Hanya 10 Persen Pekerja Indonesia Bergelar Sarjana

bintangbisnis

Kualitas pendidikan tenaga kerja masih menjadi tantangan utama di pasar kerja Indonesia. Data Februari 2025 menunjukkan bahwa mayoritas pekerja Indonesia berpendidikan rendah. Sebanyak 35,89 persen dari total penduduk bekerja hanya menamatkan pendidikan hingga SD atau lebih rendah. Angka ini menandakan perlunya akselerasi peningkatan kompetensi tenaga kerja.

Sementara itu, jumlah pekerja dengan latar belakang pendidikan tinggi masih sangat terbatas. Hanya 12,83 persen dari total pekerja yang merupakan lulusan Diploma I/II/III hingga S1, S2, dan S3. Kalau dirinci yang lulusan S1,S2, dan S3 kalau ditotal hanya 10,4% dari total populasi angkatan kerja Jadi, secara keseluruhan proporsinya masih kecil dibanding total angkatan kerja.

Distribusi pendidikan tenaga kerja pada Februari 2025 belum menunjukkan perubahan signifikan dari dua tahun sebelumnya. Pola distribusi masih didominasi oleh lulusan pendidikan dasar dan menengah. Sementara lulusan perguruan tinggi masih menjadi kelompok minoritas dalam struktur ketenagakerjaan. Ini menjadi cerminan rendahnya keterhubungan antara pendidikan tinggi dan penyerapan kerja.

Dibandingkan Februari 2024, terdapat penurunan jumlah pekerja dengan pendidikan SD ke bawah dan lulusan SMP. Penurunannya masing-masing sebesar 0,65 persen poin dan 0,34 persen poin. Di sisi lain, pekerja lulusan SMA, SMK, serta perguruan tinggi mengalami peningkatan. Kenaikan tertinggi terjadi pada lulusan SMK sebesar 0,75 persen poin.

Peningkatan jumlah pekerja lulusan SMK menunjukkan harapan terhadap vokasi sebagai solusi pasar kerja. Namun tantangan masih besar karena lulusan perguruan tinggi belum terserap secara optimal. Hal ini bisa disebabkan oleh ketidaksesuaian antara kurikulum pendidikan tinggi dan kebutuhan industri. Juga karena masih terbatasnya lapangan kerja sektor formal dengan kualifikasi tinggi.

Kondisi ini menegaskan bahwa peningkatan akses pendidikan belum cukup tanpa dibarengi relevansi dengan dunia kerja. Lulusan perguruan tinggi perlu dibekali keahlian yang aplikatif dan kompetitif di pasar global. Pendidikan harus diarahkan pada penguasaan teknologi dan soft skill yang dibutuhkan industri. Tanpa itu, angka pengangguran terdidik bisa terus meningkat.

Dunia industri dan pendidikan tinggi perlu membangun sinergi lebih erat untuk mempercepat transformasi SDM. Pemerintah dapat mendorong skema magang, sertifikasi profesi, serta insentif bagi perusahaan yang menyerap lulusan sarjana. Selain itu, perluasan sektor ekonomi berbasis inovasi juga menjadi peluang penyerapan lulusan pendidikan tinggi. Tanpa langkah strategis, bonus demografi justru bisa menjadi beban.

Dengan hanya sekitar 10 persen pekerja Indonesia yang bergelar sarjana, kualitas SDM menjadi isu sentral menuju Indonesia Emas 2045. Pendidikan tinggi yang inklusif, terjangkau, dan relevan sangat dibutuhkan. Arah pembangunan ke depan harus menempatkan peningkatan kualitas manusia sebagai prioritas utama. Karena hanya dengan SDM unggul, Indonesia bisa bersaing dan berdaulat di panggung global.

Share This Article