Bukan rahasia lagi, di Indonesia pohon aren (arenga pinnata), selama bertahun-tahun cenderung dipandang sebelah mata oleh warga masyakarkat. Nilai ekonomisnya sering dianggapkalah jauh dibanding pohon kelapa (coconut tree), tebu dan terlebih dibanding kelapa sawit (palm oil tree). Tak heran, warga masyarakat semakin jarang yang mau dengan sengaja menanam pohon aren, apalagi membudidayakannya dengan rapi dalam jumlah banyak. Tak heran, pohon aren yang ada, khususnya di Jawa, kebanyakan merupakan tanaman yang tumbuh alami, di pematang- pematang sawah atau tebing-tebing pegunungan. Jumlah populasi orang yang mau mengambil nira aren pun semakin lama semakin sedikit, alias makin habis.
Kenyataan itulah yang melecut keprihatian seorang Willie Smits. Pasalnya, menurutnya, tanaman aren merupakan tanaman yang sangat produktif. “Ini pohon ajaib. A magic tree. Dari akar sampai daun bermanfaat bagi manusia. Orang yang mengonsumsi gula aren punya harapan hidup lebih baik karena lebih sehat dibanding jenis gula-gula lainnya,” jelas Willie Smits, ahli biologi dan kehutanan yang meraih gelar doktor bidang tropical forestry and soil science dari Wageningen University (Belanda) tahun 1994 itu.
Meski lahir dan tumbuh di Belanda, bagi Willie, Indonesia bukanlah negeri yang asing. Sejak awal 1980-an, ia sudah berada di Indonesia, sebagai seorang peneliti dan pakar kehutanan, microbiologist, dan juga conservationist, yang banyak meneilti dan memberdayakan satwa liar di Indonesia. Di negerinya, Willie juga dikenal sebagai pakar lingkungan hidup. Tahun 1985 ia sudah hidup di hutan-hutan Kalimantan untuk melakukan penelitian. Tahun 1989 ia mulai aktif pada gerakan penyelamatan orang utan dan juga merupakan perintis Borneo Orangutan Survival Foundation. Ia juga sempat diminta menjadi senior advisor untuk Menteri Kehutanan pada era Menteri Djamaludin Suryohadikusumo. Kecintaannya pada Indonesia bertambah karena ia juga menikah dengan wanita Indonesia, dari Tomohon, Sulawesi Utara, dan akhirnya menjadi WNI.
Perhatian Willie pada tumbuhan aren dimulai dari fakta bahwa di Tomohon – terletak di Propinsi Sulawesi Utara, sekitar 25 km dari Manado — seorang pria yang melamar wanita kekasihnya, diminta membayar dengan maskawin berupa enam pohon aren. Awalnya ia terheran kenapa maskawin ‘hanya’ semurah itu, namun dalam perkembangannya ia tahu bahwa ternyata pohon aren sangat produktif. Khususnya dari nira (gula) yang dihasilkannya. Terlebih kalau pintar merawat pohon dan memanennya dengan cara-cara yang benar.
Namun sayang sekali, masyakarat pada umumnya belum menghargai pohon aren dengan baik. Yang membuat Willie prihatin, banyak pohon ditebang tanpa penggantian bibit baru lagi sehingga populasi makin berkurang. Hal inilah yang mendorongnya berbuat sesuatu, dengan memberberdayakan petani aren, dengan tujuan, selain peningkatan ekonomi juga pelestatrian lingkungan.
Secara umum ada dua alasan yang mendorong Willie getol memberbeayakan pertanian aren.
Pertama, dari sisi lingkungan, pohon aren sangat ramah lingkungan bila dibudidayakan. Berdasarkan penilitiannya, pohon aren mampu tumbuh besar di tanah-tanah tandus, lereng-lereng bukit, semak-semak dan pematang sawah. “Kalau di hutan, pohon aren justru akan tumbuh lebih besar di hutan campuran yang banyak jenis pohon besar lain di dalamnya. Jadi ia tanaman tumpang sari. Pohon aren akan bisa tumbuh dengan baik bersama pohon-pohon lainnya, cocok dengan keragaman hayati,” katanya. Hal ini berbeda dengan kelapa sawit yang cenderung merusak keragaman hayati dan kesuburan tanah. Selain itu, akar pohon aren yang serabut itu bisa menghunjam sepanjang 15 meter ke dalam tanah sehingga mencegah tanah longsor dan menahan air.
