Menyingkap 10 Faktor Penghancur Perusahaan Keluarga di Generasi Ketiga yang Jarang Diketahui

bintangbisnis

Perusahaan keluarga merupakan pilar ekonomi yang signifikan di seluruh dunia. Dari usaha kecil yang berkembang menjadi perusahaan raksasa, model bisnis ini telah menghasilkan kekayaan dan reputasi yang besar bagi keluarga-keluarga yang mendirikannya. Namun, ada satu fenomena yang kerap terjadi: perusahaan keluarga cenderung tidak mampu bertahan melewati generasi ketiga. Fenomena ini sering kali dikenal sebagai “Kutukan Generasi Ketiga.” Berbagai studi menunjukkan bahwa hanya sekitar 10-15% perusahaan keluarga yang mampu bertahan dan berkembang setelah diwariskan ke generasi ketiga. Lalu, apa yang menyebabkan perusahaan-perusahaan ini hancur? Berikut adalah 10 penyebab utama yang bisa memicu kehancuran perusahaan keluarga pada generasi ketiga.

1. Minimnya Keterlibatan, Kompetensi dan Dedikasi Generasi Penerus

Generasi pertama biasanya merupakan generasi yang mendirikan dan membangun perusahaan dari nol dengan penuh dedikasi dan kerja keras. Generasi kedua cenderung mengelola dan mengembangkan perusahaan lebih lanjut dengan tetap menghargai perjuangan pendahulunya. Namun, pada generasi ketiga, sering kali terjadi penurunan tingkat keterlibatan dan dedikasi terhadap bisnis keluarga.

Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti generasi ketiga yang tidak melihat bisnis tersebut sebagai passion atau minat mereka, atau adanya keinginan untuk mengejar karier di bidang lain. Mereka mungkin juga tumbuh dengan kenyamanan finansial yang disediakan oleh perusahaan keluarga, sehingga tidak merasakan urgensi atau tanggung jawab untuk terlibat aktif dalam bisnis. Kurangnya rasa memiliki dan kepedulian ini dapat menyebabkan manajemen yang lemah, keputusan bisnis yang tidak tepat, serta perlahan-lahan membuat perusahaan kehilangan arah dan runtuh.

2. Perpecahan Internal Akibat Konflik Keluarga

Konflik antaranggota keluarga sering kali menjadi duri dalam daging bagi perusahaan keluarga. Generasi ketiga, yang terdiri dari cucu-cucu pendiri, biasanya memiliki lebih banyak anggota keluarga yang terlibat. Hal ini berpotensi menciptakan perpecahan internal yang lebih rumit dibandingkan generasi sebelumnya.

Konflik dapat muncul dari berbagai hal, seperti perebutan kekuasaan, perbedaan visi dan misi, kecemburuan antaranggota keluarga, atau ketidakpuasan terhadap distribusi keuntungan. Konflik yang tidak dikelola dengan baik ini dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang tidak efektif, mengganggu operasional bisnis, dan bahkan menyebabkan pembubaran perusahaan.

3. Tidak Adanya Perencanaan Suksesi yang Jelas

Perencanaan suksesi adalah salah satu kunci keberhasilan jangka panjang perusahaan keluarga. Tanpa perencanaan suksesi yang jelas, perusahaan akan kesulitan menemukan pengganti yang kompeten untuk mengelola bisnis saat generasi sebelumnya pensiun atau meninggal dunia. Hal ini sering kali menyebabkan kekosongan kepemimpinan yang mengakibatkan ketidakstabilan dan kerugian bagi perusahaan.

Generasi ketiga yang diharapkan mengambil alih perusahaan mungkin tidak dipersiapkan secara baik dari segi pengalaman dan pengetahuan bisnis, atau mungkin tidak memiliki minat sama sekali. Ketidaksiapan ini membuat mereka kesulitan memimpin perusahaan, sehingga mengakibatkan kinerja yang buruk dan lambat laun menghancurkan bisnis.

4. Fokus pada Profit, Mengabaikan Inovasi

Perusahaan keluarga yang telah mencapai kesuksesan besar cenderung berfokus pada mempertahankan profitabilitas yang telah dicapai dan cenderung enggan mengambil risiko baru. Akibatnya, mereka mungkin tidak lagi fokus pada inovasi dan pengembangan bisnis yang relevan dengan perubahan pasar.

Generasi ketiga sering kali hanya melihat perusahaan sebagai mesin uang yang stabil tanpa memperhitungkan ancaman dari kompetitor atau perubahan tren konsumen. Ketika dunia berubah, tanpa adanya inovasi, produk atau layanan yang mereka tawarkan bisa menjadi usang dan perusahaan tidak lagi kompetitif. Ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan perubahan ini bisa menyebabkan runtuhnya perusahaan.

5. Pembagian Kepemilikan yang Terlalu Terfragmentasi

Seiring berjalannya waktu, perusahaan keluarga sering kali menghadapi masalah pembagian kepemilikan yang semakin terpecah-pecah di antara banyak anggota keluarga. Ketika generasi ketiga mengambil alih, kepemilikan saham mungkin telah dibagi ke sejumlah besar cucu atau keponakan.

Pembagian kepemilikan yang terfragmentasi ini dapat menyebabkan kesulitan dalam pengambilan keputusan, karena setiap pemilik memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda-beda. Keputusan bisnis menjadi terhambat dan hal ini dapat membuat perusahaan sulit bergerak maju. Pembagian keuntungan juga bisa menjadi masalah pelik yang menimbulkan konflik, mengakibatkan perselisihan yang berujung pada kehancuran perusahaan.

6. Tidak Adanya Kode Etik dan Struktur Tata Kelola yang Kuat

Struktur tata kelola perusahaan (corporate governance) yang lemah merupakan salah satu faktor utama yang memicu kehancuran perusahaan keluarga di generasi ketiga. Banyak perusahaan keluarga yang tidak memiliki kode etik atau aturan internal yang jelas, sehingga anggota keluarga yang terlibat dalam bisnis merasa bebas melakukan apa saja, tanpa memperhatikan dampak terhadap perusahaan.

Generasi ketiga mungkin mengambil keputusan tanpa mematuhi tata kelola yang baik atau mengabaikan peran dewan direksi. Keputusan-keputusan yang tidak terarah ini bisa berujung pada ketidakstabilan finansial, reputasi yang memburuk, atau kehilangan kepercayaan dari para pemangku kepentingan (stakeholders), termasuk karyawan dan mitra bisnis.

7. Faktor Eksternal: Perubahan Pasar dan Ekonomi

Faktor eksternal seperti perubahan kondisi pasar dan ekonomi juga bisa berpengaruh besar pada kelangsungan perusahaan keluarga. Pada generasi ketiga, perusahaan mungkin telah mapan di pasar yang stabil, namun tidak siap menghadapi perubahan signifikan seperti krisis ekonomi global, perubahan regulasi pemerintah, atau disrupsi teknologi.

Generasi ketiga yang tidak sigap mengantisipasi perubahan eksternal ini sering kali tertinggal dari kompetitor yang lebih lincah dalam merespons kondisi pasar yang dinamis. Hal ini dapat menyebabkan penurunan pendapatan, kehilangan pangsa pasar, dan pada akhirnya, mengarah pada kebangkrutan perusahaan.

8. Ketiadaan Visi Jangka Panjang

Ketika generasi pertama mendirikan perusahaan, mereka sering kali memiliki visi yang jelas tentang arah dan tujuan perusahaan. Generasi kedua kemudian mengembangkan visi ini lebih lanjut. Namun, pada generasi ketiga, visi jangka panjang tersebut sering kali kabur atau bahkan tidak ada sama sekali.

Generasi ketiga mungkin tidak lagi memahami visi awal perusahaan atau tidak memiliki komitmen yang sama terhadap tujuan jangka panjang yang telah ditetapkan oleh pendiri. Ketiadaan visi ini dapat membuat perusahaan kehilangan arah dan tujuan, sehingga tidak memiliki strategi yang kuat untuk bertahan dalam jangka panjang.

9. Kurangnya Pengelolaan Keuangan yang Tepat

Manajemen keuangan yang buruk juga merupakan faktor yang sering menyebabkan kehancuran perusahaan keluarga pada generasi ketiga. Tanpa pengelolaan keuangan yang tepat, perusahaan bisa mengalami krisis likuiditas, beban utang yang tinggi, atau pengeluaran yang tidak terkendali.

Generasi ketiga mungkin tidak memiliki keahlian finansial yang cukup untuk mengelola arus kas dan investasi perusahaan. Mereka mungkin juga cenderung mengalokasikan dana untuk keperluan pribadi atau proyek yang tidak relevan dengan pertumbuhan perusahaan. Hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan keuangan yang berujung pada kerugian besar.

10. Tidak Memanfaatkan Tenaga Profesional di Luar Keluarga

Perusahaan keluarga sering kali cenderung mempekerjakan anggota keluarga untuk posisi-posisi kunci, meskipun mereka mungkin tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Pada generasi ketiga, hal ini bisa menjadi masalah besar, karena mereka mungkin kurang berpengalaman atau tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan bisnis modern.

Kurangnya tenaga profesional dari luar keluarga yang kompeten dan berpengalaman dapat membuat perusahaan kehilangan kesempatan untuk berkembang. Dengan mempekerjakan tenaga profesional di luar keluarga, perusahaan bisa mendapatkan perspektif baru, keterampilan yang lebih baik, serta pendekatan manajemen yang lebih objektif dan berimbang.

Untuk mencegah kehancuran, perusahaan keluarga perlu membangun sistem tata kelola yang kuat, merencanakan suksesi dengan baik, serta mempertahankan visi yang jelas. Hanya dengan begitu, generasi ketiga dapat melanjutkan warisan perusahaan dan memastikan kelangsungan bisnis keluarga hingga generasi berikutnya.

Share This Article