Di antara tiang-tiang Masjid Nabawi, seorang lelaki duduk termenung. Matanya sayu, wajahnya menyiratkan beban yang berat, dan tangannya menggenggam butiran pasir dengan tatapan kosong. Nabi Muhammad SAW, yang dikenal sebagai pembimbing ruhani sekaligus pemimpin yang memberi solusi, melihat keadaan lelaki itu dan mendekatinya. “Apa yang membuatmu duduk di sini di luar waktu salat?” tanya Rasulullah. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu mengungkapkan kesulitannya: lilitan utang yang kian menyesakkan, kebingungan yang mencekam, dan hati yang terasa berat.
Nabi tidak hanya menghiburnya, tetapi memberikan senjata paling mendasar: sebuah doa yang mengajarkan umatnya untuk meminta perlindungan dari delapan hal yang bisa menjadi akar dari kehancuran hidup. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nabi mengajarkan:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat penakut dan bakhil, dari lilitan utang dan tekanan manusia.”
Lafal doa dalam bahasa Arab yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud itu adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ
Allāhumma innī a‘ūdzu bika minal-hammi wal-ḥazan, wa a‘ūdzu bika minal-‘ajzi wal-kasal, wa a‘ūdzu bika minal-jubni wal-bukhl, wa a‘ūdzu bika min ghalabatid-dayn wa qahrir-rijāl.
Doa ini tidak sekadar rangkaian kata yang diucapkan dalam sujud, tetapi juga peta jalan yang menjelaskan bagaimana seseorang bisa jatuh dalam kemiskinan dan keterpurukan. Jika kita mendalami maknanya, ada delapan faktor yang menjadi penyebab utama kegagalan dalam hidup, dan semua itu berkaitan dengan kondisi mental, spiritual, serta ekonomi seseorang.
- Kesusahan dan Kesedihan: Beban Psikologis yang Menggerogoti Daya Juang
Dalam Surah Al-Insyirah (94:5-6), Allah berfirman: “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” Ayat ini mengajarkan bahwa setiap kesulitan memiliki jalan keluar, tetapi mereka yang terjebak dalam kesedihan sering kali gagal melihat solusi yang ada.
Depresi dan kecemasan adalah musuh besar produktivitas. Mereka yang larut dalam kesedihan cenderung kehilangan motivasi, menarik diri dari masyarakat, dan tidak lagi berusaha memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Inilah mengapa Islam menekankan pentingnya optimisme dan keyakinan pada pertolongan Allah.
- Kelemahan: Kurangnya Tekad dan Keberanian untuk Berusaha
Kelemahan di sini bukan hanya fisik, tetapi juga mental dan spiritual. Dalam Surah Al-Ra’d (13:11), Allah menegaskan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Ini adalah prinsip dasar perubahan: mereka yang lemah dan tidak mau berusaha memperbaiki keadaan mereka akan tetap berada dalam keterpurukan.
Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan dalam hadis riwayat Muslim bahwa “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” Kekuatan di sini mencakup ketangguhan mental, keberanian mengambil risiko, serta kesediaan bekerja keras untuk mengubah keadaan.
- Kemalasan: Penyakit yang Menghambat Rezeki
Kemalasan adalah salah satu penghambat terbesar rezeki. Dalam Surah Al-Mulk (67:15), Allah berfirman: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” Ayat ini adalah perintah eksplisit untuk bekerja dan mencari rezeki.
Islam tidak mengenal konsep “menunggu rezeki jatuh dari langit” tanpa usaha. Nabi sendiri adalah seorang pedagang sebelum diangkat menjadi rasul, dan para sahabatnya adalah orang-orang yang bekerja keras. Bahkan, dalam banyak riwayat, Rasulullah lebih menghargai seseorang yang bekerja sebagai tukang kayu atau buruh kasar daripada mereka yang hanya meminta-minta.
- Sifat Penakut: Takut Gagal, Takut Berusaha
Takut gagal adalah alasan utama banyak orang tetap berada dalam kondisi miskin dan tidak berkembang. Nabi mengajarkan bahwa keberanian adalah kunci untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah bersabda: “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung yang pergi di pagi hari dengan perut kosong dan kembali di sore hari dengan perut kenyang.”
Tawakal dalam Islam bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi berani melangkah dengan keyakinan bahwa hasil ada di tangan Allah. Sifat penakut, sebaliknya, menghambat inovasi, pertumbuhan ekonomi, dan keberanian mengambil peluang.
- Kebakhilan: Ketidakmauan Berbagi yang Menutup Pintu Rezeki
Islam memandang rezeki sebagai sesuatu yang harus dibagi. Dalam Surah Al-Baqarah (2:267), Allah berfirman: “Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik.” Kemiskinan struktural sering kali diperburuk oleh segelintir orang kaya yang menumpuk harta tanpa peduli terhadap mereka yang membutuhkan.
Zakat, sedekah, dan infak adalah sistem yang dirancang untuk menjaga keseimbangan sosial. Nabi Muhammad SAW memperingatkan bahwa mereka yang kikir dengan hartanya justru akan mengalami kesempitan dalam hidup. Dalam hadis riwayat Bukhari, disebutkan bahwa orang yang enggan bersedekah akan merasakan kesulitan dalam hidupnya.
- Lilitan Utang: Beban yang Menghancurkan Kemandirian Finansial
Nabi sering kali mengajarkan umatnya untuk menjauhi utang yang tidak perlu. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah bersabda: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya hingga utangnya dilunasi.” Utang yang menumpuk bukan hanya membebani secara finansial, tetapi juga mental. Orang yang terlilit utang kehilangan kebebasan, menjadi rentan terhadap tekanan sosial, dan sering kali jatuh ke dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.
Islam membolehkan utang dalam keadaan darurat, tetapi melarang konsumsi yang berlebihan atau gaya hidup yang tidak sesuai dengan kemampuan. Prinsip sederhana ini, jika diterapkan, bisa mencegah banyak orang dari kehancuran finansial.
- Tekanan dari Manusia: Ketergantungan pada Orang Lain
Bergantung pada belas kasihan orang lain bukanlah solusi yang dianjurkan dalam Islam. Nabi mengajarkan kemandirian, baik dalam ekonomi maupun kehidupan sosial. Dalam hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah bersabda: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Artinya, memberi lebih baik daripada menerima, dan bekerja lebih baik daripada meminta-minta.
Mereka yang terlalu bergantung pada orang lain akan kehilangan harga diri, kehilangan motivasi untuk berkembang, dan pada akhirnya menjadi beban bagi masyarakat.
Jalan Keluar dari Keterpurukan
Hadis Nabi ini bukan sekadar doa, tetapi sebuah strategi hidup. Dengan memahami faktor-faktor yang menyebabkan keterpurukan—kesedihan, kelemahan, kemalasan, ketakutan, kebakhilan, utang, dan ketergantungan—seseorang bisa mulai memperbaiki hidupnya. Islam menawarkan solusi holistik: kombinasi antara usaha, doa, dan kepedulian sosial. Kemiskinan bukanlah takdir yang tak bisa diubah, tetapi kondisi yang bisa diperbaiki dengan tekad, kerja keras, dan tawakal kepada Allah.