Industri penerbangan kembali diguncang kabar kurang sedap. Kali ini, raksasa pembuat pesawat asal Amerika Serikat, Boeing, mengumumkan langkah drastis berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi 496 karyawannya, Selasa waktu setempat. Langkah ini diklaim sebagai bagian dari strategi perampingan perusahaan untuk menghadapi tekanan keuangan yang terus meningkat.
Dalam pernyataan resmi kepada Reuters, Boeing menjelaskan bahwa kebijakan ini diperlukan untuk menyelaraskan tenaga kerja dengan realitas keuangan yang ada. “Perusahaan sedang menyesuaikan tingkat tenaga kerja agar selaras dengan realitas keuangan dan serangkaian prioritas yang lebih terfokus,” ungkap perwakilan Boeing, Rabu (11/12/2024).
Namun, ini bukan akhir dari pemangkasan tenaga kerja. Boeing merencanakan total PHK hingga 17.000 posisi, atau sekitar 10% dari total tenaga kerjanya secara global. Kebijakan tersebut mencakup program perumahan karyawan hingga penghentian rekrutmen untuk posisi kosong.
Negara Bagian Washington Jadi Pusat Dampak
Negara bagian Washington menjadi wilayah yang paling terpukul oleh kebijakan ini. Boeing memiliki sekitar 60.000 karyawan di Pabrik Paine Field Everett, yang dikenal sebagai salah satu pusat produksi utama mereka. Selain Washington, pemangkasan juga memengaruhi karyawan di Oregon, South Carolina, dan Missouri.
Langkah PHK ini datang di tengah aksi mogok massal dari 33.000 karyawan Boeing yang menuntut kenaikan upah dan insentif lebih besar. Mogok kerja ini terjadi di tengah melonjaknya permintaan pesawat, membuat situasi semakin kompleks bagi Boeing yang juga berupaya memulihkan produksi pesawat 737 MAX setelah isu keselamatan sebelumnya.
Tekanan pada Boeing diperkirakan berdampak besar bagi maskapai penerbangan global. Kekurangan pasokan pesawat baru menjadi ancaman serius, terutama di tengah pemulihan pasca-pandemi yang memicu lonjakan permintaan perjalanan udara.
Menurut International Air Transport Association (IATA), situasi ini akan memengaruhi maskapai pada 2025, dengan potensi kekurangan armada pesawat yang signifikan. “Kami telah memberi mereka waktu. Saya rasa kesabaran kami telah habis. Situasi ini tidak dapat diterima,” ujar Direktur Jenderal IATA, Willie Walsh, dengan nada frustrasi.
Meski demikian, Walsh tetap optimistis terhadap pendapatan maskapai yang diproyeksikan mencapai US$ 1 triliun (sekitar Rp 15 ribu triliun) pada tahun depan. Namun, ia menekankan perlunya tindakan nyata dari pemasok pesawat seperti Boeing dan Airbus untuk memenuhi kebutuhan pasar.
“Kami harus meningkatkan tekanan dan mungkin mencari dukungan untuk memaksa pemasok utama agar bertindak bersama,” tambah Walsh dalam wawancara di Jenewa.
Krisis Boeing: Hanya Bagian dari Masalah Lebih Besar?
Langkah PHK dan mogok kerja yang melanda Boeing mencerminkan tantangan yang lebih luas dalam industri penerbangan. Isu ini menunjukkan betapa rapuhnya rantai pasok manufaktur pesawat ketika dihadapkan pada kombinasi permintaan tinggi dan kendala operasional.
Kritik terhadap Boeing pun semakin tajam, terutama terkait cara perusahaan mengelola tenaga kerja dan responsnya terhadap pasar. Banyak pihak menilai perusahaan ini terlalu lambat dalam meningkatkan kapasitas produksi, yang pada akhirnya merugikan maskapai penerbangan sebagai klien utama mereka.
Namun, Boeing tidak sendirian dalam menghadapi tantangan ini. Airbus, kompetitor utama mereka, juga menghadapi tekanan serupa untuk meningkatkan produksi di tengah kesulitan rantai pasok global.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana Boeing akan mengatasi tantangan ini dan kembali memenangkan kepercayaan industri? Dalam jangka pendek, perusahaan perlu mengambil langkah strategis untuk memastikan produksi tetap berjalan meski di tengah PHK dan aksi mogok.
Sementara itu, maskapai penerbangan global akan terus memantau perkembangan situasi ini dengan cermat, mengingat dampaknya terhadap pengadaan armada baru yang krusial bagi ekspansi bisnis mereka.
Pada akhirnya, industri penerbangan kini berada di titik balik yang menentukan. Kebijakan Boeing dalam beberapa bulan ke depan akan menjadi penentu apakah perusahaan ini mampu bangkit dari tekanan atau semakin tenggelam dalam krisis yang berlarut-larut.