Dipicu sejumlah faktor, industri batik Indonesia yang sempat terpuruk kini mulai bangkit kembali. Antusiasme pelaku bisnisnya kini semakin menggelora.
Siang itu, 17 Maret 2011, suasana konter Batik Lasem di ruang pameran JHCC Jakarta cukup riuh. Sekelompok ibu-ibu tampak membolak-balikkan beberapa potongan batik seraya menanyakan harga batik yang dipegangnya kepada beberapa tenaga penjual yang ada di konter itu. Tak kurang dari 7 pengunjung berada dalam konter, sementara 10-an orang lainnya tengah antri di luar konter. Batik Lasem memang termasuk peserta pameran yang laris-manis pada event pameran yang menampilkan ratusan pengrajin binaan BUMN-BUMN dengan berbagai bidang usaha itu. Ya, laris-manis. Setidaknya, hal itu mudah diketahui dari konter Batik Lasem yang selalu dipadati pengunjung selama 5 hari pameran, dari tanggal 16-20 Maret 2011.
Kegairahan suasana konter Batik Lasem pada pameran pengrajin-pengrajin binaan BUMN itu memang telah terlalu berlebihan bila dikatakan telah mewakili potret industri batik secara nasional yang dalam tiga tahun ini menggeliat. Toh demikian, sesungguhnya tidak bijak pula mengatakan kegairahan Batik Lasem sama sekali tidak ada hubungannya dengan sentimen positif pada industri batik nasional. Ya, memang demikianlah faktanya, industri batik nasional kini tengah berbunga-bunga. Sedang menggeliat kembali.
Bila disimak, setidaknya ada tiga faktor yang memicu kebangkitan industri batik di tanah air. Pertama, klaim Malaysia atas paten batik yang hal itu mendorong nasionalisme untuk mempertahankan batik di berbagai penjuru tanah air. Ancaman dari luar itu rupanya menjadi blessing indisguese bagi industri batik karena rasa memiliki batik di kalangan masyarakat Indonesia menjadi semakin terpompa. Kedua, pengakuan UNESCO bahwa batik merupakan kekahasan budaya milik Indonesia, bukan negara lainnya. Ketiga, dorongan dari pemerintah.
Ya, dorongan pemerintah memang punya andil signifikan dalam kebangkitan industri batik. Dalam hal ini bukan hanya pada aspek kebijakan, namun lebih pada anjuran untuk memakai batik pada hari Jumat di berbagai instansi pemerintah. Aturan ataupun anjuran untuk memakai batik ini pada gilirannnya menciptakan efek multiplier yang kuat. Selain para pegawai negeri kembali mau membeli dan memakai batik, nyatanya hal itu kemudian juga diikuti perusahaan-perusahaan swasta yang juga mewajibkan – atau setidaknya menganjurkan — karyawannya memakai batik pada hari-hari kerja tertentu. Tak bisa dinafikan, hal-hal itulah yang kemudian membuat pasar batik semakin mekar.
Geliat industri batik itu jelas terlihat dari kinerja pemain-pemain lama di bisnis batik maupun antusiasme pemain baru. Malahgan juga bisa dipotret dari perkembangan terkini di sentra-sentra batik, khususnya di Pulau Jawa. Sebut saja di sentra batik di Solo seperti Lawean dan Kauman, Sentra Batik Giriloyo di Bantul Jogjakarta, juga di kota-kota lain seperti di Sokaraja (Banyumas), Pekalongan, Madura dan juga beberapa sentra di kota-kota Jawa Barat, bahkan juga di Bali.
Di Lawean Solo, yang secara historis dikenal sebagai pusat batik Jawa misalnya, kesan sumringah bisnis batik nyata kelihatan. Alfa Fabela, Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FKBL) menjelaskan, sentra batik Lawean sempat mengalami masa suram beberapa tahun. Namun dalam empat tahun terakhir tumbuh sangat baik. Khususnya “sejak batik ditetapkan bebagai warisan budaya asli Indonesia oleh Unesco dan tahun 2010 Laweyan ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya,” kata Alfa. Bila saat terpuruk jumlah pengusaha batik di sentra ini tinggal 16 orang, kini sedikitnya ada 63 pengusaha. Dari jumlah itu terdiri dari pengusaha yang produksi penuh (33%), produksi setengah jadi (33%), dan pedagang (33%).
Pantauan ke sentra-sentra batik di Kauman Solo, Giriloyo Bantul, Pekalongan dan Tanjung Bumi (Bangkalan, Madura), menunjukkan bahwa kondisinya setali tiga uang. Di sentra batik Desa Tanjung Bumi Kecamatan Tanjung Bumi yang jaraknya 41 km dari Kota Bangkalan Madura itu gariah bisnis batik juga kentara. Misrawi, staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab Bangkalan, menjelaskan, “Di Desa Tanjung Bumi setidaknya sudah ada 60 kelompok pengrajin batik”. Bahkan menurut Ahmadi, salah satu pengusaha batik Tanjung Bumi yang punya lebih dari 70 karyawan, kini pengrajin batik tidak hanya tinggal di desanya, Tanjung Bumi, melainkan juga sudah menyebar hingga ke desa sekitar seperti Telaga Biru, Paseseh, Bumi Anyar, Larangan, Tambak Pocok, Bandang, Macajeh, Tlangoh, Tagungguk dan Bangkeng.
Di Jawa Barat pun fenomenanya tak jauh berbeda. Dijelaskan Sendy Yusuf, Ketua Umum Yayasan Batik Jawa Barat, sejak 3 tahun ini perkembangan kantong-kantong pengrajin batik di Jawa Barat meningkat pesat. Bila sebelumnya tak lebih dari 10 kabupaten yang memiliki kantong-kantong pengrajin batik maka saat ini tak kurang dari 26 kabupaten/kota yang telah memiliki sentra pengrajin batik. Mulai dari Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Subang, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Cirebon, Trusmi, Indramayu, hingga Majalengka. “Jawa Barat memiliki 250 motif batik yang coraknya sesuai masing-masing kabupaten,” terang Sendy yang juga istri Dede Yusuf, Wagub Jabar ini.
Tak bisa disangkal, geliat bisnis batik juga mudah dibaca dari kiprah dan kinerja pemain-pemain lama di industri batik seperti Batik Danar Hadi, Batik Keris, Batik Semar, Batik Sida Mukti, dan sejawatnya. Batik Semar yang kini dikelola generasi ketiga, sebagai contoh, juga mendapatkan blessing dari kebangkitan bisnis batik. Dijelaskan Ananda Soewono, Managing Director PT Batik Semar, dua tahun terakhir pertumbuhan bisnis mencapai 40%-50% per tahunnya. Saat ini Batik Semar memproduksi kain cetakan motif batik sekitar 60-70 ribu meter per bulan. “Ini masih bisa di-push sampai 3 kali lipatnya. Permintaan untuk produksi batik tinggi, makanya kita mau tingkatkan lagi produksinya,” kata generasi ketiga di Batik Semar ini. Tak heran, tahun ini Batik Semar juga akan memperkuat bisnisnya dengan melakukan rebranding.
Kiprah Batik Danar Hadi bahkan lebih dahsyat lagi. Mengimbangi bisnisnya terus tumbuh, salah satu perusahaan batik terbesar di Indonesia ini terus memperkuat struktur bisnisnya dengan masuk di semua lini. Batik Danarhadi menggarap bisnis batik dari hulu hingga hilir, terintegrasi dari bahan baku hingga produk jadi. Produksinya dipusatkan di satu kawasan seluas kira-kira 20 hektar di daerah Karanganyar Jateng. Bahkan mereka juga sanggup membuat Museum Batik yang sangat ikonik dan monumental di Solo. Museum ini menyimpan 10-an ribu karya batik dari yang bercorak kuno hingga kontemporer.
Sementara itu, pemain besar lainnya, Batik Keris juga semakin gairah menggarap pasar dengan berbagai strategi branding yang intens. Batik Keris aktif melakukan fashion show di berbagai mall dan hotel untuk memamerkan desain batik karya-karyanya yang siap dilempar ke pasar. Pola show yang dijalankan dari mulai yang join dengan pemain lain hingga yang fashion show tunggal, khusus menampilkan produk-produk Batik Keris. Sementara distribusi produk juga diperkuat dengan penetrasi di mall-mall dan mendirikan outlet Batik Keris sendiri.
Pemain-pemain di bisnis batik sendiri sesungguhnya tak hanya nama-nama yang sudah populer seperti Danar Hadi, Keris, Semar atau Sida Mukti, namun masih banyak nama lain yang kiprah bisnisnya tak bisa disepelekan (lihat tabel!). Mereka punya cara dan kiat sendiri dalam mengembangkan ceruk pasarnya.
Yang jelas, manisnya kue bisnis batik rupanya juga mendorong pemain-pemain baru yang sebelumnya tak pernah terpikir menggarap bisnis batik. Bahkan diantara beberapa pemain baru itu sanggup memberi warna lain di bisnis batik karena mampu menyodorkan konsep-konsep produk batik alternatif yang keluar dari pakem. Antara lain Dee Ong yang mengorbitkan Batik 118 dan Lenny Agustin yang mengusung batik merek Lennor bersama dua mitranya. Juga Batik Alleira dan Obin. Banyak muncul pemain baru yang tidak punya latarbelakang bisnis batik sebelumnya.
Dee Ong, misalnya, sejak awal memang penggemar batik dan suka memakai pakaian batik. Lantaran teman-temannya suaminya (Richard Ong) mengatakan pakain yang dikenakannya bagus hingga kemudian tertarik membisnisnyanya dan ternyata sukses hingga ke manca negara. Lenny Agustin lain cerita, latarbelakang dia perancang busana dan suatu saat merancang batik dalam sebuah pameran yang ternyata sambutannya sangat antusias hingga kemudian membisniskannya. Lalu, Batik Tayada juga didirikan oleh kongsi seorang guru TK dan lulusan arsitek. Sementara itu, Catur Wijaya, entrepreneur muda dari Solo pendiri Batik Sekar Setaman juga bukan datang dari keluarga pengusaha batik Laweyan atau Kauman.
Beberapa diantara pendatang baru ini ada yang sanggup memberi warna lain di industrinaya. Ada yang mampu menciptakan corak batik yang nabrak pakem dan kemudian diikuti pemain lain, namun ada juga yang mampu memberi warna secara bisnis. Contohnya mampu melakukan premiumisasi produk batik sehingga tidak terkesan produk murahan. Hal ini misalnya dilakukan Obin, Alleira, Parang Kencana dan Batik 118. Dee Ong misalnya, menginformasikan, harga batiknya mulai dari Rp 6 juta, namun ada juga yang seharga Rp 80 juta. Dus, sudah separoh harga mobil baru.
Selain itu, geliat bisnis batik juga ikut membangkitkan industri-industri ikutannya. Termasuk di lini ritel. Kini makin banyak ritel-ritel khusus batik. Contohnya seperti dilakukan Henry Husada, pengusaha factory outlet di Bandung. Henry mendirikan Galeri Citta Batik yang berada di dalam FO Runaway miliknya di kawasan Dago Bandung. “Batik harus bisa bersinergi dengan factory outlet. Apalagi Bandung ini tujuan wisatawan nasional dan internasioal,” Henry yang juga pemilik jaringan hotel Kagum Group menjelaskan alasan strategi bisnisya.
