Kampiun Pembuat Bola Sepak Van Majalengka

bintangbisnis

Tak sedikit kalangan penggiat dunia olahraga sepakbola yang sudah mengenal perusahaan ini, PT Sinjaraga Santika Sport (Sinjaraga). Maklum, perusahaan ini terbilang hanya segilintir perusahaan di Indonesia yang eksis berbisnis bola sepak. Bisnis Sinjaraga memang memproduksi bola sepak yang pemasarannya kini sudah tersebar luas, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun-tahun ketika Piala Dunia (World Cup) diselenggarakan, biasanya nama perusahaan ini ikut mencuat. Bukan saja karena produknya sebagian digunakan FIFA untuk ajang resmi itu, namun pemesanan dari buyer di luar event Piala Dunia juga cenderung meningkat di tahun-tahun itu.

Didirikan oleh Irwan Suryanto tahun 1994, Sinjaraga memang terus berkembang dari tahun ke tahun. Saat ini kapasitas produksi bola perhari di kisaran 3.000 bola atau sekitar 90.000 sampai 100.000 bola per bulan. Dari seluruh produknya, Sinjaraga saat ini hanya fokus memproduksi jenis bola untuk olahraga sepakbola, baik untuk sepakbola tanah/rumput maupun bola futsal. Dengan kata lain, tidak memproduksi bola untuk jenis olahraga lain seperti voly maupun basket. “Bukan karena tidak bisa atau tidak punya teknologinya, namun karena marketnya yang kecil sehingga kami kurang tertarik,” ungkap Jefry Romdonny, Presiden Komisaris yang juga putra pendiri Sinjaraga.

Yang menarik, produksi bola di Sinjaraga ternyata menggunakan konsep kemitraan. Ya, mulai dari tahapan proses produksi bola, pekerjaan penjahitan tidak dikerjakan sendiri oleh Sinjaraga, namun dikerjasamakan dengan para pengrajin binaan di desa-desa sekitar Majalengka melalui pola kemitraan. Jefry Romdonny menjelaskan, saat ini jumlah penrgajin binaan itu tak kurang dari 2000 orang.

Dijelaskan Jefry, sejak awal berdiri tahun 1994, Sinjaraga memang langsung menerapkan konsep kemitraan dalam memproduksi bola. “Itu memang sesuai visi pendiri yang ingin menciptakan lapangan kerja bagi warga sekitar Majalengka. Jumlah mitra awalnya hanya sedikit, lalu terus berkembang,” sebut Jefry yang perusahaannya kini menjalin kemitraan dengan 2.000-an orang pengrajin.

Proses produksi bola di Sinjaraga melalui serangkaian tahap pekerjaan yang bila ditotal tak kurang dari 9 tahap. Mulai dari pemilihan dan penyiapan bahan baku, pelapisan bahan baku kulit sintetis (coating), pemotongan bahan baku (cutting), penjahitan, sortir, hingga finishing. Proses pemilihan dan pelapisan bahan baku dilakukan di pabrik Sinjaraga oleh karyawan internal.


Pun proses pemotongan bahan baku utama yang berasal dari kulit sintetik, juga dilakukan sendiri oleh karyawan Sinjaraga dengan mengoperasikan sejumlah mesin pemotong (mesin cetak). Mesin pemotong itu mampu  mencetak potongan-potongan kulit bola dengan pola sesuai permintaan pelanggan. Maklum, tiap pembeli dari berbagai belahan dunia punya selera desain bola yang beragam. Ada yang maunya bola dengan pola jahitan segi lima, ada yang segi enam, dan sebagainya. Dalam hal ini presisinya memang mesti sangat tepat agar bola yang dihasilkan kelak benar-benar bisa bulat sempurna alias tidak benjol.

Potongan-potongan bahan bola berupa kulit sintentis itu kemudian dirangkai atau dijahit agar bisa membentuk sebuah bola. Proses menjahit (merangkai) inilah yang oleh Sinjaraga dikerjasamakan atau dialihdayakan kepada para pengrajin di desa-desa terpencil di seputar Majalengka. Saat ini 100% proses penjahitan bola Sinjaraga dikerjakan oleh para mitra pengrajin, tak ada yang dikerjakan sendiri. Para pengrajin itu kebanyakan kalangan ibu-ibu rumah tangga di pedesaan, meski pihak Sinjaraga tidak pernah membatasi harus ibu-ibu. Yang dilarang bermitra hanya anak yang masih dibawah umur.

