Jakarta — Proyeksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi menembus level 10.000 pada 2026 kembali menarik perhatian pelaku pasar. Namun bagi JPMorgan, target tersebut bukan sekadar persoalan angka psikologis. Di baliknya terdapat rangkaian katalis struktural yang dinilai mampu mengubah lanskap pasar modal Indonesia dalam jangka menengah, mulai dari kebijakan moneter yang akomodatif, perubahan perilaku investor domestik, hingga peran entitas strategis baru dalam pengelolaan aset nasional.
Dalam riset terbarunya, JPMorgan menilai arah kebijakan moneter Indonesia pada 2026 masih akan berpihak pada pertumbuhan. Bank sentral diperkirakan memangkas suku bunga secara bertahap, dengan total penurunan sekitar 50 basis poin dibandingkan level saat ini. Penurunan biaya dana tersebut dipandang akan memperbaiki likuiditas sistem keuangan, menekan cost of capital korporasi, dan meningkatkan daya tarik aset berisiko seperti saham.
Kondisi makro juga dinilai relatif terkendali. Defisit transaksi berjalan Indonesia diperkirakan tetap berada di bawah 1% dari produk domestik bruto. Stabilitas eksternal ini menjadi salah satu faktor kunci yang menopang kepercayaan investor global terhadap pasar Indonesia, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi dunia dan volatilitas arus modal ke negara berkembang.
Danantara dan Potensi Re-Rating Pasar
Salah satu faktor yang mendapat sorotan khusus adalah peran Danantara, entitas pengelola aset nasional yang dinilai memiliki potensi strategis dalam mendorong rerating pasar saham Indonesia. JPMorgan melihat struktur Danantara—yang memisahkan fungsi belanja publik dan investasi komersial—sebagai fondasi penting untuk memperluas basis pendanaan dan meningkatkan efisiensi alokasi modal.
Jika dijalankan secara konsisten dan transparan, Danantara diperkirakan mampu berperan lebih dari sekadar investor pasif. Mandat independen dari anggaran fiskal memberi ruang bagi entitas ini untuk menghimpun pendanaan eksternal, mengelola investasi jangka panjang, serta mengarahkan belanja modal ke sektor-sektor produktif. Dalam skenario tersebut, pasar melihat peluang terjadinya penurunan risk premium Indonesia, yang pada akhirnya mendukung kenaikan valuasi saham secara keseluruhan.
Bagi investor institusional, keberadaan Danantara juga membuka kemungkinan meningkatnya partisipasi dana pensiun dan lembaga keuangan publik di pasar ekuitas. Perubahan struktur permintaan ini dinilai krusial, mengingat selama ini pasar saham Indonesia masih sangat sensitif terhadap pergerakan dana asing.
Lonjakan Partisipasi Investor Ritel
Faktor lain yang menjadi penopang optimisme adalah partisipasi investor ritel yang mencapai level tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Aktivitas transaksi investor domestik melonjak signifikan, bahkan mendekati rekor pada masa awal pandemi. Kenaikan ini terutama terlihat pada saham-saham berkapitalisasi besar yang menjadi tulang punggung indeks.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa peran investor ritel semakin dominan dalam menentukan arah pasar, khususnya dalam jangka pendek hingga menengah. Tingginya partisipasi ritel meningkatkan kedalaman pasar dan likuiditas harian, meskipun di sisi lain juga berpotensi meningkatkan volatilitas.
JPMorgan memperkirakan minat ritel akan tetap kuat setidaknya hingga paruh pertama 2026, seiring ekspektasi pelonggaran moneter dan optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Namun, setelah itu, aktivitas ritel diperkirakan akan kembali lebih moderat seiring normalisasi sentimen dan meningkatnya selektivitas investor.
Perubahan Arah Alokasi Aset Institusional
Selain ritel, pergeseran alokasi aset institusional menjadi faktor penting lainnya. JPMorgan menilai bahwa sepanjang 2026 akan terjadi peningkatan bertahap arus dana institusional ke pasar saham, baik dari lembaga domestik maupun investor asing jangka panjang.
Mandat investasi publik yang lebih jelas, dikombinasikan dengan perbaikan tata kelola dan stabilitas makro, membuka peluang bagi peningkatan porsi ekuitas dalam portofolio dana pensiun dan lembaga pengelola jaminan sosial. Jika skenario ini terealisasi, ketergantungan pasar terhadap aliran dana asing jangka pendek dapat berkurang, sehingga volatilitas struktural pasar ikut menurun.
Diversifikasi basis investor dinilai semakin penting, mengingat pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa arus dana asing sangat dipengaruhi oleh sentimen global dan kebijakan moneter negara maju.
Risiko yang Masih Mengintai
Meski proyeksi menuju 10.000 terlihat menjanjikan, JPMorgan tetap mengingatkan adanya sejumlah risiko yang berpotensi menghambat laju IHSG. Salah satunya adalah volatilitas nilai tukar rupiah. Tekanan eksternal, baik dari perlambatan ekonomi global maupun perubahan kebijakan suku bunga global, dapat memengaruhi kepercayaan pelaku pasar dan memicu koreksi aset berisiko.
Selain itu, pasar juga mencermati potensi perubahan metodologi indeks global, khususnya terkait penyesuaian free float yang dapat memengaruhi bobot saham Indonesia dalam indeks acuan internasional. Perubahan tersebut berpotensi memicu penyesuaian portofolio oleh investor global, dengan dampak jangka pendek terhadap aliran dana.
JPMorgan juga menilai bahwa lonjakan partisipasi ritel berisiko mengalami pendinginan setelah fase awal 2026. Profit taking dapat meningkat apabila pasar memasuki fase jenuh beli atau jika muncul data ekonomi yang tidak sesuai ekspektasi.
Target Ambisius di Tengah Siklus Pasar
Target IHSG 10.000 lebih mencerminkan skenario optimistis di puncak siklus pasar, bukan ekspektasi dasar yang akan dicapai secara linier. Proyeksi lain dari pelaku pasar menempatkan IHSG pada rentang yang lebih moderat dalam skenario dasar, dengan potensi kenaikan yang tetap solid namun lebih terukur.
Dalam konteks ini, pergerakan indeks akan sangat ditentukan oleh konsistensi kebijakan, stabilitas makro, serta kemampuan pemerintah dan otoritas pasar dalam menjaga kepercayaan investor. (Redaksi BB)
_________________________________

