Hukum Berqurban Menurut Empat Imam Mazhab

bintangbisnis

Ibadah qurban merupakan salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam, terutama pada hari-hari tasyrik (10-13 Dzulhijjah). Keempat imam mazhab dalam fikih Islam—Imam Abu Hanifah (Hanafi), Imam Malik (Maliki), Imam Syafi’i (Syafi’i), dan Imam Ahmad bin Hanbal (Hanbali)—memiliki pandangan yang relatif berbeda terkait hukum ibadah qurban. Perbedaan ini tidak lepas dari metode pengambilan dalil dan interpretasi masing-masing ulama terhadap teks-teks syariat.

1. Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi): Qurban Hukumnya Wajib

Di antara keempat imam mazhab, hanya Imam Abu Hanifah yang secara tegas menyatakan bahwa ibadah qurban hukumnya wajib bagi Muslim yang mampu. Menurut mazhab Hanafi, kewajiban ini berlaku bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat sebagai orang yang berkecukupan, serupa dengan syarat wajibnya zakat.

Imam Abu Hanifah mendasarkan kewajiban qurban pada sejumlah dalil. Pertama adalah firman Allah dalam QS. Al-Kautsar (108):2:

“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.”

Ayat ini mengandung perintah langsung dari Allah SWT, dan dalam kaidah usul fiqih, setiap perintah dalam Al-Qur’an pada dasarnya menunjukkan kewajiban, kecuali ada dalil lain yang memalingkannya menjadi anjuran.

Kedua, beliau merujuk pada hadits Nabi SAW:

“Barangsiapa memiliki kelapangan (harta) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah)

Hadits ini menunjukkan kecaman yang keras terhadap orang yang mampu namun enggan berqurban. Bagi Imam Abu Hanifah, kecaman tersebut menunjukkan bahwa perintah qurban bukan hanya anjuran, melainkan kewajiban.

Selain itu, Imam Abu Hanifah juga menggunakan metode analogi (qiyas). Ia menyamakan ibadah qurban dengan zakat, karena keduanya merupakan ibadah harta yang terkait dengan kemampuan finansial. Oleh sebab itu, jika zakat diwajibkan atas orang yang mampu, maka demikian pula qurban.

Dalam pandangan mazhab Hanafi, ibadah qurban menjadi wajib bagi setiap Muslim yang:

  • Baligh (dewasa secara hukum syar’i)
  • Berakal sehat
  • Menetap (bukan musafir)
  • Memiliki harta melebihi kebutuhan pokok dan utang pada hari raya Idul Adha

Jika seseorang memenuhi syarat tersebut, maka ia wajib berqurban satu ekor kambing atau ikut patungan dalam seekor sapi. Tidak melaksanakannya tanpa udzur dianggap sebagai bentuk kemaksiatan.

Meskipun demikian, sebagian ulama dalam mazhab Hanafi tetap memberikan toleransi pada pelaksanaannya. Misalnya, jika seseorang tidak berqurban namun menggantinya dengan sedekah uang senilai hewan qurban, maka itu dipandang mencukupi, walaupun tidak seutama menyembelih langsung.

2. Imam Malik (Mazhab Maliki): Qurban Sunnah Muakkadah

Imam Malik berpendapat bahwa qurban adalah sunnah muakkadah, yaitu ibadah yang sangat dianjurkan dan tidak semestinya ditinggalkan oleh orang yang mampu. Pandangan ini berdasarkan pada praktik penduduk Madinah (amal Ahlul Madinah) yang selalu melaksanakan qurban secara konsisten, namun Nabi Muhammad SAW tidak mewajibkannya secara eksplisit.

Dalil yang digunakan oleh Imam Malik antara lain hadits riwayat Ummu Salamah:

“Jika kalian melihat bulan Dzulhijjah dan ingin berqurban, maka jangan memotong rambut dan kuku sampai ia menyembelih.” (HR. Muslim)

Frasa “ingin berqurban” mengindikasikan bahwa pelaksanaannya adalah pilihan yang dianjurkan, bukan kewajiban.