Menarik, perkembangan bisnis batik yang digerakkan pemain lama dan baru tersebut secara makro juga berdampak positif pada ekonomi Indonesia. Diam-diam, pada tahun 2010 lalu jumlah tenaga kerja yang terlibat di bisnis batik sudah lebih dari 700 ribu orang dengan nilai kapitalisasi produksi diatas Rp 3 triliun. Jumlah unit usaha batik juga sudah diatas 50.000 unit usaha (lihat tabel!). Kemudian bila dilihat dari nilai ekspornya, bila tahun 2006 nilai ekspor batik baru sekitar US$ 14 juta namun pada 2010, dari ekspor yang terpantau Departemen Perdagangan, nilainya sudah diatas US$ 22 juta. “Untuk pasar dalam negeri sendiri, industri batik menyumbang sekitar 0,8 persen dari Produk Domestik Bruto,” terang Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pengestu beberapa waktu lalu.
Kebijakan pemerintah sendiri tampaknya memang cukup kondusif dalam hal penggalakan industri batik. Berbeda dengan kebijakan-kebijakan lain yang cenderung retorik dan jauh dari implementasi di lapangan, maka khusus sektor industri batik, mesti diakui sikap pemerintah sudah on the track. Pemerintah pusat maupun di daerah memberi dukungan yang cukup untuk menggalakkan batik. Bisa jadi awalnya karena dipicu adanya ‘musuh bersama’ Malaysia. Pemerintah pusat melalui departemen terkait dan juga pemda-pemda, banyak memfasilitasi adanya pameran-pameran dan fesitival batik. Di daerah, pemda-pemda menghidupkan sentra-sentra kerajinan batik dan mendorong studi banding. Beberapa sentra batik yang sempat pudar pun juga dibangkitkan kembali dengan berbagai cara, termasuk dengan mendirikan peguyuban atau yayasan pengrajin batik.
BUMN-BUMN dan bank pemerintah pun memberikan bantuan kredit ringan dan pembinaan ke UKM batik. Tentang hal ini juga diakui Catur Wijaya, pemilik Batik Sekar Setaman. Tahun 2010 lalu, Catur mendapatkan pinjaman modal Rp 50 juta dari dari BNI dengan jangka waktu pinjaman 3 tahun. Ia merasa cukup terbantu dengan program pinjaman bagi UKM ini karena juga memperoleh fasilitas untuk lebih banyak memasarkan produknya. “Misalnya kalau ada pameran, kita mendapat fasilitas tempat gratis,” ungkap Catur.
Kementerian UKM dan Koperasi di pusat juga memberi perhatian tersendiri guna menggalakkan entrepreneurship bidang batik. Salah satunya melalui SMESCO (small medium enterprises and cooperatives), yang bertujuan mengubah pandangan masyarakat yang selama ini memandang produk UKM kualitasnya kurang bagus. Kementrian ini memfasilitasi mereka dengan mendirikan UKM Gallery di Jl Gatot Subroto Jakarta sehingga para perajin batik bisa mendisplay produk-produknya. “SMESCO ingin mengangkat pengrajin-pengrajin yang punya produk unggulan khususnya batik,” kata Astika, Manager UKM Gallery.
Yang juga boleh dilupakan, baik pemerintah pusat dan di daerah juga berkomitmen untuk mewajibkan karyawannya memakai baju patik pada hari-hari yang telah ditentukan. Kebijakan ini secara sangat signifikan mendorong iklim positif di bisnis batik karena perusahaan-perusahaan swasta pun kemudian banyak mengikuti langkah serupa. Demikian juga publik pada umumnya, kini semakin banyak warga masyakat profesional yang tak malu lagi mengenakan baju batik dan tak melihatnya sebagai hal yang kuno.
Bagi para pelaku bisnis batik, jelas, kondisi saat ini merupakan momentum emas. Ini kesempatan besar bagi pemain lama maupun pemain baru untuk meningkatkan skala bisnisnya di bisnis batik — sebuah bisnis yang selain bagus dari sisi ekonomi namun juga mengandung nilai pelestarian budaya bangsa. Kini saat yang tepat untuk memperluas cakupan pasar. Tak sedikit pihak yang meyakini, industri batik akan kembali menjadi mainstream di bisnis fashion dan aparel. Sebab itu, jangan sampai kegairah pasar batik saat ini tersia-siakan. Ya, dalam dunia bisnis, peluang jarang datang untuk yang kedua kalinya. So, tunggu apa lagi!