Pada tahun 2025, Indonesia menghadapi tantangan serius dalam sektor ketenagakerjaan. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia akan mencapai 5% pada akhir tahun ini, meningkat dari 4,9% pada tahun sebelumnya. Jika proyeksi ini terealisasi tanpa intervensi kebijakan yang agresif, Indonesia berpotensi mengalami tingkat pengangguran tertinggi dalam dua dekade terakhir. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi kedua di Asia, setelah China yang diproyeksikan sebesar 5,1% .
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 menunjukkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, setara dengan TPT sebesar 4,76%. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan 0,06 persen poin dibandingkan Februari 2024, jumlah pengangguran absolut meningkat sebesar 83.000 orang. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan angkatan kerja yang mencapai 3,67 juta orang dalam setahun terakhir, sehingga pertumbuhan ekonomi belum mampu menyerap tambahan angkatan kerja tersebut .Badan Pusat Statistik Indonesia+1Antara News+1
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menanggapi proyeksi IMF dengan menyatakan bahwa data domestik menunjukkan tren penurunan pengangguran. Namun, ia mengakui bahwa tantangan besar akan muncul pada Agustus 2025, ketika banyak lulusan baru memasuki pasar kerja. Hal ini menekankan perlunya strategi yang efektif untuk menyerap tenaga kerja baru .
Distribusi pengangguran menunjukkan bahwa wilayah perkotaan memiliki TPT lebih tinggi, yaitu 5,73%, dibandingkan dengan pedesaan yang sebesar 3,33%. Ini menunjukkan perlunya perhatian khusus pada penciptaan lapangan kerja di daerah perkotaan .Badan Pusat Statistik Indonesia
Pemerintah telah mengumumkan berbagai program untuk mengatasi pengangguran, termasuk pelatihan vokasi dan insentif bagi sektor usaha kecil dan menengah. Namun, implementasi dan efektivitas program-program ini masih perlu dievaluasi secara menyeluruh.
Kritik dari berbagai pihak menyarankan perlunya reformasi struktural dalam kebijakan ketenagakerjaan. Ini termasuk peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan, serta penciptaan ekosistem yang mendukung pertumbuhan sektor-sektor padat karya.
Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga pendidikan menjadi kunci dalam menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Program magang dan pelatihan berbasis industri dapat menjadi solusi untuk mengurangi kesenjangan keterampilan.
Teknologi dan digitalisasi juga menawarkan peluang baru dalam menciptakan lapangan kerja. Namun, akses dan literasi digital perlu ditingkatkan, terutama di daerah-daerah terpencil.
Pemerintah juga perlu memperhatikan kebijakan fiskal dan moneter yang dapat mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi, sehingga menciptakan lebih banyak lapangan kerja.
Sementara itu, dukungan sosial bagi pengangguran, seperti bantuan tunai dan subsidi, dapat membantu meringankan beban ekonomi masyarakat yang terdampak.
Penting juga untuk memonitor dan mengevaluasi secara berkala efektivitas kebijakan dan program yang telah dilaksanakan, guna memastikan bahwa tujuan penurunan pengangguran tercapai.
Dengan langkah-langkah yang tepat dan kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak, Indonesia dapat mengatasi tantangan pengangguran dan menciptakan masa depan ketenagakerjaan yang lebih baik.
Namun, tanpa intervensi kebijakan yang agresif dan terkoordinasi, proyeksi IMF tentang peningkatan TPT menjadi 5% pada akhir 2025 bisa menjadi kenyataan, menandai tingkat pengangguran tertinggi dalam dua dekade terakhir.