Imam Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi, yang lebih dikenal sebagai Al-Mawardi, adalah seorang cendekiawan Muslim terkemuka pada abad ke-11. Lahir di Basra, Irak, pada tahun 972 Masehi, Al-Mawardi tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan tradisi intelektual dan spiritual. Sejak usia dini, ia menunjukkan minat yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum Islam dan ilmu politik. Perjalanan akademisnya membawanya ke Baghdad, pusat peradaban Islam saat itu, di mana ia menimba ilmu dari para ulama terkemuka dan kemudian menjadi salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah Islam.
Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan
Al-Mawardi lahir dalam keluarga yang sederhana di Basra. Nama “Al-Mawardi” sendiri berasal dari profesi ayahnya yang merupakan penjual air mawar; dalam bahasa Arab, “ma'” berarti air dan “ward” berarti mawar. Sejak kecil, Al-Mawardi telah menunjukkan kecerdasan dan ketekunan yang luar biasa dalam menuntut ilmu. Ia memulai pendidikannya di kota kelahirannya, di mana ia belajar dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab.
Kehausannya akan pengetahuan membawanya ke Baghdad, kota yang dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam pada masa itu. Di sana, Al-Mawardi berguru kepada sejumlah ulama terkemuka. Ia mempelajari ilmu kalam (teologi Islam) di bawah bimbingan Abu Ishaq al-Isfarayini, fiqih (yurisprudensi Islam) dengan Abu Hamid al-Isfarayini, dan hadis dengan Abubakr al-Barqani. Selain itu, ia juga mendalami bahasa Arab di bawah asuhan Muhammad Bin al-Mu’ally al-Azdy. Kombinasi dari berbagai disiplin ilmu ini membentuk dasar pemikirannya yang komprehensif dan mendalam.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Al-Mawardi kembali ke Baghdad dan mulai mengajar serta menulis. Karyanya mencakup berbagai bidang, mulai dari hukum Islam, tafsir Al-Qur’an, hingga ilmu politik. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah “Al-Ahkam al-Sultaniyya” (Hukum-Hukum Pemerintahan), sebuah risalah yang membahas tentang prinsip-prinsip pemerintahan dalam Islam. Dalam karya ini, Al-Mawardi menekankan pentingnya negara yang dikelola berdasarkan kaidah-kaidah agama untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Selain sebagai akademisi, Al-Mawardi juga berperan aktif dalam pemerintahan. Ia pernah diangkat sebagai qadi (hakim) di beberapa wilayah di Irak, termasuk Baghdad. Kepiawaiannya dalam hukum dan diplomasi membuatnya dipercaya sebagai duta besar oleh khalifah Abbasiyah untuk berbagai negara Islam lainnya. Melalui peran ini, ia berkontribusi dalam menjaga stabilitas politik dan menyelesaikan konflik antarnegara.
Pandangan Al-Mawardi tentang Hubungan Agama dan Negara
Al-Mawardi hidup pada masa di mana kekhalifahan Abbasiyah mengalami tantangan politik dan sosial yang signifikan. Dalam konteks ini, ia mengembangkan pemikiran bahwa negara dan agama harus berjalan seiring untuk mencapai tatanan masyarakat yang ideal. Menurutnya, negara tanpa landasan agama akan kehilangan arah moral, sementara agama tanpa dukungan negara akan sulit diterapkan secara efektif dalam kehidupan masyarakat.
Dalam “Al-Ahkam al-Sultaniyya”, Al-Mawardi menguraikan bahwa tujuan utama negara adalah menegakkan agama dan mengatur urusan duniawi. Ia menekankan bahwa pemimpin negara, atau khalifah, memiliki tanggung jawab untuk memastikan pelaksanaan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan, termasuk hukum, ekonomi, dan sosial. Pemimpin harus memiliki integritas moral dan kapasitas intelektual yang tinggi, serta dipilih berdasarkan konsensus umat.
Al-Mawardi juga menekankan pentingnya keadilan sebagai prinsip utama dalam pemerintahan. Ia berpendapat bahwa keadilan adalah fondasi dari kestabilan dan kesejahteraan negara. Tanpa keadilan, negara akan terjerumus ke dalam kekacauan dan ketidakstabilan. Oleh karena itu, penegakan hukum yang adil dan tidak memihak menjadi salah satu tugas utama pemerintah.
Relevansi Pemikiran Al-Mawardi dalam Konteks Modern
Pemikiran Al-Mawardi tentang integrasi antara agama dan negara masih relevan dalam diskusi kontemporer mengenai hubungan antara keduanya. Meskipun konsep kekhalifahan yang ia usulkan mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan sistem pemerintahan modern, prinsip-prinsip dasar seperti keadilan, integritas pemimpin, dan pentingnya landasan moral dalam pemerintahan tetap menjadi nilai-nilai universal yang dapat diadaptasi dalam berbagai konteks.
Dalam masyarakat pluralistik seperti Indonesia, misalnya, penerapan nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan melalui sistem pemerintahan yang memperhatikan aspek keadilan, menjunjung tinggi supremasi hukum, serta menjaga nilai-nilai agama dan moral dalam pemerintahan. Ajarannya akan membimbing para pemimpin dan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dan berkah.
Secara keseluruhan, warisan intelektual Al-Mawardi menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana membangun negara yang berlandaskan nilai-nilai moral dan etika, serta pentingnya integrasi antara aspek spiritual dan temporal dalam pengelolaan pemerintahan. Pemikirannya mengingatkan kita bahwa tujuan akhir dari sebuah negara adalah mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya, dengan menjadikan nilai-nilai agama sebagai panduan dalam setiap kebijakan dan tindakan.