Model hubungan antara Sinjaraga dengan para pengrajin itu hanya bersifat hubungan kemitraan sukarela. Tidak ada ikatan kontrak tertentu. “Cara dan waktu kerja mereka bebas. Kita sebagai pemberi pekerjaan tidak bisa memaksa waktu deadline harus selesai hari ini atau hari tertentu. Mereka bebas mengerjakannya. Mau kerja di siang hari atau malam hari terserah. Bahkan nanti kalau mereka punya kesibukan lain seperti menggarap sawah atau musim panen, pekerjaan menjahit bola ini bisa saja ditingggalkan sementara untuk mengurusi sawah,” ungkap Jefry

Untuk bisa mendapatkan pengrajin itu Sinjaraga bekerjasama dengan para pemborong yang bertindak sebagai ketua kelompok bagi para pengrajin. Mereka yang tugasnya ‘mencari’ orang untuk menjadi mitra pengrajin binaan. Para pemborong ini ada yang awalnya merupakan anggota keluarga karyawan Sinjaraga, namun bisa juga orang luar yang sebelumnya tidak berbisnis dengan Sinjaraga. “Ada juga tokoh pemuda yang ingin coba cari pekerjaan untuk memberdayakan warga sekitarnya, lalu kita percaya untuk mengkoordinir. Banyak cara,” sebut Jefry.

Para pemborong mengambil bahan ke PT Sinjaraga berupa potongan-potongan kulit sintetis berpola yang sudah siap dirangkai, kemudian disebarkan ke para pengrajin. Setelah selesai dirangkai para pengrajin dalam lingkarannya, mereka lalu menyetornya kembali ke pabrik Sinjaraga, sembari mengambil bahan baru untuk dijahit lagi. Demikian bergulir seterusnya. “Para pemborong dibayar per hasil yang dikerjakan. Ia semacam koordinator, bukan karyawan,” terang Jefry seraya menyebut jumlah koordinator seperti itu lebih dari 20 orang dengan jumlah anggota yang sangat beragam .

 
 


Kebanyakan pengrajin memang dipilih yang berasal dari desa-desa yang terpencil seputar di Majalengka, dengan area yang tersebar. Sengaja dipilih dari desa terpencil agar keberadaan program ini benar-benar bisa membantu mereka mendapatkan penghasilan tambahan tanpa harus keluar dari desanya. “Mereka nggak mungkin kesini karena lokasinya yang jauh. Sampai sekarang pun kita masih membuka kesempatan untuk menjadi pengrajin mitra,” sebut Jefry.

Untuk menjadi pengrajin binaan, prosesnya sangat mudah. Mereka hanya perlu dilatih dan punya meja jahit (meja jepit) yang sederhana sebagai alat produksi. Alat itu dibeli sendiri oleh si calon pengrajin dan menjadi milik mereka sendiri. “Alatnya sederhana dan tidak mahal. Kita pernah buatkan dan berikan banyak secara gratis tapi banyak yang tak terpakai. Akhirnya mereka kita minta mengadakan sendiri supaya ada rasa memiliki,” katanya. Proses menjahit dilakukan secara manual (craftmanship).

Memang, dengan pelibatan para pengrajin yang jumlahnya 2000-an itu akhirnya memunculkan tanda tanya soal dua aspek. Pertama, bagaimana mengontrol kualitas produk. Kedua, soal ketepatan delivery produk pesanan agar sesuai tenggat (deadline) yang sudah dijanjikan. Maklum cara kerja dan waktu mereka bebas. Ada yang mengerjakan di malam hari, saat libur atau di sela-sela waktu. “Terserah mereka, tergantung load masing-masing,” katanya. Terlebih lokasinya juga cukup jauh, dua jam dari pabrik Sinjaraga sehingga mengontrol mereka juga bukan hal yang mudah.

