Sore itu suasana di kawasan pabrik Gistex di Jl Nanjung, Margaasih, Bandung, masih ramai. Mobil dan motor karyawan dan tamu keluar masuk di komplek pabrik seluas 50 hektar itu. Di depan bangunan pabrik tampak terparkir rapi sederet mobil. Juga ada dua bangunan besar bak sebuah restoran besar yang tak lain adalah kantin karyawan. Di halaman dalam pabrik, para karyawan produksi tampak hilir-mudik mendorong forklift pengangkut kain tekstil untuk dibawa ke gudang penampungan sembari menunggu truk kontainer datang. Dengan senyum ramah mereka mengangguk saat berpapasan dengan para tamu yang datang.
Melihat dinamika di kawasan pabrik dan kantor pusat PT Gistex itu, sungguh tidak ada kesan sama sekali bahwa industri tekstil di Indonesia sedang kesulitan. Juga sama sekali tidak bekas bahwa PT Gistex sebelumnya pernah mengalami kesulitan. Terlebih bila melihat suasananya kantor yang bersih, modern, jauh dari kesan kusam atau lawas. Pun bila melihat omset bisnisnya yang sudah diatas Rp 1 triliun, dengan penjualan 90% ekspor ke pasar Eropa, Timur Tengah dan Asia. Jelas, itu merupakan torehan prestasi tersendiri di tengah industri tekstil yang sedang tidak mudah.
Mungkin betul, tak banyak perusahaan tekstil di Indonesia yang masih berkinerja bagus seperti Gistex. Sebagian besar perusahaan TPT di Indonesia memang tengah terseok-seok, khususnya setelah China menguasai pasar dunia dengan strategi pricing yang jauh lebih kompetitif. Plus serangan baru dari pemain-pemain Vietnam. Wajar kalau kemudian banyak pihak memandang bisnis tekstil di Indonesia sebagai sunset industry. Tapi pada akhirnya, yang lebih menentukan, siapa dan seberapa hebat si pemegang pedang dalam peperangan. Dan manajemen Gistex tampaknya bisa membuktikan diri bisa survive.
Bahwa sekarang bisnis ntekstil Gistex tumbuh baik, bukan berarti perusahaan itu tak pernah mengalami masalah. Adalah generasi kedua pemilik Gistex, Henking Wargana dan kakaknya (Henry Wargana) yang dengan sigap menyelamatkan bisnis Gistex. Henry Wargana sempat masuk di divisi tekstil tahun 2003-2005 dan setelah itu dilanjutkan oleh Henking yang ditugaskan ayahnya untuk mengelola divisi bisnis tekstil dan benang — kakaknya lebih suka mengelola bisnis garmen. Divisi tekstil dan benang memang mengalami masalah yang lebih berat saat itu.
Cerita perjalanan sukses Gistex di bisnis tekstil adalah sebuah pelajaran tentang kejelian dan kemampuan melakukan turn around, dikombinasikan dengan cara kepemimpinan khas yang mampu menggerakkan karyawan untuk berbuat yang terbaik. “Sekitar tahun 2003-2006 kita mengalami masa-masa yang sulit,” Henking Wargana, Managing Director PT Gistex (Divisi Tekstil dan Benang) memulai pembicaraan.
Henking menceritakan, di tahun-tahun itu omset perusahannya terpangkas tinggal 25%. Order dari pelanggan untuk produk tekstil terbilang sepi. Dengan terpaksa saat itu Gistex juga harus merasionalisasi bisnis dengan mengurangi jumlah karyawan. Dari yang jumlahnya sempat diatas 3.000 orang menjadi dibawah 1.000 orang.
Suasana hubungan kerja di perusahaan juga kurang begitu kondsusif karena ada kecemasan karyawan terhadap masa depannya. Karyawan kehilangan semangat dan antusiasme. Terlebih saat itu, pendiri perusahaan yang juga ayah Henking, Ahadiat Wargana, dalam kondisi yang kurang sehat karena penyakit liver sehingga pengambilan keputusan tidak bisa dilakukan dengan cepat.
Kondisi tersebut tentu tak bisa biarkan berlangsung terus-menerus mengingat Gistex bak sebuah kapal yang membawa banyak penumpang di dalamnya. Gistex Group sendiri memiliki beberapa unit bisnis, antara lain produsen tekstil, benang, kain katun, dan garmen. Untuk produksi kain katun, Gistex menggandeng Nishinbo Group mendirikan PT Gistex Nishinbo Indonesia — catatan: unit bisnis ini sekarang sudah didivestasi dan dimiliki sepenuhnya oleh Nishindo.
Lalu, Gistex juga bekerjasama dengan perusahaan Korea, Chewon, untuk memproduksi benang, mendirikan PT. Gistex Chewon Synthetic (sampai saat ini Gistex sebagai pemegang saham mayoritas, dikelola terpisah). Di luar itu PT Gistex adalah sebuah perusahaan tekstil ternama yang sudah berdiri 1975 dan punya beberapa unit bisnis terkait tekstil, dengan kantor pusat dan pusat manufacturing di Jl Nanjung, Margaasih Bandung.
Henking sendiri masuk ke bisnis keluarga (2006 ) ketika bisnis tekstil di Indonesia secara keluruhan sedang tidak menggembirakan. Kebetulan juga saat itu Gistex sedang pada posisi menurun bisnisnya. Termasuk diantaranya karena agak terlambat meremajakan mesin-mesin produksi tekstil sehingga tidak efisen, kurang bisa mengikuti perkembangan, dan tidak bisa bersaing dengan produsen China. Hal itu ditambah dengan persoalan rendahnya motivasi karyawan melihat situasi bisnis tekstil yang muram dan banyak PHK di sana-sini.
Sejak awal Henking diterjunkan di unit bisnis tekstil. Awalnya ia masuk di bagian processing (produksi), namun setelah 3 bulan dia meminta pindah ke bagian yang terkait dengan penjualan. “Waktu di bagian produksi itu saya pikir saya nggak bisa melakukan banyak hal, karena order sepi atau sedikit yang bisa dikerjakan. Karena itu saya pindah ke bagian yang terkait dengan sales,” ungkapnya. Di bagian sales itu ia ingin mempelajari kenapa order berkurang dan apa keinginan pelanggan.
Salah satu keuntungan (advatage) dari Henking, saat itu dari sisi usia ia masih muda, sehingga bisa bergaul dengan semua karyawan / pekerja dengan lebih luas, luwes dan sejajar. Ia bisa mengobrol dengan karyawan untuk belajar sekaligus memberi saran. “Saya polanya tidak one way, namun komunikasi dua arah, berdialog,” ungkapnya.
Termasuk dalam menyemangati para karyawan untuk bangkit bersama guna mengembangkan perusahaan.
Saat krisis itu dia mengajak para karyawan untuk bangkit, menggali apa sesungguhnya yang dimau para pembeli, trend dan kualitas produk yang mereka harapkan. Ia akui, awalnya cukup sulit mengajak karyawan untuk bangkit karena mereka sudah pesimis, kehilangan semangat. “Mereka pesimis melihat banyak karyawan tekstil teman-temannya yang sudah PHK. Termasuk di Gistex sendiri yang tinggal sepertiganya,” kenang Henking yang menyelesaikan program sarjana bidang finance dari Santa Clara University, San Fransisco, ini.
Namun Henking punya keyakinan kuat bahwa mereka bisa berubah asal sebagai pimpinan ia bisa mendekati hati karyawan dan memberi contoh. Pada aspek inilah tampaknya yang menjadi fokus Henking. Ia ingin mengembalikan motivasi karyawan agar mau memperbaiki kondisi yang ada demi kemajuan bersama.
Langkah awal yang dilakukan Henking, ia ingin mencoba menangkap apa sejatinya yang menjadi keinginan karyawan tentang segala hal yang terkait pekerjaan. Ia sempat mencoba dengan cara mengumpulkan karyawan dalam forum-forum dan mereka diminta berbicara tentang aspirasi , saran dan keinginannya. “Tapi kita coba berkali-kali nggak ada yang mau ngomong. Entah karena alasan apa,” kenang Henking.
Akhirnya ia mencoba caranya sendiri. Yakni dengan member seluruh karyawan lembar kertas saran dan masukan namun tanpa nama si karyawan. Lembaran saran yang no name. Karyawan bebas mengisi apa saja yang menjadi sarannya untuk perbaikan perusahaan dan surat itu diserahkan langsung ke Henking, tidak melalui atasannya. Ini untuk menghindari bila ada yang ewuh pakewuh dengan atasannya. Bila mengisinya dalam forum dan ada orang yang mengumpulkan, maka dijaga sebisa mungkin tidak sampai ketahuan isinya. Lembaran saran no name itu biasanya dibagikan menjelang liburan lebaran Idul Fitri.