Yang juga tak kalah penting, tentu saja, dari sisi benefit ekonomi yang dihasilkan gula aren. Memang kalau nira pohon aren hanya dibudidayakan sebagai minuman tuak, tak akan punya dampak ekonomi signifikan. Namun kalau diolah dengan baik menjadi gula aren, diproses dan dikemas, lalu diekspor, hasilnya akan sangat baik bagi peningkatan pendapatan masyarakat. Di Tomohon, misalnya, 6 pohon aren sudah bisa mencukup kebutuhan keluarga baru.
Willie memulai kegiatan pemberdayaan petani aren tahun 1998 di Tomohon. Daerah itu memang dikenal sebagai salah satu sentra aren di Indonesia. “Yang pertama kali lakukan, melakukan reboisasi gunung dan lahan seluas 500 hektar,” kenang Willie. Ia mulai dengan membeli tanah-tanah yang tidak produktif dan lahan-lahan paling curam (lahan jelek) untuk dilakukan penanaman kembali. Ia ingat waktu itu banyak orang yang terheran kenapa ia mau membeli lahan-lahan jelek itu, sampai ada yang menyangsikan jangan-jangan ada tambang emas di bawahnya. Willie dan istrinya memilih cara membeli lahan itu karena biasanya orang akan sulit untuk diajak melakuka sesuatu bila belum ada bukti, sehingga ia membeli tanah sendiri sendiri agar bisa mulai menjalankan ide- idenya.
Di tanah-tanah curam di tebing dan lahan tandus itu kemudian ia lakukan reboisasi dengan pola hutan campuran. “Di dalamnya kami tanamai pohon cempaka, kayu pertukangan, kayu yang menghasilkan buah-buahan dan jenis-jenis pohon yang bisa menyuburkan tanah. Tentu saja juga kita tanami aren untuk penciptaan lapangan
kerja,” papar Willie. Untuk menggulirkan program ini, Willie mendirikan Yayasan Masarang dimana ia menjadi ketuanya. Nama Masarang semdiri diambil dari nama sebuah pegunungan di Tomohon.
Pegunungan Masarang saat itu dalam kondisi yang sudah agak gundul dan kalau hujan sering terjadi banjir. Sementara di waktu musim kemarau biasa terjadi kekuaran air sehingga terkadang terjadi perselisihan antar warga karena rebutan air.
Setelah melakukan reboisasi lima tahun, pada akhirnya masyarakat mulai mengerti pentingnya reboisasi sehingga mereka juga mau menjalankan program tersebut. Terlebih setelah 5 tahun penanaman itu, tidak pernah lagi terjadi banjir, mata air bisa mengalir sepanjang tahun, dan warga bisa menanam sawahnya sepanjang tahun. “Ternyata dari 500 hektar yang direboisasi bisa menghasilkan efek puluhan miliar rupiah untuk masyarakat, belum termasuk dari aren,”
katanya.
Kemudian untuk menggalakkan budidaya aren, Yayasan Masarang aktif melakukan pelatihan tentang budidaya gula aren yang baik. Dalam hal ini Willie juga terus aktif melakukan riset tentang tanaman aren. “Kami menemukan ada 20 masalah kunci dalam budidaya aren kenapa tidak bisa berkembang. Kami riset bertahun-tahun, kami sudah kami selesaikan satu per satu sehingga sudah siap untuk menerapkannya di tempat lain,” ungkapnya. Ia menyontohkan, dulu pembibitan aren terbilang sulit dan jarang dilakukan. Pasalnya, menurut penelitiannya, dari metode perkecambahan alami, setelah 6 bulan dilakukan pembibitan hanya 10% dari biji yang bisa tumbuh. “Kita
sudah kaji dan lakukan riset dan menemukan cara untuk bisa menghasilkan menjadi
80%-90% kecambah yang tumbuh dalam tiga minggu,” ungkapnya.
Seleksi bibit unggul untuk diregerenasikan juga penting. Ia melihat seleksi pohon aren di Sulawesi Utara dan di Sumatera Utara lebih baik dibanding di Jawa karena disana banyak pohon aren unggulan yang besar dan usianya sudah tua. “Orang Tomohon misalnya, mereka tidak menebang pohon aren karena mereka hanya mengambil nira dan daunnya. Sehingga secara alamiah terjadi seleksi positif dan muncul pohon-pohon aren unggul,” katanya. Hal ini berbeda dengan di Jawa dimana populasi makin habis karena masayarakat biasa menebang pohon aren besar dan mengambil batangnya untuk bahan makanan kolang-kaling saat lebaran.
Penanganan nira saat dipanen juga menentukan produktiffitas. “Teknik penyadapan sangat menentukan jumlah hasilnya. Penyadap senior yang sudah ahli menyadap, bisa menghasilkan nira 30% lebih banyak dari yang muda-muda. Karena itu penyadap yang sudah ahli harus mau berbagi ilmu. Disinilah peran Yayasan Masarang untuk mengirim penyadap terbaik guna memberikan pelatihan ke petani-petani lain,” ungkapnya.