Namun untuk itu manajemen Sinjaraga sudah punya cara tersendiri yang sudah terbukti efektif secara bertahun-tahun. Pertama, soal kualitas. Untuk menjaga kualitas produksi, Sinjaraga mengandalkan dua aspek, yakni melalui pelatihan terhadap para pengrajin binaaan dan menjalankan quality control (QC) secara ketat. Dari sisi pelatihan, Sinjaraga tak henti-hentinya untuk memberikan pelatihan ke pengrajin. Dari awal menjadi pengrajin pun sudah langsung diberikan pelatihan bagaimana menjahit bola yang sesuai standard Sinjaraga.

Pada awalnya dulu pelatihan lebih banyak dilakukan di pabrik Sinjaraga, namun belakangan lebih banyak langsung di desa-desa dimana pengrajin tinggal. Bila setidaknya ada 50 orang di desa terpencil itu yang bisa menjadi anggota pelatihan, maka tim Sinjaraga akan senang hati datang memberi pelatihan. “Biasanya semuanya mereka sudah siap, kita tinggal datang dan memberi pelatihan saja,” ungkap Jefry dengan logat Sunda yang kental.

Pengrajin yang sudah pernah mendapatkan pelatihan, diperkenankan untuk mengajarkan ke keluarga atau saudara di sekitarnya. Yang pasti, pelatihan terhadap sebuah kelompok tak hanya dilakukan sekali di awal, namun setelah berjalan sekian waktu terkadang juga perlu datang lagi memberikan pelatihan. Maklum, terkadang, seiring perjalanan waktu, muncul anggota-angota baru yang juga perlu pelatihan, selain mengingatkan kemampuan anggota lama. “Kita memang selalu tanamkan bagaimana menjahit yang benar dan bagus. Kita tanamkan dari awal,” papar Jefry.

Masih soal kualitas produk, Sinjaraga juga menjalankan program quality control yang ketat. Pada tiap tahapan proses produksi selalu ada check kontrol kualitas. “Selama hasil jahitan tidak sesuai persyaratan yang diminta, tentu kita akan minta mereka untuk memperbaiki. Tidak sembarang jahitan langsung kita terima dan langsung diproses melalui finishing. Quality Control kita lakukan secara berlapis,” sebut Jefry.

Biasanya, bila ada kelompok yang banyak produknya tak sesuai standar Sinjaraga, maka tim Sinjaraga akan datang langsung ke wilayah pengrajin itu untuk mencari tahu dan memberikan penjelasan langsung, sekaligus memberikan pelatihan. Namun bila hanya ada satu-dua yang kurang sesuai standar, maka cukup berhubungan dengan ketua kelompoknya.

Tak lupa, salah satu cara agar kualitas terjaga, Sinjaraga melakukan departemenisasi pekerjaan di dalam organisasinya, agar masing-masing fokus mengontrol pekerjaannya. Untuk bagian penjahitan sendiri, terdapat 5 orang yang bertugas melakukan kontrol kualitas dan memeriksa hasil kerja para pengrajin. Semua hasil jahitan yang datang dari para pengrajin juga tak luput dari screening mereka satu per satu.

Soal ketatnya kualitas ini bukan isapan jempol. Terbukti saat ini Sinjaraga telah memperoleh sertifikat ISO 14001:2004, ISO 9001:2008, OHAS 18001:2007, dan menjadi satu-satunya perusahaan produsen bolas sepak di Indonesia yang telah memeproleh sertifikasi FIFA. Selain itu juga telah mendapatkan pengakuan dari kalangan masyarakat Eropa melalui sertifikasi CE Mark(CE=Community Europe) dari Instituto Italiano Sicurezza Del Giocattoli (EC-Notified Body, 0376).

Soal sertifikasi FIFA, menurut Jefry, hal itu tidak bisa sembarangan. Pasalnya FIFA selalu melakukan audit secara ketat, baik dari sisi administrasi maupun kualitas produk. Dari sisi kualitas produk, ada 20 standar yang ditentukan FIFA, diantaranya tingkat pantulan, lingkaran, berat, penyerapan air, hingga  daya tahan bola. Nah, untuk melakukan check, FIFA bisa saja membeli bola Sinjaraga dimanapun tokonya dan kemudian diam-diam dilakukan checking. Bila produknya tak sesuai standar FIFA, hal itu bisa menjadi masalah bagi Sinjaraga. “Itulah kenapa harus jaga betul kualitas ini,” kata Jefry.