Tak heran, bila saat lebaran Idul Fitri karyawannya libur 7 hari, sedangkan Henking justru membaca satu demi satu surat saran dari 1.000 karyawannya. “Itu saya lakukan tiga tahun pertama saya ditugaskan disini. Mereka baru mau memberi saran setelah pakai kertas no name,” kenangnya.
Dari situ ia bisa membaca seluruh uneg-uneg karyawannya. “Isi sarannya macam, dari soal ruang tempat kerjanya yang gelap atau kurang lampu, menu makanan katering yang tidak sesuai selera lidahnya, soal baju seragam, soal atasan atau rekan kerjanya yang memperlakukannya tidak adil, dan banyak sekali, karena ada 1000 surat tiap tahun saya baca,” ungkap Henking yang lulus sarjana tahun 2006 ini.
Henking lalu menindaklanjuti dan mencoba memperbaiki satu demi satu saran karyawannya itu, disesuaikan tahapan kemampuan perusahaan. Misalnya soal katering, dari survei internal ternyata makanan paling disukai ialah ayam dan ikan, plus harus disediakan saus-sambal yang takarannya bisa diatur sendiri oleh masing-masing karyawan.. Hal itu kemudian juga langsung dipenuhi. Saat ini rata-rata biaya per menu katering di Gistex 30% lebih tinggi dari katering yang biasa diberikan perusahaan sejenis lainnya .
“Tapi tidak semua saran bisa langsung difollow up. Misalnya ada yang beri saran “ruang kerja gelap, kurang lampu”, saya tidak bisa cepat follow up dengan menambah lampu karena surat itu no name sehingga ruang kerja gelap mana yang dimaksud mencarinya juga agak susah. Ini pabrik 20 hektar. Ha ha ha ,” ungkap Henking. Tetapi pada intinya, Henking ingin mendekati dan memotivasi karyawan agar bisa bersama memajukan perusahaan.
Bukan hanya dengan mencoba menyerap aspirasi karyawan, Henking juga berusaha melakukannya dengan memberi contoh. Walk the talk. Misalnya soal ketertiban dan kebersihan gedung dan fasilitasnya, ia memberi contoh ke karyawan bahwa ia juga melakukannya. “Bahkan suatu waktu saya tunjukkan ke karyawan bahwa saya juga pegang kotoran di toilet dengan tangan saya untuk membersihkan. Tujuannya agar karyawan tahu bahwa saya juga melakukan hal yang mereka lakukan,” ungkap Henking.
Pun demikian dalam hal pakaian seragam, ia mengenakan seragam yang sama dengan karyawan pabrik. “Saya mengambil ini dengan acak, ini bukan seragam yang khusus dibuat untuk saya. Ini bahannya sama persis 100% dengan karyawan produksi,” papar Henking kembali.
Bagi Henking, kedekatan dengan karyawan sangat penting. Ia teringat waktu awal-awal di Gistex, karena sepi order dan karyawan hanya berkerja Senin-Kamis, ia biasa mengajak karyawan untuk membereskan taman dan lingkungan pabrik, termasuk dengan melakukan penanaman atau penghjiauan. Jadi karyawan justru tidak memegang mesin tekstil di pabrik karena sedang lesu. Tapi dari situ ia bisa belajar memamai tentang karyawan. Setelah bisa dekat dengan karyawan, ia lebih mudah untuk mengajak mereka mengembangkan perusahaan.
Tentu saja, langkah penting juga dilakukan dari sisi bisnis. Agar bisa bersaing dengan pemain- pemain China, ada banyak perubahan yang dilakukan sebagai strategi restrukturisasi Gistex. Diantara yang paling pentng, ialah aspek pemasaran. Melihat order yang sepi, Henking mengajak karyawannya, khususnya di bagian pemasaran dan produksi, untuk menghasilkan produk yang benar-benar diinginkan pelanggan. Ia dan timnya lalu mendatangi ke para pelanggannya satu per satu, dan juga ke perusahaan yang pernah menjadi pelanggan namun sudah tidak melakukan pembelia lagi.
