Tren pekerja paruh waktu di Indonesia mengalami sedikit perubahan pada awal tahun 2025. Berdasarkan data Februari 2025, sebanyak 25,81 persen dari total pekerja di Indonesia termasuk dalam kategori pekerja paruh waktu. Artinya, dari setiap 100 orang yang bekerja, sekitar 26 di antaranya hanya bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Mereka tidak sedang mencari pekerjaan tambahan dan juga tidak bersedia menerima pekerjaan lain.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, proporsi pekerja paruh waktu turun tipis sebesar 0,07 persen poin. Sedangkan bila dibandingkan Februari 2023, penurunannya lebih signifikan, yakni sebesar 0,80 persen poin. Hal ini menunjukkan adanya tren perbaikan dalam penyerapan tenaga kerja penuh waktu. Meski demikian, proporsi pekerja paruh waktu masih tergolong tinggi dalam struktur ketenagakerjaan nasional.
Salah satu fakta menarik adalah dominasi perempuan dalam kategori pekerja paruh waktu. Pada Februari 2025, sebanyak 36,66 persen pekerja perempuan bekerja paruh waktu, jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang hanya 18,55 persen. Hal ini bisa mencerminkan adanya hambatan struktural bagi perempuan dalam mengakses pekerjaan penuh waktu. Faktor seperti tanggung jawab domestik atau kurangnya fleksibilitas tempat kerja bisa menjadi penyebab.
Tren perubahan juga berbeda antara laki-laki dan perempuan. Dibandingkan Februari 2024, proporsi pekerja paruh waktu laki-laki mengalami penurunan sebesar 0,41 persen poin. Sementara itu, pekerja perempuan justru mengalami kenaikan sebesar 0,19 persen poin. Perbedaan arah tren ini menandakan bahwa perempuan semakin terdorong ke pekerjaan tidak penuh waktu.
Pekerja paruh waktu seringkali menghadapi keterbatasan dalam hal pendapatan dan jaminan sosial. Dalam banyak kasus, pekerjaan paruh waktu tidak disertai tunjangan seperti asuransi atau hak cuti. Ini bisa memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi, terutama bagi perempuan yang lebih banyak terdorong ke sektor ini. Oleh karena itu, perhatian terhadap kondisi kerja dan perlindungan sosial sangat penting.
Pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang mendukung fleksibilitas kerja tanpa mengorbankan hak pekerja. Skema kerja fleksibel yang adil dan terlindungi dapat menjadi solusi, khususnya bagi perempuan. Selain itu, penting untuk memperluas pelatihan keterampilan yang relevan agar pekerja paruh waktu dapat meningkatkan daya saingnya. Transformasi pasar kerja pascapandemi juga harus inklusif terhadap kelompok pekerja ini.
Dengan terus dipantau dan ditangani secara tepat, pekerja paruh waktu bisa menjadi bagian dari solusi fleksibilitas kerja masa depan. Namun, tanpa perlindungan dan dukungan memadai, mereka berisiko terjebak dalam pekerjaan rentan. Oleh karena itu, kebijakan ketenagakerjaan harus adaptif dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Menuju 2045, Indonesia butuh pasar kerja yang tidak hanya produktif, tapi juga inklusif dan berkelanjutan.