Sementara itu, soal ketepatan waktu delivery produksi, Sinjaraga juga punya cara tersendiri agar ia bisa memenuhi target waktu pasokan ke pembelinya. Dalam hal ini Sinjaraga menyiasatinya dengan memiliki banyak pengrajin dari wilayah yang berbeda-beda, terpencar, tidak mengumpul di sebuah sebuah desa atau kecamatan tertentu. Sebut contoh, bila ada  halangan musim panen, andai pengrajin berasal hanya dari sebuah blok desa tertentu, maka ketika wilayah itu sibuk panen (ibu-ibu juga membantu panen), maka pekerjaan menjahit bola bisa ramai-ramai ditinggalkan. Tentu hal itu menjadi bahaya bagi bagi ketepatan deadline pasokan Sinjaraga ke pembelinya.

Dengan adanya basis pengrajin yang berasal dari beragam desa dan kecamatan, maka ketika di sebuah desa perkembangan produksi dari pengrajinnya lamban atau stagnan, maka bisa ditarik dan dipindahkan ke kelompok pengrajin lain yang sedang tidak panen atau halangan lain, yang sanggup menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. “Dengan cara itu, kita tepat deadline, dan tak perlu perang urat syaraf dengan pengrajin soal deadline. Karena cara kerja mereka memang tidak ada ikatan waktu dengan kita,” sebut Jefry.

Halangan bagi pengrajin untuk tepat waktu selama ini memang cukup banyak, mulai dari acara hajatan pribadi hingga acara adat. Ia menyebut contoh, ada salah satu desa yang ketika bulan Ramadlan hari ke-lima kalangan ibu-ibu sudah tak menjahit bola karena sudah disibukkan membuat kue untuk persiapan lebaran. “Itu sudah budaya, nggak bisa diotak-atik lagi, kita yang harus maklum,’ ungkap Jefry. Yang pasti, dengan memilih pengrajin dari basis desa yang berbeda bisa mengurangi resiko kelambanan produksi itu.

Di lain sisi, di sekitar pabrik Sinjaraga di Kadipaten juga terdapat sekelompok orang yang bisa diminta bekerja secara borongan sehingga ketika terjadi lonjakan permintaan yang tak bisa dipenuhi para pengrajin. Mereka itu bisa diberdayakan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.


Kini, dengan sekitar 2.000 pengrajin, Sinjaraga mampu memproduksi bola dengan kapasitas 3000 bola per hari atau di kisaran 90 ribu sampai 100 ribu bola per bulan. Hanya saja diakui, dari 2000 orang itu memang tidak semuanya selalu aktif karena berbagai halangan waktu yang mereka hadapi. Rata-rata seorang pengrajin yang sudah ahli, akan bisa menghasilkan 3-4 bola jahitan sehari. Upah untuk menjahit itu sendiri bervariasi, tergantung banyak aspek, termasuk besar dan banyaknya jahitan bola. Kisarannya per bola pengrajin dibayar Rp 7 ribu – Rp 15 ribu.

Hingga kini Sinjaraga masih terbuka untuk menambah jumlah pengrajin binaan. “Karena permintaan bola dari luar masih banyak, kita kuwalahan karena faktor kapasitas produksi yang masih belum bisa memenuhinya,” katanya. Biasanya pihaknya akan datang ke lokasi baru untuk membuka wilayah pengrajin binaan baru bila sudah ada 50 orang yang bersedia di awal untuk dilatih dan diberikan pekerjaan. Pun para pemborong (ketua kelompok) yang akan membuka wilayah baru, biasanya manajemen Sinjaraga juga akan memfasilitasinya.

Dengan para pengrajin itu manajemen Sinjaraga selalu menjaga hubungan baik. Selain sering datang berkunjung untuk tatap muka dan berinteraksi langsung, terkadang juga membuat program kebersamaan tertentu. Misalnya jalan-jalan wisata ke luar daerah dimana Sinjaraga menyediakan busnya. Atau ketika hari Lebaran Idul Adha, kepada mereka dibagikan daging. Dan sebagainya.
Yang jelas, meski Sinjaraga melakukan outsourcing, namun produk yang dihasilkan dari pengrajin masih setengah jadi.