“Kepada yang pernah menjadi pelanggan namun sudah tidak order lagi, kita tanya kenapa sudah tidak order, produk seperti apa yang sebenarnya mereka inginkan, jenisnya, berat- ringanya, texture-nya, dan lain-lain. Kita tanya kekurangan produk kita dimana. Kita tanyai satu per satu agar kita bisa mengembangkan diri sesuai keinginan pembeli,” kata Henking. Dengan cara itu, lambat laun Gistex bisa mengetahui keinginan pembeli sekaligus bisa menyesuaikan kemampuan produksinya setahap demi setahap.
Tak hanya aktif mendatangi dan menyerap pelanggan dan juga perusahaan yang pernah menjadi pelanggan, Gistex juga kemudian menggeser positioning produknya, dari yang semula lebih banyak menghasilkan produk-produk tekstil basic kearah produk-produk tekstil fashion (fancy product).
“Kita naik kelas. Kalau main di tekstil basic, pemain dari China banyak sekali. Pemain lokal juga banyak. Makanya kita main di fancy, produk-produk tekstil fashion, yang kualitasnya lebih tinggi dari China dan sulit China masuk,” Henking memberi alasan. Sebelumnya produk tipe fancy ini sudah diproduksi Gistex, namun hanya dalam porsi sangat kecil dibanding produk fashin basic.
Hanya saja strategi naik kelas (positioning) itu bukan tanpa konsekuensi. Dari sisi produksi misalnya, Gistex harus berusaha mengejar dan banyak belajar. Belum lagi model bisnis antara tesktil basic dan fashion juga berbeda. “Kalau produk fashion item itu siklus produk cepat. Sebuah produk bisa cepat mati sehingga kita harus banyak menciptakan produk baru. Selain itu kita harus follow costumer, bukan costumer folow kita,” terang Henking.
Tak hanya itu, dulu waktu bermain di tekstil basic, mindsetnya ialah menyediakan produk dan membangun stok. “Prinsip itu diubah menjadi made to order, bukan made to stock. Ada resiko sih, tapi margin bisa lebih tinggi. Kita harus memanage resiko, dan jangan sampai membuat stok untuk produk yang sudah out of fashion,” Henking menjelaskan.
Strategi itu tak bisa dijalankan terpisah. Sebab itu juga dibarengi peningkatan kemampuan produksi dan permesinannya. Gistex sendiri sejak 2003 mulai melakukan peremajaan mesin-mesin produksi serta menjual mesin-mesin lama (tua) yang sudah tidak kompetitif. Langkah itu sudah dimulai saat kakaknya (Henry Wargana) mengelola Gistex divisi tekstil (2003- 2005) dan kemudian ia lanjutkan. Diantara mesin-mesin yang dijual ialah mesin-mesin pada divisi bisnis printing dan mesin-mesin penenunan, dan kemudian diganti mesin-mesin baru yang lebih efisien, otomatik, dan up to date.
Pergeseran strategi itu dilengkapi dengan penyempurnaan proses dan organisasi. Bila sebelumnya berprinsip satu orang mengelola dan mengontrol semua pekerjaan, lalu dibuat spesialisasi dan dipertajam kompetensi masing-masing. Dus, perusahaan tidak hanya mengandalkan satu-dua orang.
Dari sisi proses bisnis, bila sebelumnya masih banyak dilakukan proses manual, secara bertahap lalu dibawa ke sistem komputerisasi dan otomasi agar semakin cepat, efisien, terintegrasi dan akurat untuk pengambilan keputusan bisnis. Tak heran sudah sejak 2009 Gistex mengandalkan ERP Oracle untuk manajemen data dan informasi.
Pada akhirnya pendekatan itu bisa berjalan efektif karena juga dipadu dengan pendekatan kememimpinan Henking Wargana di divisi tekstil dan benang yang mengedepankan profesionalisme berbasis kekeluargaan. “Saya memposisikan diri saya di depan karyawan sebagai seorang ayah, bukan bos,” ungkap Henking. Pendekatan itu terus ia jelaskan ke karyawannya. Sebab itu kalau ia sedang marah, itu karena sayangnya seorang ayah kepada para anaknya.
