Mengapa Desa Lebih Tangguh Hadapi Krisis Ekonomi: Kekuatan Agraris Jadi Tameng Ketahanan

bintangbisnis


Di tengah guncangan ekonomi global yang sering meluluhlantakkan pasar dan memukul sektor industri, masyarakat pedesaan dengan fondasi agraris terbukti lebih tahan banting. Ketika inflasi melonjak, daya beli tergerus, dan angka pengangguran melonjak di kota-kota besar, desa-desa tetap menjalankan roda ekonominya secara mandiri dan berkelanjutan. Kebergantungan mereka terhadap alam dan keterampilan bertani menjadikan mereka lebih resilien. Di saat krisis pandemi COVID-19, banyak warga kota yang pulang ke desa dan bertahan dengan bercocok tanam. Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga menjadi pola global.

Di Indonesia sendiri, sektor pertanian tetap tumbuh positif saat pertumbuhan ekonomi nasional mengalami kontraksi pada 2020. Menurut data Badan Pusat Statistik, sektor pertanian tumbuh 1,75% di saat sektor-sektor lainnya mengalami penurunan tajam. Ini menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan dengan basis ekonomi agraris memiliki fondasi ekonomi yang lebih stabil. Desa tidak mengalami kelumpuhan total saat mobilitas terbatas, karena aktivitas pertanian tetap berjalan dengan protokol minimum. Kebutuhan pokok dipenuhi dari hasil bumi sendiri, membuat ketergantungan terhadap pasar eksternal relatif kecil.

Ketahanan ini juga terlihat dari struktur sosial desa yang lebih komunal dan gotong royong. Dalam kondisi darurat, mereka saling bantu dalam bentuk tenaga, pangan, maupun penginapan. Di kota, krisis seringkali melahirkan isolasi dan ketimpangan, karena hubungan sosial yang renggang. Sosiolog mencatat bahwa modal sosial di desa cenderung lebih tinggi, dan ini menjadi “penyangga” yang tak terlihat tapi sangat efektif dalam menghadapi krisis. Struktur kehidupan yang lebih sederhana dan minim konsumtivisme juga memperkecil tekanan ekonomi warga desa.

Fenomena serupa terlihat di Jepang. Ketika inflasi meroket dan produktivitas kota menurun, desa-desa seperti di Prefektur Shizuoka justru memperkuat basis produksi teh dan pangan lokal. Menurut laporan Reuters (2024), meski tak modern, desa-desa itu menunjukkan ketahanan finansial karena mampu menghasilkan sendiri sebagian besar kebutuhan dasar. Bahkan, Bank Sentral Jepang mencermati bahwa desa justru bisa menjadi model ekonomi mandiri pasca-krisis. Namun sayangnya, depopulasi mengancam ketahanan ini.

Di Amerika Serikat, saat krisis 2008 melanda Wall Street, kota-kota besar mengalami lonjakan pengangguran dan kredit macet. Namun di negara bagian seperti Kansas dan Nebraska, pertanian keluarga tetap berjalan. USDA mencatat bahwa meski pendapatan menurun, petani tetap bisa bertahan karena tak tergantung pada sektor jasa atau manufaktur yang lumpuh. Bahkan banyak petani yang memperkuat praktik pertanian berkelanjutan untuk mengurangi risiko eksternal. Di tengah badai ekonomi, desa di Midwest menjadi contoh stabilitas ekonomi berbasis lokal.

Eropa pun mengalami tren serupa. Saat krisis utang melanda Yunani, kawasan pedesaan di utara negara itu tetap menjalankan pertanian zaitun dan gandum. Sebuah studi oleh European Commission menyatakan bahwa masyarakat pedesaan cenderung kembali ke praktik-praktik ekonomi lokal seperti barter, urban farming, dan koperasi desa. Hal ini memperkuat daya tahan mereka terhadap guncangan eksternal. Ironisnya, ketahanan ini sering diabaikan dalam kebijakan ekonomi nasional.

