Kisah Sukses Paulus Tumewu Membangun Jaringan Ramayana Dept Store

bintangbisnis

Hampir di setiap kota menengah dan pinggiran di Indonesia, nama Ramayana Department Store terasa akrab. Dari Karawang hingga Kupang, dari Jember sampai Palu, Ramayana berdiri di titik-titik yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat: terminal, pasar tradisional, pusat kota lama, atau jalur utama perdagangan. Ia bukan simbol gaya hidup elite, melainkan tempat belanja praktis yang tumbuh bersama denyut ekonomi rakyat.

Di balik jaringan ritel nasional itu, ada Paulus Tumewu—pendiri Ramayana Department Store sekaligus arsitek dari salah satu kisah ritel paling panjang dan penuh liku di Indonesia. Berbeda dengan banyak pemain ritel modern yang lahir dari konsep global dan investasi besar, Ramayana dibangun dari pengalaman lapangan, intuisi dagang, dan pemahaman mendalam terhadap konsumen kelas menengah bawah.

Paulus memulai Ramayana pada akhir 1970-an, saat lanskap ritel Indonesia masih sangat sederhana. Saat itu, belanja pakaian didominasi toko kecil dan pasar tradisional. Paulus melihat peluang besar: masyarakat membutuhkan tempat belanja yang lebih rapi, nyaman, dan terjangkau, tanpa harus masuk ke toko mahal yang terasa asing bagi mereka. Dari sinilah konsep Ramayana lahir—department store dengan harga bersahabat dan produk yang relevan dengan kebutuhan sehari-hari.

Belajar bisnis ritel tidak terjadi dalam semalam. Paulus memahami ritel dari bawah: dari mengatur stok, menghadapi barang tak laku, membaca musim belanja, hingga menjaga arus kas agar toko tetap hidup. Ritel adalah bisnis detail dan disiplin. Salah hitung stok bisa berarti rugi. Salah baca pasar bisa berarti rak penuh barang yang tidak bergerak.

Pada dekade 1980-an hingga 1990-an, Ramayana mulai memperluas jaringan secara bertahap. Strateginya jelas: masuk ke kota-kota yang belum menjadi incaran pemain besar. Saat banyak peritel fokus ke Jakarta dan kota utama, Ramayana justru tumbuh di daerah. Di banyak kota, Ramayana menjadi department store modern pertama yang dikenal masyarakat. Dari sinilah loyalitas konsumen terbentuk.

Namun perjalanan itu tidak selalu mulus. Krisis moneter 1997–1998 menjadi ujian berat. Daya beli masyarakat jatuh, biaya melonjak, dan banyak bisnis ritel tumbang. Ramayana ikut terpukul. Tapi Paulus memilih langkah konservatif: menahan ekspansi, menjaga likuiditas, dan fokus bertahan. Strategi ini membuat Ramayana tetap hidup ketika banyak pesaing menghilang.

Memasuki era 2000-an, tantangan baru muncul. Mal modern bermunculan, merek internasional masuk, dan gaya belanja mulai berubah. Ramayana tidak ikut berlomba menjadi ritel gaya hidup. Ia tetap konsisten di segmennya: produk fungsional, harga terjangkau, dan lokasi strategis. Pendekatan ini membuat Ramayana tetap relevan bagi pasar utamanya.

Langkah besar diambil ketika PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk melantai di Bursa Efek Indonesia pada 1996. Go public membuka babak baru. Sejak itu, kinerja Ramayana tidak hanya diukur dari jumlah toko, tetapi juga dari laporan keuangan yang transparan. Sebelum pandemi, Ramayana mencatat penjualan tahunan di kisaran Rp15–16 triliun, dengan laba bersih lebih dari Rp1 triliun—angka yang mencerminkan skala dan efisiensi bisnis ritel mass market.

Pandemi COVID-19 menjadi tantangan terbesar dalam sejarah perusahaan. Pembatasan mobilitas membuat toko-toko sepi, penjualan anjlok, dan laba berubah menjadi rugi. Pada 2020 dan 2021, Ramayana mencatat kerugian bersih akibat tekanan operasional yang berat. Banyak gerai harus dievaluasi, biaya ditekan, dan strategi disesuaikan.

Namun seperti sebelumnya, Ramayana perlahan bangkit. Ketika ekonomi mulai pulih, kinerja kembali membaik. Penjualan meningkat, arus kas membaik, dan laba kembali tercatat positif. Pemulihan ini menegaskan karakter Ramayana sebagai bisnis yang tidak agresif, tetapi tahan banting.

Di tengah gempuran e-commerce dan perubahan perilaku belanja generasi muda, Ramayana menghadapi tantangan struktural. Department store konvensional memang tidak lagi berada di puncak tren. Namun kekuatan Ramayana ada pada jangkauan luas, basis pelanggan loyal, dan pemahaman mendalam terhadap pasar daerah.

Paulus Tumewu sendiri jarang tampil di sorotan publik. Ia bukan tipe pengusaha yang gemar membangun citra besar. Kepemimpinannya tercermin dalam konsistensi arah bisnis dan ketenangan menghadapi siklus naik-turun. Bagi Paulus, ritel bukan soal sensasi, melainkan soal keberlanjutan.

Kini, Ramayana berdiri sebagai salah satu jaringan department store terbesar di Indonesia, dengan ratusan gerai dan jutaan pengunjung setiap tahun. Ia bukan cerita tentang kemewahan, tetapi tentang ketekunan. Bukan tentang pertumbuhan agresif, tetapi tentang bertahan dan tetap relevan.

Di tengah perubahan zaman, kisah Paulus Tumewu dan Ramayana menjadi pengingat bahwa dalam bisnis ritel, memahami konsumen sering kali lebih penting daripada mengikuti tren. Dan di negara dengan pasar yang begitu beragam seperti Indonesia, strategi sederhana yang dijalankan dengan disiplin bisa menjadi kunci umur panjang sebuah perusahaan.

Share This Article