Akuisisi merupakan strategi bisnis yang sering digunakan oleh perusahaan untuk mempercepat pertumbuhan, memperluas pasar, atau meningkatkan efisiensi operasional. Namun, tidak semua rencana akuisisi berakhir dengan kesepakatan yang sukses. Banyak transaksi yang gagal di tengah jalan, baik sebelum penandatanganan perjanjian (signing) maupun setelah due diligence sebelum penutupan transaksi (closing). Sebagai penasihat keuangan senior, saya telah menyaksikan berbagai faktor yang menyebabkan gagalnya sebuah kesepakatan akuisisi. Artikel ini akan membahas beberapa kesalahan utama yang harus dihindari agar deal dapat berhasil diselesaikan.
- Perbedaan Ekspektasi Nilai Perusahaan
Salah satu hambatan terbesar dalam negosiasi akuisisi adalah ketidaksepakatan mengenai valuasi perusahaan target. Pihak penjual sering kali memiliki ekspektasi harga yang lebih tinggi berdasarkan potensi pertumbuhan di masa depan, sementara pihak pembeli ingin membayar harga yang lebih realistis berdasarkan fundamental bisnis yang ada saat ini.
Contoh Kasus: Akuisisi antara Xerox dan HP pada tahun 2019 gagal karena HP merasa bahwa tawaran senilai $35 miliar dari Xerox terlalu rendah, sementara Xerox menilai bahwa HP tidak menghargai sinergi potensial yang dapat dihasilkan dari merger tersebut. Ketidaksepakatan ini akhirnya menyebabkan batalnya transaksi.
- Due Diligence yang Tidak Memadai atau Terlalu Ketat
Due diligence adalah proses investigasi mendalam terhadap aspek keuangan, hukum, operasional, dan strategis dari perusahaan target. Jika proses ini tidak dilakukan secara menyeluruh, pembeli bisa melewatkan risiko-risiko tersembunyi yang dapat menjadi masalah di kemudian hari. Sebaliknya, due diligence yang terlalu ketat atau lama dapat menyebabkan frustasi bagi pihak penjual dan membuat mereka menarik diri dari negosiasi.
Contoh Kasus: Akuisisi TikTok oleh Microsoft pada tahun 2020 gagal karena proses due diligence yang kompleks, termasuk kekhawatiran tentang keamanan data dan intervensi regulasi yang membuat transaksi sulit diselesaikan dalam waktu yang ditentukan.
- Intervensi Regulasi yang Menghambat Kesepakatan
Regulasi antimonopoli dan aturan perlindungan konsumen dapat menjadi penghalang utama dalam transaksi akuisisi. Jika otoritas pengawas melihat bahwa kesepakatan dapat menciptakan monopoli atau merugikan persaingan, mereka dapat menolak transaksi atau menuntut perubahan signifikan dalam struktur kesepakatan.
Contoh Kasus: Rencana akuisisi Qualcomm oleh Broadcom pada 2018 gagal setelah pemerintah AS, melalui Komite Investasi Asing di Amerika Serikat (CFIUS), memblokir transaksi dengan alasan keamanan nasional. Intervensi regulasi ini membuat kesepakatan batal meskipun ada kesepakatan awal di antara perusahaan.
- Ketidaksesuaian Budaya dan Manajemen
Kesepakatan akuisisi sering kali gagal karena adanya ketidaksesuaian budaya antara perusahaan pembeli dan target. Perbedaan cara kerja, visi perusahaan, dan nilai-nilai organisasi dapat menyebabkan kegagalan dalam mencapai kesepakatan atau kesulitan dalam integrasi pasca-akuisisi.
Contoh Kasus: Merger antara Daimler-Benz dan Chrysler pada 1998 adalah contoh klasik di mana perbedaan budaya antara perusahaan Jerman yang kaku dan perusahaan Amerika yang lebih fleksibel menyebabkan ketegangan internal. Akibatnya, Daimler akhirnya menjual Chrysler pada 2007 dengan kerugian besar.
- Pendanaan yang Tidak Memadai atau Struktur Pembayaran yang Tidak Menarik
Dalam banyak kasus, transaksi akuisisi gagal karena pihak pembeli tidak memiliki pendanaan yang cukup atau struktur pembayaran yang ditawarkan tidak menarik bagi pihak penjual. Jika akuisisi melibatkan utang besar atau bergantung pada saham perusahaan pembeli yang volatil, pihak penjual mungkin enggan melanjutkan kesepakatan.
Contoh Kasus: Pada 2022, Elon Musk hampir membatalkan akuisisi Twitter karena masalah pendanaan setelah harga saham Tesla (yang dijadikan jaminan pembiayaan) mengalami penurunan drastis. Meskipun akhirnya transaksi tetap berjalan, hal ini menunjukkan betapa pentingnya kepastian pendanaan dalam kesepakatan akuisisi.
- Ketidaksepakatan dalam Struktur Manajemen Pasca-Akuisisi
Selain harga, salah satu aspek yang sering menjadi batu sandungan dalam negosiasi adalah bagaimana struktur kepemimpinan dan manajemen akan berubah setelah transaksi selesai. Jika tidak ada kejelasan atau jika salah satu pihak merasa dirugikan dalam restrukturisasi, maka kesepakatan bisa batal.
Contoh Kasus: Rencana merger antara Renault dan Fiat Chrysler pada 2019 gagal karena pemerintah Prancis, yang merupakan pemegang saham utama Renault, menuntut jaminan bahwa posisi eksekutif tertentu akan tetap berada di bawah kendali Renault. Ketidaksepakatan ini menyebabkan batalnya merger.
- Kurangnya Strategi Komunikasi yang Efektif
Komunikasi yang buruk selama proses akuisisi dapat menimbulkan ketidakpercayaan antara pihak yang terlibat. Karyawan, pelanggan, dan investor mungkin merasa tidak yakin dengan arah perusahaan setelah transaksi, yang dapat menyebabkan ketidakstabilan internal dan membatalkan kesepakatan.
Contoh Kasus: Rencana akuisisi Nestlé terhadap Hershey pada tahun 2002 gagal setelah dewan direksi Hershey menerima tekanan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal dan yayasan pemegang saham, yang tidak diberi informasi yang jelas tentang dampak akuisisi tersebut.
- Ketidakpastian Ekonomi dan Pasar yang Berubah
Faktor eksternal seperti resesi ekonomi, perubahan suku bunga, atau ketidakpastian geopolitik dapat mempengaruhi kelangsungan suatu kesepakatan. Jika kondisi pasar berubah drastis setelah negosiasi dimulai, pihak pembeli atau penjual mungkin memilih untuk mundur.
Contoh Kasus: Banyak transaksi akuisisi yang direncanakan sebelum pandemi COVID-19 akhirnya batal karena kondisi ekonomi global yang memburuk secara tiba-tiba. Salah satu contohnya adalah rencana akuisisi Victoria’s Secret oleh Sycamore Partners yang gagal akibat penutupan ritel dan penurunan valuasi industri fesyen.