karena iklan besar-besaran, melainkan karena ia berbeda. Hammer menawarkan busana siap pakai modern dan kasual, yang terasa relevan dengan gaya hidup urban Indonesia yang sedang tumbuh.

Keberhasilan Hammer memberi PT Warna Mardhika kepercayaan diri untuk melangkah lebih jauh. Delapan tahun kemudian, pada 1995, lahirlah Nail. Jika Hammer adalah palu, maka Nail adalah paku—lebih presisi, lebih eksklusif, dan menyasar segmen berbeda. Nail dirancang sebagai merek menswear kelas menengah atas, dengan fokus pada kemeja modern yang tampak eksklusif dan tak lekang oleh waktu. Bahannya lebih premium, potongannya lebih rapi, dan karakternya lebih dewasa. Eddy memahami bahwa pasar tidak homogen. Ia memilih membangun merek baru, bukan memaksa Hammer menjadi segalanya.

Memasuki era 2000-an, estafet kepemimpinan perlahan berpindah. Mario Hartono, putra Eddy, mulai mengambil peran strategis. Jika Eddy adalah generasi pembangun fondasi, Mario adalah generasi penafsir zaman. Ia tumbuh di tengah globalisasi, melihat langsung bagaimana merek-merek luar membangun citra, komunitas, dan emosi. Ide Coconut Island lahir dari perjalanan—secara harfiah.

Pada 2007, setelah bepergian ke Amerika Serikat, Mario melihat kaos oblong bukan lagi sekadar pakaian rumah, melainkan pernyataan gaya. Namun ia menolak pendekatan “distro” yang murah dan seragam. Coconut Island dirancang dengan idealisme: satu produk utama, bahan premium, dan konsep visual yang kuat. Terinspirasi budaya pop-art kontemporer Brasil dan semangat Rio de Janeiro, Coconut Island menawarkan desain yang segar, muda, dan penuh warna—seperti angin laut yang masuk ke ruang ritel Indonesia.

Jalannya tidak mulus. Harga kaos Coconut Island yang mencapai ratusan ribu rupiah dianggap terlalu mahal. Banyak pusat perbelanjaan menolak. Terlebih lagi, merek ini hanya menjual satu jenis produk. Tetapi Mario memilih bertahan. Ia mempresentasikan visinya langsung kepada pengambil keputusan ritel. Kesempatan datang ketika sebuah department store ternama memberikan lokasi strategis di Plaza Senayan, berdampingan dengan merek internasional. Penjualannya nyaris setara. Sejak saat itu, banyak konsumen mengira Coconut Island adalah merek luar negeri.

Ekspansi berlanjut. Coconut Island Kids lahir pada 2009. Osprey menyusul pada 2016, dengan inspirasi gaya kasual pemuda Irlandia—aktif, sederhana, dan maskulin. Setahun kemudian, Hammer Active diperkenalkan, menangkap gelombang gaya hidup sehat dan kebutuhan pakaian olahraga yang fungsional namun tetap bergaya.

Selama tiga dekade lebih, PT Warna Mardhika tumbuh menjadi ekosistem merek. Puncaknya, sebelum pandemi, jaringan ritelnya mencapai sekitar 250 gerai. Setelah krisis global melanda, jumlah itu menyusut menjadi sekitar 120. Bagi Mario, ini bukan kemunduran, melainkan konsolidasi. Ia menutup gerai yang tidak efisien, memperkuat identitas masing-masing merek, dan memperluas kategori produk. Beban dikurangi agar perusahaan tetap lentur.

Hari ini, Warna Mahardhika berdiri sebagai salah satu pemain fesyen lokal paling konsisten. Ia tidak mengejar sensasi viral, tetapi membangun kepercayaan jangka panjang. Ketika Eddy Hartono dulu berkata bahwa produk bermerek tidak mudah terguncang oleh gempuran impor murah, ia berbicara dari pengalaman. Merek adalah benteng. Dan membangun merek membutuhkan waktu, disiplin, dan keberanian untuk tidak selalu mengikuti arus.

Apa yang bisa dipelajari pengusaha muda dari kisah ini? Pertama, jangan terburu-buru ingin besar. Hammer lahir setelah Eddy bertahun-tahun bergelut di manufaktur. Kedua, pahami bahwa satu merek tidak harus memuaskan semua orang. Nail dan Coconut Island lahir justru karena kesadaran akan perbedaan segmen. Ketiga, idealisme memang mahal, tetapi tanpa idealisme, merek hanya akan menjadi komoditas. Dan terakhir, regenerasi bukan ancaman, melainkan kesempatan—selama nilai inti tetap dijaga.

Di rak sebuah toko, palu, paku, dan pulau mungkin terdengar seperti metafora. Tetapi di tangan Eddy dan Mario Hartono, ketiganya menjadi simbol perjalanan panjang sebuah bisnis lokal: ditempa, dipaku kuat, lalu dibiarkan tumbuh bebas. Di tengah gemerlap merek global, kisah ini mengingatkan bahwa kepercayaan diri—jika dirawat cukup lama—pada akhirnya akan menemukan panggungnya sendiri. (BintangBisnis.com)

_____________________________

Share This Article