AirAsia Indonesia Masih Merugi Meski Permintaan Penerbangan Pulih

bintangbisnis

Jakarta — PT AirAsia Indonesia Tbk mencatatkan rugi bersih sekitar Rp 985 miliar hingga sembilan bulan pertama 2025, memperpanjang tekanan keuangan maskapai berbiaya rendah tersebut meski permintaan perjalanan udara menunjukkan pemulihan. Laporan keuangan terbaru juga mencerminkan defisit ekuitas mendekati Rp 10 triliun, menyoroti tantangan struktural yang masih membayangi kinerja perseroan.

Pendapatan AirAsia Indonesia tumbuh seiring meningkatnya frekuensi penerbangan dan tingkat keterisian pesawat yang relatif stabil. Namun, pertumbuhan tersebut belum cukup untuk mengimbangi lonjakan biaya operasional dan beban keuangan, membuat perusahaan tetap berada dalam posisi rugi.

Biaya Operasional Naik Lebih Cepat dari Pendapatan

Kenaikan biaya perawatan dan pemeliharaan pesawat menjadi salah satu faktor utama yang menekan margin. Seiring meningkatnya jam terbang dan kebutuhan menjaga keandalan armada, pengeluaran di pos ini melonjak signifikan. Beban gaji dan pemasaran juga meningkat, mencerminkan upaya mempertahankan daya saing di pasar yang semakin padat pemain.

Penurunan sebagian biaya bahan bakar memberikan sedikit ruang bernapas, namun efeknya terbatas. Secara keseluruhan, total beban usaha tetap tumbuh lebih cepat dibandingkan pendapatan, memperpanjang tekanan terhadap laba.

Selain kinerja operasional, kondisi neraca AirAsia Indonesia menjadi sorotan utama. Liabilitas berada pada level tinggi, sementara ekuitas perseroan tetap negatif. Struktur ini membatasi fleksibilitas keuangan perusahaan dan meningkatkan ketergantungan pada dukungan pemegang saham atau langkah penyehatan keuangan lainnya.

Ekuitas negatif juga meningkatkan risiko bagi investor, terutama dalam konteks pembiayaan dan kemampuan perusahaan untuk menavigasi volatilitas industri penerbangan.

Eksposur Kurs dan Faktor Global

AirAsia Indonesia beroperasi di tengah lingkungan eksternal yang menantang. Banyak komponen biaya utama, termasuk sewa pesawat dan perawatan, menggunakan mata uang asing. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpotensi meningkatkan beban keuangan, terutama ketika pendapatan sebagian besar diperoleh dalam rupiah.

Di tingkat global, industri penerbangan masih menghadapi tekanan dari biaya pembiayaan yang relatif tinggi serta gangguan rantai pasok yang memengaruhi ketersediaan suku cadang dan jadwal perawatan armada.

Tantangan Profitabilitas

Maskapai ini terus memperluas jaringan rute domestik dan internasional untuk menangkap pemulihan permintaan. Tingkat keterisian pesawat yang solid menunjukkan bahwa strategi ini berhasil menarik penumpang. Namun, ekspansi juga membawa peningkatan biaya tetap dan kebutuhan modal kerja yang lebih besar.

Dalam model bisnis berbiaya rendah, pertumbuhan volume tidak selalu berbanding lurus dengan profitabilitas. Tanpa peningkatan tarif rata-rata atau efisiensi signifikan, ekspansi justru dapat memperdalam kerugian.

Bagi investor, fokus utama kini tertuju pada langkah manajemen untuk mengendalikan biaya dan memperbaiki struktur keuangan. Upaya restrukturisasi kewajiban, optimalisasi armada, serta pemilihan rute dengan margin lebih tinggi akan menjadi kunci dalam menentukan apakah AirAsia Indonesia dapat membalikkan kinerja dalam beberapa tahun ke depan.

Pemulihan permintaan memberikan peluang, namun keberlanjutan bisnis akan sangat bergantung pada disiplin keuangan dan kemampuan perusahaan menyesuaikan struktur biaya dengan realitas pasar.

Share This Article