Dimulai dari sebuah kantor kecil dan seorang sekretaris, kini pria ini mengelola bisnis infrastruktur beraset di atas Rp3,5 triliun dengan 20-an anak usaha. Visi, strategi, dan gaya kepemimpinan menjadi kunci suksesnya.
Sudah menjadi rahasia umum, bila berbicara soal pelaku pasar modal, orang akan langsung terasosiasi dengan sosok pebisnis yang spekulatif. Mereka biasanya tak akan lama menggenggam sebuah aset karena begitu melihat ada peluang meraih untung (capital gain), segera akan dijual. Sosok seperti itu berbeda dengan pebisnis bermental industriawan yang biasanya, ketika memilih sebuah bidang bisnis, akan menggeluti, merawat, dan membesarkannya dengan sabar, tidak mudah tergoda untuk menjual asetnya meski peluang untung besar di depan mata.
Muhammad Ramdani Basri tampaknya merupakan sosok anomali. Meski berlatar belakang dunia pasar modal, ia justru membuktikan diri sebagai seorang industriawan tulen, khususnya di bisnis infrastruktur yang digelutinya. Setidaknya, hal itu terlihat dari apa yang dilakukannya dalam membesarkan perusahaan publik PT Nusantara Infrastructure Tbk (NI), yang kini menjadi pemain swasta besar di bidangnya dengan total aset tidak kurang dari Rp3,5 triliun.
“Cita-cita saya adalah membangun infrastruktur untuk masyarakat tanpa satu rupiah pun menggunakan dana APBN, baik itu jalan tol, air bersih, pelabuhan, pembangkit listrik, dan sebagainya,” jelas Ramdani seraya menunjuk struktur organisasi NI yang sekarang sudah memiliki 17 anak perusahaan di bidang infrastruktur.
Kisah bisnis Ramdani di bidang infrastruktur dimulai pada tahun 2005 ketika ia bertemu dengan Grup Bosowa yang memiliki dua aset jalan tol dan meminta supaya aset tersebut direvitalisasi. Dua aset jalan tol itu, satu berada di Makassar, dan satu lagi di wilayah BSD, Tangerang. “Dua aset itu dalam kondisi ‘batuk-batuk’, kesulitan keuangan karena memiliki utang besar dan sulit membayar bunga. Pokoknya, hampir menjadi aset yang mati,” katanya mengenang.
Saat pertemuan itu, ia menyanggupi untuk mencoba memaksimalkan aset tersebut, namun meyakinkan bahwa hal itu hanya bisa dilakukan melalui pasar modal karena bisnis infrastruktur membutuhkan modal yang sangat besar.
Ramdani sendiri tidak asing dengan pasar modal. Sebelumnya, ia sudah berkecimpung di pasar modal dan biasa menangani kasus-kasus merger dan akuisisi perusahaan perminyakan, tambang, dan manufaktur. Ia juga pernah menjadi CEO perusahaan sekuritas PT Asiana Securities, serta CEO PT Asiana Multi Kreasi Tbk, di mana ia melakukan turn around perusahaan produsen boneka itu dari kondisi ekuitas negatif menjadi positif sebelum akhirnya dijual ke pihak lain.
Pada intinya, ajakan untuk memanfaatkan dua aset itu disetujui. Ramdani lalu mulai bekerja, hanya ditemani seorang akuntan dan petugas kebersihan. “Kantor saya saat itu berupa ruangan kecil, kursinya pun saya bawa dari rumah,” ungkap Ramdani yang lahir di Jakarta, 9 Maret 1961. Ia segera bekerja melakukan restrukturisasi. Dua aset jalan tol itu kemudian ia rangkum menjadi satu (merger), dan dibuatkan holding baru bernama PT Nusantara Konstruksi Indonesia (NKI).
Dia lalu mencari perusahaan publik beraset kecil sebagai kendaraan untuk masuk ke bursa yang kemudian didapatkan melalui PT Metamultimedia Tbk, perusahaan publik di bidang TI. “NKI itu kemudian saya gabungkan (merger) melalui backdoor listing dengan PT Metamultimedia Tbk sebagai aset penggerak. Setelah digabung, nama PT Metamultimedia saya ubah menjadi PT Nusantara Infrastructure Tbk hingga sekarang. Jadi, Nusantara Infrastructure saat itu langsung memiliki dua aset tol tadi,” kenang Ramdani. Pada tahun itu pula, Ramdani segera melakukan restrukturisasi utang dua jalan tol tersebut, ke Bank Mandiri dan Bank Artha Graha. Pinjaman akhirnya berhasil direstrukturisasi sehingga menjadi utang lancar dan bisnis kembali berjalan normal.
