Bagi penikmat kuliner yang biasa mampir berpetualang di resto-resto, tentu kenal Waroeng Spesial Sambal “SS” yang harganya murah dan selalu penuh oleh pengunjung. Di Jabodetabek, tak sulit menemukan Waroeng SS. Resto ini dikenal dengan sambalnya yang khas dan harganya yang murah. Jangan salah, kini outletnya sudah lebih dari 90 cabang , semua menyajikan aneka sambal segar dan masakan khas Indonesia.
Walapun makin dikenal luas di seputar Jabodetabek, Waroeng SS ini aslinya bukan resto asli ibukota, karena asalnya dari Yogyakarta. Resto yang dimulai dari Kota Jogja ini didirikan oleh Yoyok Hery Wahyono sejak 2002. Yoyok yang putra asli Boyolali kelahiran 2 September 1973 ini memang merantau ke Jogja dalam rangka kuliah di Jurusan Teknik Kimia UGM. Bisa dikatakan, sebenarnya ia mendirikan usaha resto “tidak sengaja amat” alias awalnya tidak sangat serius direncanakan. Waktu itu kuliahnya di UGM mandeg sejenak dan terancam tidak lulus. Ia mulai dag dig dug kalau tidak lulus bagaimana nanti bisa memperoleh pekerjaan.
Sebelum mendirikan usaha resto, Yoyok sudah punya usaha di bidang event organizer (EO) yang pendapatannya cukup besar, namun sayangnya income dari EO itu tidak ajeg, tidak selalu ada proyek. Kadang ada, kadang kosong proyek. Di lain sisi ia ingin sekali punya income rutin walau tidak terlalu besar. Setelah dipikir secara matang, dengan pertimbangan dunia masak-memasak adalah kesukaannya dan hasil masakannya selama ini disukai oleh teman-temannya, maka Yoyok akhirnya mencoba mendirikan warung tenda pertamanya di Jalan Kaliurang, Jogjakarta. Warung itu itu menjual sajian andalan sambal pedas yang diberi nama Waroeng Spesial Sambal (Waroeng SS). Jadi, dimulainya memang di Jl Kaliurang, Jogja.
Banyak hal unik, ketika ia mulai dirikan Waroeng SS tahun 2002 bersama 5 karyawannya, modalnya hanya 9 juta. Ya, hanya Rp 9 juta. Tak lebih. Rinciannya, Rp 3 juta dari tabungan Yoyok sendiri dan 6 juta dari sharing modal saudara sepupunya. Jadi, modalnya memang pas-pasan banget.
Ia memilih konsep resto sambal sebagai jualan utamanya, karena menurut Yoyok sebenarnya pangsa pasar sambal di Jogja sangat luas namun kebanyakan menjual dengan cita rasa pedas manis. Pilihannya menyediakan menu sambal pedas berbagai jenis rupanya sangat tepat.
Gayung bersambut. Impiannya tak bertepuk sebelah tangan. Tak butuh waktu lama warungnya laris manis dikunjungi banyak penggemar kuliner pedas di seputar Jogja. Bisnisnya laris walaupun belum meraih keuntungan banyak. Menarik, dalam mengembangan usahanya, Yoyok tak mengejar untung dulu, namun larisnya dulu alias mengejar perputaran. Bahkan hingga 1,5 tahun usahanya, ia belum laba. Kalau ada sisa ia putar lagi. Baru setelah omsetnya Rp 30 juta ia ambil untung.
Singkat cerita, outlet pertama itu laris banget. Sukses. Setelah outlet di Jogja sangat laris, banyak yang membisikkannya kenapa tak buka di tempat lain. Ia akhirnya mulai buka cabang di kota lain. Dimulai dari kota tetangga, Solo, yang akhirnya membuat Yoyok mencoba mendirikan cabang pertama di Manahan, Solo pada tahun 2006. Tak lama kemudian, Waroeng SS menyapa penikmat pedas di kota lainnya, seperti Semarang, Tangerang, Purwokerto dan beberapa kota di Jawa Timur. Termasuk di Kota Depok. Outletnya pun terus berkembang.
Agar usahanya maju, ia membangun sistem dan manajemen sehingga Waroeng SS sudah memiliki standar masakan maupun standar pelayanan. Namun Yoyok tidak pernah berpuas diri karena akan membuat terlena dan akhirnya termakan oleh pesaing. Ia menyadari kehidupan terus bergerak, berputar seperti roda. Waroeng SS juga harus terus bergerak mengikuti zaman. Tidak melawan arus, tapi juga tidak terseret arus.
Kini total outlet Waroeng SS sudah berkembang menjadi 98 cabang tersebar di lebih dari 40 kota meliputi wilayah Jawa – Bali, dan ada 2 cabang berada di Kuala Lumpur. Seiring kesuksesannya rupanya Waroeng SS tidak melupakan berbagi kepada sesama. Kebijakan yang diterapkan manajemen, Waroeng SS wajib menyisihkan 1% dari omzet untuk disalurkan ke kegiatan sosial.
Mengapa berbasis omzet, bukan profit, seperti perusahaan-perusahaan pada umumnya? Jawabannya adalah, pertama, jika berbasis profit, maka yang berdonasi atau menyumbang adalah pemiliknya saja, sedangkan jika berbasis omzet, maka yang bersedekah adalah seluruh personel Waroeng SS. Kedua, jika berbasis profit, maka warung-warung yang masih merugi (misalnya waroeng yang baru buka) tidak akan menyumbang. Seolah-olah kita hanya mau menyumbang, jika kita untung. Konsep berbagi yang tentu saja menarik untuk diteladani.
Waroeng SS ingin menerapkan ajaran agama, agar kita bersedekah baik dalam keadaan longgar maupun sempit. Program sosial yang dibantu Waroeng SS cukup luas cakupannya, antara lain bantuan untuk panti asuhan, pondok pesantren, beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu, bantuan pembangunan rumah ibadah, dukungan terhadap kegiatan mahasiswa dan Perguruan Tinggi, pemberdayaan penyandang disabilitas, pemberdayaan usaha mikro-kecil, pembangunan fasilitas umum seperti jalan, sumur, korban bencana alam dll. Dana sosial Waroeng SS disalurkan ke seluruh daerah dimana Waroeng SS membuka usahanya. Dalam menyalurkan dana sosialnya, selain menyalurkannya secara langsung, Waroeng SS juga bekerjasama dengan lembaga-lembaga sosial yang terpercaya.
Dengan konsep berbagi, rejeki bukan berkurang, namun justru bertambag. Dimulai 1 warung tenda dengan 5 karyawan kini SS berkembang menjadi 98 outlet dengan sekitar 3.600 karyawan. Hebatnya semua outlet adalah cabang tidak ada satupun yang waralaba. Dalam mengembangkan usaha Yoyok tak menentukan target berupa angka-angka. Tidak ada target laba atau omzet. Target yang diatur, yang bisa memunculkan reward dan punishment adalah target dari kualitas proses yang dikerjakan. Misalnya, target kebersihan rumah makan dan seberapa enak makanan yang kami buat. Target kami hari ini menyapu lantai hingga bersih, laris atau tidaknya makanan yang kita jual menurut kami bukan kewenangan manusia.
Baca juga: