“Kesuksesan bukan tentang seberapa tinggi Anda mendaki, tetapi seberapa baik Anda bangkit kembali setelah jatuh.” – Tom Peters, pakar manajemen terkemuka.
Sedikit kisah yang menggambarkan kutipan ini sejelas perjalanan Kihachiro Onitsuka, visioner di balik merek sepatu ikonik Jepang, Onitsuka Tiger. Apa yang dimulai sebagai mimpi sederhana untuk menginspirasi pemuda Jepang setelah kehancuran Perang Dunia II, berkembang menjadi fenomena global, melintasi generasi dan mendefinisikan ulang dunia pakaian olahraga. Namun, perjalanan Onitsuka jauh dari mudah; itu adalah kisah kegigihan, inovasi, dan determinasi yang tak kenal lelah.
Awal yang Sederhana
Setelah Perang Dunia II, Jepang adalah negara yang berjuang untuk membangun kembali, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara emosional. Kihachiro Onitsuka, seorang mantan perwira militer, mengamati masalah besar di kalangan pemuda Jepang—kurangnya arah dan aktivitas fisik. Terinspirasi untuk membuat perubahan, ia memutuskan untuk menggabungkan ambisi kewirausahaannya dengan misi sosial: meningkatkan kesehatan fisik dan semangat pemuda Jepang melalui olahraga.
Pada tahun 1949, dari apartemennya yang kecil di Kobe, Onitsuka mendirikan Onitsuka Co., Ltd., yang kemudian dikenal sebagai Onitsuka Tiger. Tanpa pengalaman sebelumnya dalam pembuatan sepatu, ia memulai dari nol, mengandalkan trial and error. Desain awalnya masih kasar dan sering gagal. Namun, semangat dan komitmennya membuatnya terus maju. Terobosan pertamanya datang ketika ia mengamati seekor gurita yang menempel pada piring saat makan malam, yang memunculkan ide untuk sol sepatu dengan cangkir hisap, memberikan daya cengkeram yang lebih baik bagi pemain basket. Ini menjadi langkah pertama merek tersebut menuju inovasi.
Mengatasi Tantangan Awal
Perjalanan menuju kesuksesan penuh dengan tantangan. Ekonomi Jepang pasca-perang menyulitkan untuk mendapatkan bahan dan sumber daya. Onitsuka sering harus menggunakan kulit berkualitas rendah dan menghadapi tekanan keuangan. Prototipe awal sepatunya penuh dengan kekurangan, menyebabkan banyak penolakan dari atlet dan pengecer. Namun, Onitsuka tidak menyerah. Ia secara cermat mengumpulkan masukan dari atlet dan memperbaiki desainnya, menunjukkan pemahaman awal tentang pentingnya umpan balik pelanggan dalam pengembangan produk.
Usahanya membuahkan hasil pada tahun 1951, ketika sepatu basket mereknya mulai dikenal di kalangan pemain lokal. Ini menjadi titik balik bagi perusahaan kecilnya. Pendekatan langsung Onitsuka—mengunjungi atlet secara pribadi, menghadiri pertandingan, dan bahkan menyesuaikan sepatu di tempat—membuatnya dikenal sebagai pemimpin yang sangat berkomitmen pada pekerjaannya.
Terobosan Besar: Kejayaan Olimpiade
Momentum mulai terbentuk pada pertengahan 1950-an ketika Jepang bersiap menjadi tuan rumah Olimpiade Tokyo 1964. Onitsuka melihat ini sebagai peluang untuk memamerkan mereknya di panggung dunia. Ia mulai mengembangkan sepatu lari ringan khusus untuk atlet Jepang. Salah satu inovasi andalannya adalah “Magic Runner,” yang menawarkan bantalan dan cengkeraman yang lebih baik.
Usahanya mencapai puncaknya selama Olimpiade Tokyo ketika pelari maraton Jepang, Toru Terasawa, memakai sepatu Onitsuka Tiger. Meskipun Terasawa tidak menang, visibilitas merek tersebut meroket, mendapatkan kredibilitas dan kekaguman baik di dalam maupun luar negeri.
Olimpiade 1964 menjadi batu loncatan bagi kebangkitan Onitsuka Tiger di dunia internasional. Ini juga menandai awal filosofi panjang Onitsuka: menggabungkan keterampilan kerajinan Jepang dengan inovasi mutakhir untuk menciptakan produk yang tidak hanya unggul dalam performa tetapi juga tahan lama.
Menghadapi Masa Sulit
Meskipun sukses, Onitsuka Tiger menghadapi persaingan ketat dari merek-merek global yang mulai muncul, seperti Adidas dan Puma. Selain itu, perusahaan juga menghadapi perjuangan internal, termasuk perbedaan pendapat tentang strategi ekspansi. Onitsuka sendiri berjuang untuk mempertahankan kualitas sambil meningkatkan produksi guna memenuhi permintaan yang semakin besar.
Periode yang sangat menantang muncul pada akhir 1960-an ketika salah satu kolaborator utama Onitsuka, Phil Knight—seorang distributor Amerika—berpisah dari perusahaan untuk mendirikan mereknya sendiri, Nike. Ini merupakan pukulan besar, karena Knight memiliki peran penting dalam memperkenalkan Onitsuka Tiger ke pasar Amerika Serikat. Perpisahan ini menyebabkan penurunan sementara pengaruh merek tersebut di luar negeri.
Tidak menyerah, Onitsuka menggandakan fokusnya pada inovasi. Ia bekerja sama dengan atlet untuk mengembangkan model baru yang memenuhi kebutuhan khusus mereka, memastikan merek tetap mempertahankan reputasinya dalam performa tinggi. Ketangguhan dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan kemunduran menjadi kunci pertumbuhan perusahaan.
Kebangkitan dan Kesuksesan Global
Titik balik sebenarnya bagi Onitsuka Tiger terjadi pada tahun 2000-an. Setelah beberapa dekade memperkuat kehadirannya di industri pakaian olahraga, merek tersebut mengalami kebangkitan luar biasa ketika tren fesyen retro melanda dunia. Konsumen muda mulai tertarik pada desain vintage, dan model klasik Onitsuka Tiger—seperti Mexico 66—menjadi sangat diminati.
Kebangkitan ini juga didorong oleh kolaborasi strategis dengan desainer dan influencer yang merayakan warisan merek tersebut. Selebriti seperti Bruce Lee dan Uma Thurman, yang mengenakan sepatu Onitsuka Tiger dalam film Kill Bill, semakin mengukuhkan statusnya sebagai ikon budaya.
Secara bersamaan, perusahaan mengadopsi strategi branding ganda dengan meluncurkan ASICS sebagai label yang fokus pada performa, sambil menjaga Onitsuka Tiger sebagai lini warisannya. Pendekatan ini memungkinkan perusahaan untuk menjangkau baik atlet maupun konsumen yang peduli mode, memperluas jangkauannya ke audiens global.
Hari ini, Onitsuka Tiger ini telah tumbuh menjadi merek global yang dikenal karena perpaduan kerajinan Jepang dan desain inovatif. Perjalanan Kihachiro Onitsuka mengingatkan kita bahwa kesuksesan sejati bukan hanya tentang mencapai tonggak sejarah tetapi juga tentang bagaimana menghadapi tantangan di sepanjang jalan.