“Saya bilang ke karyawan, kalau saya sudah tidak mau menegur ke salah satu kalian, berarti itu malah buruk. Kalau saya tegur itu karena sayang supaya kita semua bisa lebih baik. You juga bisa lebih baik,” ia menjelaskan prinsip kepemimpinannya. Di sisi lain, karena memposisikan diri sebagai ayah, ia harus dekat dengan karyawannya.
Pernyataan itu tak berlebihan bila melihat Henking begitu dekat dengan karyawannya. Saat ia mengajak penulis masuk ke ruang-ruang di pabrik, karyawannya tampak akrab, dekat, dan respek kepadanya. “Saya tidak tahu apa gaya kememimpinan saya disini. Tapi kata karyawan disini yang sudah pernah kerja di perusahaan-perusahaan lain, di Gistex ini katanya lebih memanusiakan, mengorangkan karyawan,” Henking bercerita.
“Saya sudah 17 tahun bekerja di perusahaan tekstil Pak, dan 7 tahun terakhir di Gistex ini. Disini kesejahteraan sangat baik dan sistem manajemennya lebih maju dibanding perusahaan-perusahaan dimana saya pernah bekerja sebelumnya,” ungkap Dadang Sukendar, Kepala Produksi (Unit Processing Tekstil) PT Gistex, saat ditanya penulis tanpa sepengetahuan Henking.
Sebuah pernyataan yang tak berlebihan bila melihat visi dan gaya manajemen Henking. Di perusahaannya memang terus diupayakan untuk peningkatan kejaheteraan karyawan. “Gaji karyawan sudah pasti harus diatas UMR, karena kami juga berpikir bagaimana seandainya kami menjadi karyawan seperti mereka,” ungkap Henking seraya menyebutkan PT Gistex juga memberikan beasiswa untuk anak asuh (dari SD sampai universitas) yang saat ini jumlah 1.300 orang anak asuh. Gistex berusaha tak hanya baik kepada karyawan sehingga juga terbuka bagi kunjungan mahasiswa untuk studi banding atau pihak lain. “Yang penting asal bukan kompetitor, ha haha,” ujarnya.
Penulis juga sempat terkaget ketika melihat Gistex yang membangun dua gedung besar dan modern di depan kantornya untuk kantin karyawan. Ketika ditanya kenapa perusahaan Anda berani menghabiskan miliaran rupiah hanya untuk kantin karyawan ? “Ini uangnya kan karyawan juga yang menghasilkan. Kenapa kita pelit untuk membuat mereka senang,” jawab Henking seraya mengajak penuls untuk melihat-lihat isi ruangan kantin yang mirip restoran besar itu.
Henking sendiri merasa heran dan tidak bisa mengerti mendengar ada kabar bahwa ada pemilik pabrik (bos) perusahaan lain yang bahkan tidak berani masuk ke pabrik miliknya sendiri karena takut didemo atau dicegat karyawannya yang nenuntut ini-itu. Maklum, Henking biasa keluar masuk lorong pabrik dan bertemu semua karyawan tanpa pengawal. “Saya beryukur, sejak saya dipercaya mengelola perusahaan ini tahun 2006, tidak pernah ada demo lagi,” ungkap penganut vegetarian ini.
Tentu prestasi Henking bukan semata karena tidak ada demo karyawan lagi. Namun program restrukturisasinya berjalan baik dan Gistex kembali menjadi perusahaan yang sehat dan tumbuh baik. Penjualannya kini sudah diatas Rp 1 triliun (divisi tekstil dan benang yang ia pimpin). Sekitar 90% produknya disasarkan untuk ekspor seperti Eropa, Timur Tengah, Jepang, China dan beberapa negara lain. Sedangkan 10% untuk pembeli lokal yang mengolahnya untuk diekspor.
Apakah kinerja bisnis sekarang sudah bisa menyamai kinerja terbaik sebelum krisis? “Kinerja kita sudah 20% diatasnya, melebihi prestasi terbaik kita sebelum krisis 2003,” ungkap Henking. Tentu saja ini hal menarik mengingat jumlah karyawannya sekarang hanya 1300 orang (dulu lebih dari 3.000 orang) tapi bisa menghasilkan revenue lebih besar. Dus, hal ini jelas berkat keberhasilan efisiensi produksi dan juga sukses menggeser produk kearah yang lebih tinggi (fashion)
____________________