“Perubahan bukan hanya tentang adaptasi teknologi, tetapi juga tentang bagaimana manusia memaknai ruang dan pengalaman.” – Alvin Toffler
Bayangkan sebuah mal megah di pusat kota Jakarta, dulunya hiruk-pikuk dengan suara langkah kaki, obrolan ramai, dan tawa anak-anak di taman bermain. Kini, lorong-lorong itu sunyi, hanya sesekali dilewati oleh beberapa pengunjung. Lampu kios yang dulu menyala terang mulai berganti dengan tanda “Dijual” atau “Disewakan”. Fenomena ini bukanlah cerita satu atau dua mal saja, tetapi potret suram dari banyak pusat perbelanjaan di Jabodetabek yang terhimpit antara maraknya e-commerce dan daya beli masyarakat yang merosot.
Munculnya E-Commerce & Perubahan Gaya Belanja
Tidak dapat disangkal, salah satu pelaku utama di balik meredupnya mal-mal ini adalah e-commerce. Dengan hanya beberapa klik di ponsel, masyarakat dapat membeli segala kebutuhan, mulai dari pakaian hingga kebutuhan rumah tangga, tanpa perlu keluar rumah. Faktor kenyamanan ini diperkuat oleh promo diskon besar-besaran, pengiriman gratis, dan sistem pembayaran yang mudah.
Platform seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada menjadi wajah baru konsumsi masyarakat urban. Dengan kemajuan logistik dan jaringan pembayaran digital, barang yang dibeli online kini bisa tiba hanya dalam hitungan jam. Ini tentu menjadi tantangan besar bagi mal-mal, terutama yang berkonsep trade center, yang dahulu menjadi tempat favorit untuk belanja grosir atau kebutuhan spesifik.
Mal seperti ITC Mangga Dua, Depok Town Center, ITC Kuningan, yang dulu dikenal sebagai pusat perdagangan ramai, kini menghadapi kenyataan pahit: kios-kios tutup, pedagang gulung tikar, dan pengunjung berkurang drastis.
Pukulan Krisis Ekonomi dan Daya Beli
Namun, e-commerce bukanlah satu-satunya penyebab. Krisis ekonomi, yang diperparah oleh pandemi dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, membuat daya beli masyarakat turun signifikan. Banyak keluarga kini lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang, mengutamakan kebutuhan dasar dibandingkan berbelanja barang konsumsi.
Fenomena ini juga terlihat dari perubahan pola pengeluaran masyarakat. Berdasarkan laporan Bank Indonesia, konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama ekonomi Indonesia mulai melemah dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini berdampak langsung pada mal-mal, yang sebagian besar mengandalkan konsumen kelas menengah.
Konsep Trade Center vs. Lifestyle Mall
Di tengah kesuraman ini, menarik untuk melihat bahwa tidak semua mal mengalami nasib serupa. Mal-mal yang berkonsep lifestyle center, seperti Pondok Indah Mall, Kota Kasablanka, Gandaria City, CITOS, Grand Indonesia, Senayan City, dan PIK Avenue, justru masih mampu menarik pengunjung. Apa rahasianya?
Kuncinya terletak pada pergeseran fungsi mal. Jika dulu mal dianggap sebagai tempat untuk belanja, kini ia lebih berperan sebagai ruang untuk pengalaman. Mal seperti Grand Indonesia menawarkan berbagai restoran dan kafe dengan konsep unik, bioskop mewah, hingga ruang seni dan pameran.
Sementara itu, trade center yang hanya berfokus pada perdagangan grosir dan produk murah tidak lagi relevan di era digital ini. Konsumen yang mencari harga terbaik lebih memilih berbelanja online, sedangkan mereka yang mencari pengalaman menghabiskan waktu lebih memilih mal yang menyediakan hiburan dan aktivitas sosial.
Upaya Beradaptasi
Meskipun situasi ini terlihat suram, tidak sedikit mal yang mencoba bertahan dengan melakukan transformasi. Banyak yang mulai mengubah tata ruang mereka untuk lebih mendukung konsep gaya hidup, seperti menambahkan restoran, co-working space, dan ruang terbuka hijau.
Mal Kelapa Gading, misalnya, melakukan renovasi besar-besaran untuk meningkatkan pengalaman pengunjung, seperti menghadirkan festival kuliner dan acara komunitas. Sementara itu, mal seperti AEON Mall BSD City fokus pada pasar keluarga muda dengan menyediakan arena bermain anak dan ruang hiburan keluarga.
Namun, upaya ini membutuhkan investasi besar, yang tidak semua mal mampu lakukan. Banyak mal yang terjebak dalam dilema: bertahan dengan model lama atau mengambil risiko untuk berubah.
Haruskah Kita Meratapi Mal yang Sepi?
Mungkin, jawaban terbaik adalah tidak. Sepinya mal-mal ini mencerminkan perubahan alami dalam dinamika sosial dan ekonomi. Sama seperti pasar tradisional yang harus beradaptasi dengan munculnya supermarket, mal-mal juga harus menemukan cara baru untuk tetap relevan.
Di satu sisi, konsumen mendapatkan lebih banyak pilihan dan kenyamanan dengan munculnya e-commerce. Namun di sisi lain, mal masih memiliki keunggulan dalam menciptakan pengalaman sosial yang tidak bisa ditawarkan oleh belanja daring.
Harapan di Tengah Perubahan
Sepinya mal-mal di Jabodetabek bukanlah tanda akhir dari keberadaan mereka, tetapi panggilan untuk berinovasi. Di tengah perubahan ini, mereka yang mampu membaca kebutuhan pasar dan beradaptasi dengan cepat akan bertahan.
Sebagaimana dikatakan oleh pakar bisnis Peter Drucker, “The best way to predict the future is to create it.” Bagi mal-mal di Jabodetabek, masa depan tidak terletak pada mempertahankan model lama, tetapi pada keberanian untuk menciptakan model baru yang relevan dengan zaman.
Pada akhirnya, mal tidak akan mati, tetapi mungkin wajahnya akan berubah selamanya.