Imam Malik sangat menghargai praktik yang dilakukan oleh masyarakat Madinah pada masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in, karena mereka dianggap mewarisi tradisi Rasulullah secara langsung. Maka walaupun qurban dianjurkan, ia tidak mewajibkannya karena Nabi SAW pun tidak mengancam orang yang tidak melakukannya dengan hukuman tertentu.

3. Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i): Qurban Sunnah Muakkadah

Menurut Imam Syafi’i, ibadah qurban adalah sunnah muakkadah yang sangat dianjurkan. Ia berpegang pada hadits-hadits yang tidak secara tegas menyebutkan kewajiban, tetapi menunjukkan keutamaan berqurban.

Di antara hadits yang menjadi dasar mazhab Syafi’i:

“Aku diperintahkan untuk menyembelih qurban dan qurban adalah sunnah bagi kalian.” (Hadits dengan berbagai riwayat yang lemah, tapi didukung banyak amalan sahabat)

Sama seperti Imam Malik, Imam Syafi’i juga mengacu pada hadits Ummu Salamah yang menyebut “ingin berqurban”, yang menurut beliau merupakan indikasi anjuran, bukan kewajiban. Beliau juga menganggap bahwa jika qurban itu wajib, tentu Nabi akan menekankan kewajibannya secara eksplisit dan menyebut sanksinya.

Imam Syafi’i juga menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban lebih utama daripada menyedekahkan uang seharga hewan tersebut, karena sunnah ini adalah ibadah yang memiliki dimensi simbolik yang tidak bisa digantikan dengan sedekah biasa.

4. Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali): Qurban Sunnah Muakkadah

Mazhab Hanbali juga berpendapat bahwa qurban adalah sunnah muakkadah bagi yang mampu. Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti jejak sahabat-sahabat Nabi yang melaksanakan qurban setiap tahun, namun beliau tidak menemukan nash yang mewajibkannya secara eksplisit.

Dalilnya hampir sama dengan mazhab Syafi’i dan Maliki. Hadits riwayat Ummu Salamah menjadi rujukan penting. Selain itu, Imam Ahmad juga melihat bahwa Nabi Muhammad SAW berqurban setiap tahun namun tidak memerintahkannya secara wajib kepada seluruh umat Islam.

Meskipun bukan wajib, Imam Ahmad menegaskan bahwa meninggalkan qurban tanpa uzur adalah tanda kelemahan semangat keagamaan. Oleh karena itu, seorang Muslim yang memiliki kemampuan dianjurkan untuk tidak meninggalkan qurban.

Perbandingan Singkat Antar Mazhab

Mazhab Hukum Qurban Dasar Hukum
Hanafi Wajib QS. Al-Kautsar, Hadits Ahmad & Ibnu Majah, Qiyas dengan zakat
Maliki Sunnah Muakkadah Hadits Ummu Salamah, Amal Ahlul Madinah
Syafi’i Sunnah Muakkadah Hadits Ummu Salamah, praktik Nabi SAW
Hanbali Sunnah Muakkadah Riwayat Ummu Salamah, praktik sahabat dan Nabi SAW

Kesimpulan dan Relevansi Praktis

Perbedaan pandangan di antara empat mazhab ini memberikan fleksibilitas bagi umat Islam untuk memilih berdasarkan keyakinan, kondisi, dan tradisi yang dianut. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa ibadah qurban merupakan amalan yang sangat besar pahalanya dan memiliki nilai sosial serta spiritual yang dalam.

Bagi yang mengikuti mazhab Hanafi, sangat dianjurkan untuk menunaikan qurban jika telah memenuhi syarat kemampuan harta. Sementara bagi pengikut mazhab lain, meski tidak wajib, tetap ditekankan pentingnya berqurban sebagai bagian dari penyempurnaan keislaman.

Ibadah qurban bukan sekadar penyembelihan hewan. Ia adalah simbol ketaatan, ketulusan, dan bentuk solidaritas sosial kepada sesama. Dalam konteks modern, berqurban menjadi sarana merawat kebersamaan dan mempererat ikatan antara golongan yang mampu dengan mereka yang membutuhkan.

Dengan demikian, meskipun hukum qurban diperdebatkan, semangat pelaksanaannya harus tetap dijaga. Karena sejatinya, ibadah ini adalah manifestasi dari semangat berkorban demi Allah dan sesama manusia, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW.

 

 

 

 

Share This Article