Sejak itu, NI terus tancap gas menggelar bisnisnya dan menggenjot pertumbuhannya. Pada tahun 2008, dalam kondisi keuangan yang masih tertatih-tatih, NI mengakuisisi sebuah jalan tol di Makassar, ruas Jalan Tol Seksi Empat (JTSE), sehingga memiliki tiga aset jalan tol (dua di Makassar dan satu di Tangerang). Tol JTSE merupakan satu-satunya tol yang diresmikan Presiden RI (2009) selama era infrastruktur summit. Pada tahun-tahun berikutnya, gebrakan NI semakin menjadi-jadi.
Pada 2011, misalnya, NI mulai masuk ke bisnis infrastruktur di luar jalan tol, yakni dengan mengakuisisi perusahaan pelabuhan di Lampung. Pelabuhan yang diakuisisi bukanlah pelabuhan umum, melainkan pelabuhan khusus (dedicated) untuk bongkar-muat komoditas CPO. Dalam proyek investasi pelabuhan CPO, NI menggandeng investor global Louis Dreyfus Group, raksasa bisnis komoditas di dunia.
Ekspansi terus berlanjut, antara lain dengan masuk ke bisnis penyediaan air bersih untuk publik. Saat ini, NI sudah memiliki dua lokasi pengolahan, yakni di Cikokol, Tangerang, dan Sumatera Utara. Juga masuk ke bisnis energi dengan memiliki pembangkit listrik mini hidro (di bawah 10 MW). Pada Desember 2013 lalu, NI juga mengakuisisi perusahaan tower BTS yang memiliki sekitar 400 tower. “Sekarang ini, grup kami sudah memiliki 17 anak perusahaan infrastruktur,” ujar Ramdani.
Masing-masing bisnis dikelola oleh subholding yang mengelola semua anak usaha dalam bidang yang sama. Misalnya, di bisnis jalan tol, dikelola oleh subholding anak usaha NI bernama PT Margautama Nusantara (MUN). Saat ini, MUN mengelola empat ruas jalan tol, yakni ruas tol Bintaro Serpong Damai (BSD) Jakarta, Bosowa Marga Nusantara (BMN), ruas Jalan Tol Seksi Empat (JTSE) Makassar, serta ruas tol Jakarta Lingkar Barat Satu (JLB) Jakarta.
Tak salah, berdasarkan praktik yang sudah dilakukan sejauh ini, tampak sekali NI menggunakan pola pertumbuhan anorganik, mengandalkan strategi akuisisi. Pertanyaannya, dari mana dana untuk akuisisi itu? “Sumber dana akuisisi beragam. Bisa dari pinjaman bank, bisa dari mitra investor, dari pasar modal, ada juga yang dari sumber internal kami,” sebut Ramdani. Pada tahap pertama, hingga tahun 2010, NI menggunakan pola leverage utang. Contohnya, utang di dua jalan tol di awal direnegosiasi menjadi utang lancar dan dari situ bisa menjadi aset untuk meminjam lagi.
Namun, yang juga sangat penting, NI mengandalkan sumber dana dari investor yang digandeng. “Kami tidak mungkin membangun infrastruktur sendirian, harus ramai-ramai. Kebutuhan investasi dan modal pasti sangat besar,” ungkap Ramdani. Ia mencontohkan, investasi untuk sebuah ruas jalan tol bisa mencapai Rp10 triliun karena saat ini investasi jalan tol per kilometer membutuhkan modal sekitar Rp80 miliar. Sedangkan untuk tol yang di atas (elevated), bahkan membutuhkan investasi per kilometer Rp200 miliar. Bisnis pelabuhan pun nilainya pasti triliunan.
Tak heran jika Ramdani banyak melibatkan investor dalam menggarap bisnis ini. Mereka ada yang berinvestasi di perusahaan holding NI, subholding, maupun di level proyek (anak usaha). Beberapa investor yang dapat disebutkan antara lain Providence Capital, CapAsia, Louis Dreyfus, dan Rajawali Group. Ke depannya, kecenderungan tidak akan ada pemegang saham mayoritas tunggal (single majority) karena investasi terus akan dilakukan.