Di Amerika Latin, desa-desa di Brasil dan Kolombia menunjukkan fleksibilitas yang tinggi saat krisis politik dan ekonomi. Di kawasan pedesaan Minas Gerais misalnya, masyarakat menggunakan kombinasi pertanian subsisten, produksi kopi, dan solidaritas komunal untuk mengatasi kelangkaan pangan. World Bank mencatat bahwa masyarakat pedesaan di kawasan ini memiliki tingkat stres ekonomi lebih rendah dibanding penduduk kota selama krisis 2015-2016. Sebab mereka tidak sepenuhnya bergantung pada sistem keuangan formal.

China pun menunjukkan bagaimana desa menjadi penopang ketahanan ekonomi nasional. Ketika COVID-19 menghantam pabrik-pabrik kota, desa-desa menjadi penyangga pangan nasional. Pemerintah China bahkan mempercepat program revitalisasi pedesaan karena menyadari pentingnya stabilitas ekonomi berbasis desa. The Economist (2023) melaporkan bahwa sektor pertanian menyumbang 7,7% dari PDB China di saat industri dan ekspor menurun drastis. Ini menjadi sinyal bahwa desa bukan sekadar warisan, tapi fondasi masa depan.

Di Indonesia, selain ketahanan pangan, desa juga memiliki peluang ekonomi digital melalui e-commerce berbasis produk lokal. Laporan McKinsey menunjukkan bahwa 60% penjual online dari desa mampu meningkatkan pendapatan selama pandemi melalui platform marketplace. Produk pertanian, kerajinan, dan makanan lokal menjadi komoditas bernilai jual tinggi. Artinya, kekuatan agraris desa bisa dimodernisasi menjadi kekuatan ekonomi baru.

Namun, tantangan besar masih ada. Akses teknologi, pendidikan, dan infrastruktur seringkali masih timpang antara desa dan kota. Pemerintah perlu memperkuat dukungan terhadap petani kecil, menyediakan akses pasar yang adil, dan menyalurkan bantuan yang tepat sasaran. Jika tidak, ketahanan desa hanya bersifat sementara dan bisa runtuh jika tekanan ekonomi terlalu besar.

Krisis demi krisis mengajarkan bahwa ketergantungan terhadap sistem industri global membuat kota rentan. Sebaliknya, desa dengan ekonomi agraris dan otonomi lokal menawarkan stabilitas jangka panjang. Bukan berarti desa tanpa masalah, tetapi fleksibilitas dan kesederhanaannya memberikan bantalan sosial yang kuat. Di sinilah letak pelajaran penting bagi para pembuat kebijakan.

Masyarakat perkotaan yang terjebak pada gaya hidup konsumtif dan utang sangat mudah terguncang ketika krisis datang. Sementara itu, masyarakat pedesaan yang masih mengandalkan hasil kebun, ternak, dan relasi sosial bisa bertahan lebih lama. Inilah narasi yang jarang diangkat dalam diskursus ekonomi arus utama. Ketahanan bukan sekadar soal angka, tapi juga soal nilai-nilai hidup.

Dalam kerangka ekonomi makro, kebijakan harus mengakui kekuatan ekonomi agraris sebagai elemen penting stabilitas nasional. Tidak cukup hanya mengandalkan pertumbuhan berbasis kota dan industri. Desa harus diberdayakan, bukan dikasihani. Potensi ekonomi hijau, energi terbarukan, dan agrowisata bisa tumbuh dari desa jika didukung dengan tepat.

Ketika krisis datang, mereka yang memiliki lahan, keterampilan bertani, dan jaringan sosial lokal akan bertahan lebih kuat daripada mereka yang tergantung pada gaji bulanan dan kredit. Desa bukan hanya masa lalu, tapi masa depan jika dilihat dengan perspektif yang benar. Dunia telah memberi banyak bukti, kini giliran Indonesia meneguhkan kebijakan yang berpihak pada desa.

Kita sedang berada di persimpangan antara dua model pembangunan. Kota yang cepat, kompleks, dan rentan atau desa yang lambat, stabil, dan berakar. Di tengah ketidakpastian global, masa depan mungkin tidak ada di balik gedung pencakar langit, tapi di antara ladang padi dan suara ayam berkokok pagi hari. Desa bisa jadi benteng terakhir peradaban ekonomi manusia.

Share This Article