Termasuk pula dalam menangani nira setelah dipetik dari pohonnya. Sebelumnya, masing- masing petani membuat alat untuk pengolahan sendiri, namun ternyata banyak alat yang kurang bersih dan hasilnya kurang terstandar. Kualitas gula yang dihasilkan tidak sempurna karena menjadi lembab dan mudah membusuk atau asam.
“Kami membuatkan berbagai alat agar membuat nira yang dihasilkan tersandar dnegan baik,” katanya.
Diantara langkah penting yang dilakukan Willie, sejak 2007 ia memelopori pendirian pabrik gula aren di Tomohon tersebut yang sampai sekarang beroperasi dengan baik. Pabrik itu merupakan pabrik gula aren pertama di Indonesia (bahkan di dunia) dan dikelola melalui PT Gunung Hijau Masarang. Pabrik pengolahan ini membeli nira dari petani binaan Yayasan Masarang yang jumlahnya berkisar 4500-an petani. Pengolahan nira aren disana meliputi proses pemanasan, penyaringan, pengeringan, dan pengemasan hingga akhirnya menjadi produk gula aren yang siap diekspor.
Sebenarnya, sebelum ada pabrik gula aren PT Gunung Hijau Masarang, para petani juga sudah melakukan pengolahan nira menjadi gula aren. Hanya saja secara kuantitas dan kualitas skalanya masih belum memenuhi standar pasar ekspor. Waktu itu para petani memasak nira dengan kayu bakar. Persoalannya, kayu bakar untuk
memanaskan nira ini menjadi masalah tersendiri karena makin lama warga makin sulit mendapatkan kayu sehingga terkadang justru menebang pohon aren itu sendiri untuk dijadikan kayu bakar.
Yayasan Masarang kemudian melakukan modernisasi dengan mengadakan alat tungku yang lebih higinis. Lalu, untuk bahan bakar, Yayasan Masarang bekerjasama dengan PT Pertamina Geothermal (PGE) di Lahendong, yakni dengan menyalurkan uap panas bumi yang diproduksinya untuk memanaskan nira di pabrik gula aren. Sistem geothermal di Lahendong mampu menyuplai listrik sebesar 80 megawatt. Selain menghasilkan
listrik, sisa energi panas bumi dengan temperatur mencapai 70 derajat celcius itu dialirkan ke semua tungku pemasakan nira di pabrik, sebagai bagian dari program CSR. Pemanfaatan uap panas bumi untuk gula aren tersebut merupakan yang pertama di Indonesia. Dengan cara itu, para petani nira tidak perlu repot lagi mencari kayu bakar untuk mengolah aren.
Pabrik gula aren yang dibangun dengan nilai investasi sekitar Rp 9 miliar itu menghasilkan gula cetak dan gula semut, beroperasi setiap hari. Rata-rata pasokan bahan baku nira dari petani aren di berkisar 30.000 liter per hari. Gula semut produksinya dekspor ke sejumlah negara di Eropa dan Asia, antara lain ke Jepang, Belanda, Jerman dan Swiss. Kapasitasnya sekitar 800 kg-1 ton gula aren bubuk per hari.
Jelas keberadaan pabrik gula dan Yayasan Masarang tersebut memberikan benefit yang besar kepada warga masyarakat di Kelurahan Taratara, Lahendong, Tinaras, Kayahu, dan Kumelembuai, karena pabrik ini mampu membeli nira dengan harga yang baik. Warga menjadi lebih bersemangat untuk menanam aren ketimbang masa-masa sebelumnya.
Willie menceritakan, pohon aren di Tomohon rata-rata bisa menghasilkan 17,2 liter nira per pohon per hari. “Kandungan gulanya dari nira yang dihasilkan berkisar 10% sampai 17%, namun rata-rata di 12%,” kata Willie. Dengan kata lain, bila seseorang punya 6 pohon aren menghasilkan, maka ia akan bisa memiliki 16 kg gula aren per hari. “Kalau harga Rp 3.000 per kg, maka itu sudah lebih dari cukup untuk hidup keluarga. Disana satu orang bisa memanen 15 pohon setiap hari, atau 30 kg gula aren per
hari,” ungkap Willie.
Dalam risetnya, pendapatan per petani aren per hari tak kurang dari Rp 300 ribu. “Bahkan kami ada beberapa penyadap petani aren organik dengan pendapatan diatas Rp 1 juta per ari. Bapak bisa datang kesana untuk chek. Rumah-rumah paling bagus disana adalah petani aren yang sebelumnya berpendapatan rendah,” katanya. Harganya akan semakin baik bila nira yang dijual petani ialah nira organik yang dihasilkan dari pohon aren tanpa pupuk pestisida.