 

Proses finishing, sentuhan akhir hingga produk bola itu menggelembung dengan baik dengan lapisan-lapisan tambahan yang sempurna, termasuk kontrol kualitasnya, dilakukan sendiri oleh tim internal Sinjaraga. Hal ini penting untuk mengontrol kualitas produk akhir dan juga menghindari produk Sinjaraga dipalsukan secara bebas di pasaran. Tak heran, setelah tahapan penjahitan, masih ada proses finishing yang hanya dilakukan di pabrik.

Dengan pola kemitraan itu Sinjaraga sanggup memenuhi permintaan bola sepak dari berbagai penjuru dunia. Perusahaan ini tetap lincah memproduksi kapasitas besar meski hanya punya karyawan tetap tak lebih dari 120 orang.

Sejauh ini produksi bola Sinjaraga dipasarkan ke lokal dan mancanegara. Untuk pasar manca negara, terutama ditujukan untuk Korea Selatan, Jepang, Malaysia, Belanda, Jerman, Prancis, Kuwait, Brasil dan negara-negara di benua Afrika. Prosentase pasar domestik dan ekspor sangat tergantung musim. Di tahun-tahun saat ajang Piala Dunia diselenggarakan, prosentase penjualan didominasi ekspor, bisa mencapai 70%. Namun disaat seperti sekarang, ekspor mengontribusi 40% dan pasar domestik 60%.


Produk Sinjaraga  ada yang menggunakan merek milik sendiri, ada juga yang memproduksi merek pesanan. “Kita ini manufacturing, produk bola dengan merek lain silahkan, yang pasti order harus resmi dari pemilik merek itu, legal,” kata Jefry. Untuk pasar luar negeri, contohnya pihaknya memproduksi merek bola Pinalty, merek yang sangat terkenal dan populer di Brasil. Sedangkan dalam negeri misalnya memproduksi merek Specs yang juga milik pihak lain.

Untuk milik sendiri, pihaknya menggunakan merek Triple-S yang juga sudah diakui FIFA. Triple-S bermain di pasar premium, harga lebih mahal. Selain faktor bahan yang lebih bagus, pihaknya juga mendapatkan sertifikasi FIFA dan mencantumkan logo FIFA sehingga harus membayar 1 Frank Swiss per bola yang dijual. Khusus untuk Triple-S, kebanyakan pasarnya justru untuk dalam negeri.

 


Ya, pola kemitraan yang diterapkan Sinjaraga sebagai langkah tepat. Hal itu berkaca pada apa yang dilakukan perusahaan dunia seperti Nestle atau Starbucks Coffee yang juga memiliki ribuan mitra petani. Pun Frisian Flag (Susu Bendera) yag menaungi ribuan peternak-peternak sapi yang tergabung dalam koperasi primer. Susu Bendera semacam  koperasi induk yang memproduksi susu-susu pasokan dari anggotanya. Pola kemitraan bisa menyelamatkan perusahaan. Lilik teringat kasus Rabo Bank yang juga dimiliki anggota koperasi. Ketika bank-bank besar di Eropa bertumbangan pada krisis 2008 lalu, Rabo Bank salah satu yang selamat karena model partnership itu.

Prinsip kemitraan berkembang bukan dengan pola transaksional namun seperti hubungan saudara. Induk berperan sebagai garda depan untuk memproduksi produk akhir yang siap dikonsumsi dan memasarkannya. Peran mitra, memasok produk-produk yang berkualitas sesuai bidangnya.

 
 Pendampingan dari perusahaan induk harus terus menerus dilakukan. Agar Sinjaraga terus konsisten dalam membika kualitas produksi para mitranya dan menaikkan level mitra-nya. Diharapkan kedepan mereka tidak semata menjadi tukang jahit namun juga bisa  memiliki kreatifitas untuk menghasilkan produk-produk baru. Mereka perlu dilibatkan dalam kebersamaan seperti dengan membuat koperasi bersama dan sejenisnya.
Share This Article