Ramdani mengenang, NI mulai menggandeng investor strategis sejak 2010. Saat itu, jumlah utang perusahaan sudah sedemikian besar sehingga terpaksa melakukan aksi korporasi dengan cara rights issue (menerbitkan saham baru). Total dana yang diperoleh saat itu (termasuk waran) adalah Rp1 triliun. “Saat itulah kami mengundang investor finansial untuk membeli saham tersebut sehingga jumlah pemegang saham bertambah dan investor finansial menjadi pemegang saham mayoritas,” sebut Ramdani. Tiga bulan kemudian, investor finansial tersebut menjual sebagian sahamnya, salah satunya kepada Rajawali Group yang kini menguasai 21% saham NI.
Kini, setelah skala bisnis dan organisasi NI semakin besar, Ramdani lebih fokus pada pekerjaan strategi dan kebijakan. Kegiatan komersial harian sudah dijalankan oleh COO, Danny Hasan. Danny Hasan sendiri bergabung ke NI setahun setelah Ramdani. “Waktu itu, Pak Danny agak takut bergabung karena perusahaan masih berdarah-darah, keuangannya belum solid. Tapi saya yakinkan bahwa restrukturisasi bukan untuk jangka pendek, jadi masa depan akan aman,” kenang co-founder NI ini. Kini, dalam setiap pengambilan keputusan investasi, Ramdani selalu mengajak timnya untuk memutuskan bersama. Tim tersebut tergabung dalam komite investasi yang anggotanya terdiri dari Ramdani sendiri, Danny Hasan, Ridwan Irawan, dan Scout Younger.
Harus diakui, kebesaran NI jelas tidak lepas dari sentuhan kepemimpinan Ramdani yang sejak awal terlibat aktif mengomandani perusahaan publik ini. “Pak Ramdani itu sosok yang kreatif dan banyak akal dalam mengelola bisnis,” ungkap Darjoto Setiawan, eksekutif senior Group Rajawali yang ditempatkan di NI sebagai Presiden Komisaris. Pernyataan Darjoto tentu saja akurat karena dalam beberapa tahun terakhir Darjoto sering berhubungan dengan Ramdani. Dalam hal ini, Ramdani menerapkan gaya kepemimpinan tersendiri ketika mengelola tim NI. Ia sangat meyakini pentingnya pendelegasian otoritas dan kepercayaan kepada anak buah. “Kalau kita ingin bisnis dan organisasi menjadi besar, pimpinan tidak mungkin mengurus hal-hal kecil. Harus didelegasikan kepada orang lain yang kompeten dan kita percaya. Dan kalau kita sudah mendelegasikan, kita harus memberikan mandat penuh dan percaya bahwa mereka bisa. Jangan sampai sebagai pimpinan kita merasa sok pintar dan banyak intervensi,” jelas Ramdani tentang gaya kepemimpinannya.
Terlihat jelas bahwa NI bisa tumbuh besar karena proses delegasi otoritas yang berjalan dengan baik dan pimpinan mempercayai anak buah. Tim-tim di bawah direksi diberi kewenangan untuk mengusulkan berbagai ide pengembangan bisnis baru dan mengeksekusinya tanpa intervensi. Bila ada ide pembentukan usaha baru, ide tersebut ditampung dan diputuskan dalam Komite Investasi. Pengelolaannya secara teknis diserahkan kepada tim (anak buah) yang sudah dipercaya. “Anak buah kita yang ada di lapangan, mereka lebih tahu sehingga usulan pengembangan dari mereka kita jalankan. Itulah pentingnya merekrut anak buah yang baik agar masukannya juga baik,” ungkapnya. Namun, Ramdani tetap mewanti-wanti agar anak buahnya berhati-hati dan cermat dalam melakukan perhitungan. Pasalnya, di bisnis infrastruktur, jika salah perhitungan, akan langsung merusak neraca bisnis karena investasinya besar.
Ramdani lebih suka memperlakukan anak buah sebagai intrapreneur (wirausaha) daripada sekadar karyawan. Para manajer dia tantang untuk berpikir dan mengelola unit usaha yang menjadi tanggung jawabnya layaknya bayi yang harus dirawat dan dibesarkan. “Saya bilang ke mereka, ‘Saya percayakan proyek ini kepada Anda 100%. Silakan Anda kembangkan! Kalau Anda bisa, akan mendapatkan penghargaan yang berbeda dari skema karyawan biasa.’ Saya ajak mereka berpikir sebagai wirausahawan,” tutur Ramdani yang terus mengajak karyawannya berpikir 20 tahun ke depan. Mengelola bisnis infrastruktur seperti yang dijalankan NI, menurut Ramdani, membutuhkan pendekatan dan tipologi karyawan yang berbeda.