Dengan hasil seperti itu, Willie sangat yakin pendapatan masyarakat Indonesia akan sangat baik. “Kita bisa membuktikan tanpa sawitkita bisa jauh lebih untung, Melalui reboisasi justru mendapat nama baik dan ekonomi yang baik,” kata Willie penuh semangat. Willie melakukan studi, dalam satu hutan campuran (hutan dengan
berbagai jenis pohon di dalamnya), setidaknya bisa ditumbuhi 60 pohon aren produktif per hektar.
Lahan seluas itu bisa dikerjakan oleh 4 orang. “Bandingkan dengan tanaman sawit yang hanya mampu menyediakan 0,11 lapangan kerja per hektar. Angka ini akan menurun di sawit karena sebentar lagi tenaga robotik sudah akan banyak dipakai pada budidaya sawit. Sawit menuntut adanya lahan pertanian yang paling baik, sedangkan pohon aren bisa tumbuh baik di topografi yang kritis dan curam,” kata Willie .
Nilai program reboisasi itu juga bukan semata dari aren yang dihasilkan, namun juga dari hasil pohon-pohon lain yang ditanam karena tanaman aren bisa tumbuh bersama pohon besar lainnya. Ia menyontohkan kayu cempaka dan pohon buah yang juga bisa menghasilkan. Dari penelitiannya, dari 1 hektar lahan reboisasi, bisa membuat 7 orang bekerja selama 6 bulan. Artinya, penciptaan lapangan kerja ialah 3,5 orang per hektar tiap tahun. Belum lagi bila dilihat dari pertanian sawah dibawahnya yang kemudian hidup dengan baik akibat pasokan mata air yang cukup dari hutan diatasnya, maka dari 500 hektar rebobisasi, nilai ekonomis yang muncul di luar aren bisa lebih dari Rp 25 miliar per tahun.
Karena keyakinanyna itu, Willie kini sangat antusias untuk menyebarkan pengetahuannya tentang budidaya gula aren ini ke berbagai tempat di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat dan Sumatera Utara. “Kita sekarang juga sedang membangun pabrik gula aren baru di Sintang, Kalimantan Barat, disana juga ada ribuan pohon aren,” ungkapnya. Selain itu Willie juga terlibat aktif dalam program reboisasi, termasuk di Kulon Progo, Yogyakarta, meski hanya sebagai penasehat. “Kami sudah siap mereplikasi konsep dan temuan kami ke tempat-tempat lain di Indonesia dengan pola kerjasama,” kata Willie seraya menyebutkan dirinya sekarang ditugaskan seorang pengusaha pemilik HPH untuk melakukan reboisasi hutan agar lebih produktif dan pro hutan
lestari.
Meski ekonomi gula aren ini berjalan baik, namun bukan berarti tanpa kendala. Salah satu masalah utamanya, pasokan listrik untuk pemanasan pabrik gula. Menurut Willie, pasokan uap dari pembangkit listrik milik Pertamina Geothermal naik-turun karena itu pula jumlah nira petani yang bisa diolah pun fluktuatif. Kisarannya dari 1.500 petani sampai 5.000 petani. Sebab itu pihaknya memohon agar pasokan uap ke pabrik gula bisa dinaikkan agar semakin banyak petani yang bisa menjual niranya ke pabrik tersebut.
Pembuatan gula aren dengan pemanasan uap panas sifatnya lebih stabil. Panas wajan merata sehingga tidak ada hasil gula yang gosong. Gula yang dihasilkan pun bersih karena tidak terkena debu pembakaran kayu bakar. Bila suplai uap panas bumi dari Pertamina bisa ditingkatkan tentu akan semakin banyak petani aren bisa menyetor hasil ke pabrik itu. Pada gilirannya, akan semakin sedikit pula jumlah nira yang dibuat menjadi minuman keras (tuak) — yang kerap kali menjadi sumber masalah pemicu
konflik.
Ibnu Tadji, entrepreneur bidang jasa yang mengenal baik Willie Smits sangat salut melihat kiprah relasinya yang sangat getol memberdayakan lingkungan melalui pemberdayaan petani aren. “Langkah beliau membuat kita-kita malu, karena banyak diantara kita yang belum bisa melakukan hal positif seperti beliau. Beliau memberdayakan masayarakat yang dampaknya bagus secara sosial, lingkungan hidup maupun ekonomi,” tutur Ibnu menunjukkan.