Menurut pengalamannya, pekerjaan ini akan sulit dilakukan oleh karyawan yang jam 5 sore sudah ingin pulang kantor. “Bisnis merger and acquisition tidak mungkin dikerjakan oleh tipe karyawan seperti itu. Harus yang mau bekerja keras, terkadang harus menginap di kantor,” sebutnya. Dengan kata lain, salah satu yang membuat sukses, Ramdani memilih tim yang memiliki semangat perjuangan yang militan. Dalam memilih karyawan, Ramdani lebih mementingkan pengalaman. “Sekolah itu perlu, tapi jam terbang lebih penting,” ujar lulusan Master of Science dari Monash University, Melbourne, Australia ini.
Ia menganalogikan dengan dokter yang lulusan universitas ternama namun minim praktik dibandingkan dengan dokter biasa yang sering terlibat di kamar bedah. Tentu kualitasnya akan lebih baik yang sudah biasa berpraktik. Ia juga menunjuk contoh anak buahnya yang bekerja di bagian TI, hanya lulusan STM di Makassar, namun bisa membuat program perangkat lunak yang sangat baik hingga membuat relasi dari Jepang tercengang melihat kemampuan karyawan itu.
Karena itu, Ramdani selalu mendorong anak buahnya untuk mempertajam pengalaman dengan semakin banyak terlibat dalam pengerjaan proyek. Tak heran jika Ramdani lebih suka mendidik karyawannya dengan cara pelatihan langsung di lapangan (on-the-job training) dibandingkan pendidikan formal. Ia percaya karyawan akan berkembang dengan baik bila terbiasa menghadapi masalah dan kreatif dalam mencari solusi atas masalah yang dihadapi. Di sisi lain, ia juga menyemangati timnya bahwa sejatinya tantangan yang mereka hadapi kini jauh lebih mudah dibandingkan eranya karena manajemen NI sudah memberikan fasilitas lengkap untuk berkarya. Mitra juga sudah sangat percaya pada kiprah NI (bank, investor, dan mitra).
Ramdani teringat dulu saat krisis, ia harus menyelamatkan perusahaan yang benar-benar mengalami kesulitan. Untuk bisa mengatasinya, Ramdani membuat ratusan skenario simulasi penyelamatan. “Jika skenario ini terjadi maka risikonya begini. Namun, dari situ saya belajar banyak dan berusaha kreatif. Kreativitas itu harus diasah dari pengalaman, tidak bisa hanya dari sekolah,” pesan Ramdani. Dalam hal ini, Ramdani selalu mendorong timnya agar bisa menciptakan ide-ide bisnis yang tidak ada dalam teori-teori yang sudah ada.
Kepada para pemimpin muda di perusahaannya, Ramdani selalu mengingatkan bahwa pada prinsipnya manusia sudah memiliki garis tangan (takdir) masing-masing. Namun, di sisi lain, mereka juga harus meyakini bahwa jika melakukan sesuatu yang baik, hasilnya juga akan baik. “Tugas kita adalah melakukan sesuatu sebaik mungkin dan yakin akan berhasil dengan kreativitas yang terus kita bangun. Kita harus yakin itu. Kalau tidak yakin, jangan jadi pemimpin,” pesan yang biasa ia sampaikan.
Kreativitas, bagi Ramdani, sangat penting untuk menyikapi masalah yang ada. “Coba kita ingat tahun 2008. Waktu itu aset kita hanya Rp250 miliar, namun kita akan mengakuisisi perusahaan lain yang total asetnya Rp2,7 triliun. Bagaimana ini bisa dan darimana uangnya? Tapi kita harus yakin itu bisa dan mencari jalan, dengan mengombinasikan semua instrumen yang ada. Buktinya bisa,” ujar Ramdani. Setelah berhasil membawa perusahaan yang semakin besar—dengan jumlah karyawan 800 orang, 17 anak usaha, dan total aset Rp3,5 triliun—Ramdani semakin yakin bahwa pekerjaan terpentingnya adalah mengelola dan membangun karakter manusia (SDM) dan budayanya agar sejalan dengan yang dia pikirkan.
Begitu perhatian pada aspek SDM, divisi sumber daya manusia di NI berada langsung di bawah Ramdani, tidak di bawah direktur lain. Persoalan SDM dan budaya biasanya juga menjadi fokus utama ketika mengakuisisi perusahaan. “Dulu kami berpikir masalah utama dalam akuisisi adalah uang. Ternyata bukan, masalah SDM dan penyamaan budaya,” ungkap pria yang lulus program sarjana tahun 1985 ini.
Selama ini, dalam menangani perusahaan yang diakuisisi, langkah pertama yang diambil adalah menyamakan visi SDM dan budayanya. “Kalau berbeda, kita akan sulit bekerja. Makanya, perusahaan yang diakuisisi harus di-upgrade terlebih dahulu sehingga bisa sama dengan cara kerja kita. Baru setelah itu kita bisa membicarakan rencana kerja,” lanjut Ramdani. Biasanya, jika ada perusahaan yang diakuisisi, NI melakukan pencampuran SDM pengelola perusahaan itu.
Selain itu, NI juga membuat sistem baru dan memberikan pelatihan agar perusahaan yang baru diakuisisi dapat mengikuti irama kerja NI. Termasuk secara bertahap meningkatkan gaji hingga mencapai level yang sama dengan NI. Apabila perusahaan yang diakuisisi ukurannya besar, biasanya NI langsung mencari orang dari luar yang memiliki kompetensi lebih tinggi daripada direksi yang sudah ada untuk memimpin perubahan.
Dari sisi sumber daya manusia (SDM), untuk membangun kekompakan, setiap tahun Ramdani mengumpulkan seluruh karyawan dalam acara gathering yang biasanya diadakan di luar Jakarta. “Yang terakhir kemarin di Bali, 750 orang karyawan, termasuk office boy, terbang ke Bali,” ungkapnya. Di sisi lain, untuk memudahkan koordinasi, ruang kerja Ramdani di Equity Tower dilengkapi dengan ruang pemantauan elektronik secara real-time (dilengkapi layar monitor besar), yang memungkinkan pemantauan perkembangan semua titik proyek NI serta komunikasi langsung dengan mitra-mitra investor di luar negeri.
Setelah sekitar 10 tahun beroperasi, Ramdani merasa yakin bahwa perjalanan bisnis NI berada di jalur yang benar. Mimpinya untuk menjadikan NI sebagai perusahaan swasta penyedia infrastruktur masyarakat yang sama sekali tidak mengandalkan APBN semakin nyata. Terlebih lagi, kinerja NI semakin sehat. Setelah melewati masa-masa sulit dari tahun 2006 hingga 2010, mulai tahun buku 2011 NI telah mencatat laba positif. Sejak saat itu, pertumbuhan bisnis dan laba perusahaan semakin baik.
Kepercayaan dari kalangan pebisnis terhadap NI juga semakin meningkat. “Dulu, mencari proyek baru sangat sulit. Sekarang, hampir setiap hari ada saja proposal yang datang dan meminta kami masuk sebagai investor,” kenang Ramdani. Hal yang sama berlaku dalam hubungan dengan perbankan. Pada awalnya, ketika ia datang ke bank, sering ditertawakan karena membawa proyek yang dianggap mimpi. Tanpa modal, namun dengan ambisi besar.
“Jangankan bertemu dengan pimpinan bank, untuk bertemu dengan level kepala bagian saja kami kesulitan. Namun sekarang, justru orang nomor satu di bank tersebut yang ingin bertemu kami,” ujar Ramdani. Kepercayaan publik semakin bertambah setelah investor asing dan private equity ternama dunia bersedia menanamkan modalnya di NI. “Untuk bisa menggandeng mereka itu sangat sulit. Proses due diligence berlangsung lama dan sangat ketat,” cerita Ramdani tentang pengalamannya.
Ke depannya, Ramdani ingin terus mewujudkan mimpinya agar NI membangun semakin banyak infrastruktur untuk negeri tanpa bantuan anggaran negara. “Saya ingin Nusantara Infrastructure menjadi pilot project dunia swasta yang berhasil,” ungkapnya. Setelah merambah ke sektor jalan tol, pelabuhan, penyediaan air bersih, menara BTS, dan pembangkit listrik, dalam waktu dekat NI juga akan menggarap bisnis pengelolaan bandara.
Namun demikian, dalam ekspansinya, NI masih akan fokus pada ceruk economic infrastructure dan belum akan menyentuh social infrastructure seperti sekolah dan rumah sakit. Ramdani yakin bahwa perusahaannya akan terus berkembang karena timnya telah ditempa dengan mental industriawan yang memiliki kesabaran dan gairah tinggi di bidang infrastruktur, sehingga siap mengembangkan bisnis untuk jangka panjang.
Bacaan lainnya: