Setelah lebih dari empat tahun melantai di bursa, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk memasuki fase paling menentukan dalam sejarah korporasinya. Tahun 2026 berpotensi menjadi titik pembuktian apakah GoTo mampu bertransformasi dari simbol ambisi ekonomi digital Indonesia menjadi perusahaan publik yang layak secara finansial, atau justru menetap sebagai studi kasus tentang valuasi berlebihan dan ekspektasi yang terlalu dini. Saham GOTO masih diperdagangkan jauh di bawah harga penawaran umum perdana, mencerminkan skeptisisme pasar terhadap prospek jangka menengah perusahaan.
Dari sisi kinerja operasional, GoTo memang menunjukkan perbaikan dibanding masa-masa awal pasca-IPO. Kerugian berhasil ditekan, arus kas operasional mulai membaik, dan disiplin biaya menjadi tema utama manajemen. Namun, perbaikan tersebut terjadi dalam konteks skala bisnis yang juga menyusut. Pertumbuhan transaksi melambat, subsidi dipangkas, dan ekspansi agresif yang dulu menjadi narasi utama kini digantikan oleh bahasa efisiensi dan keberlanjutan.
Unit ride-hailing dan delivery, yang menjadi tulang punggung Gojek, menghadapi pasar yang semakin jenuh. Penetrasi layanan di kota-kota besar sudah tinggi, sementara ekspansi ke kota lapis kedua dan ketiga menghadapi tantangan daya beli serta margin yang tipis. Persaingan dengan pemain regional dan lokal memaksa GoTo untuk memilih antara menjaga volume atau mempertahankan margin, dua hal yang jarang bisa dicapai bersamaan dalam industri ini.
Tokopedia, sebagai mesin e-commerce grup, menghadapi tekanan yang lebih struktural. Perang harga, dominasi pemain regional dengan dukungan modal besar, serta perubahan perilaku konsumen membuat pertumbuhan GMV tidak lagi secepat era pandemi. Integrasi dengan ekosistem Gojek memang menciptakan sinergi tertentu, namun belum cukup untuk mengubah dinamika persaingan secara signifikan. Monetisasi masih menjadi pekerjaan rumah utama.
Dari perspektif fundamental, salah satu isu paling krusial menuju 2026 adalah struktur permodalan. GoTo masih menanggung beban liabilitas yang besar, baik dalam bentuk pinjaman maupun kewajiban jangka panjang lainnya. Meskipun kas perusahaan relatif cukup untuk menopang operasi jangka pendek, ruang manuver semakin terbatas jika kondisi pasar memburuk atau akses pendanaan menjadi lebih mahal. Pasar modal saat ini tidak lagi ramah terhadap cerita pertumbuhan tanpa laba.
Valuasi saham GOTO mencerminkan realitas tersebut. Jarak yang lebar dari harga IPO bukan semata karena sentimen negatif, tetapi karena pasar telah menyesuaikan ekspektasi terhadap potensi laba jangka panjang. Investor kini menuntut bukti arus kas positif yang berkelanjutan, bukan sekadar janji skala dan teknologi. Dalam konteks ini, GoTo dinilai bukan sebagai perusahaan teknologi dengan opsi tak terbatas, melainkan sebagai operator layanan dengan margin struktural yang rendah.
Namun, peluang belum sepenuhnya tertutup. Jika manajemen mampu menjaga disiplin biaya, memperbaiki kualitas pendapatan, dan memonetisasi basis pengguna secara lebih efektif, 2026 bisa menjadi awal fase stabilisasi. Fokus pada segmen dengan margin lebih baik, seperti layanan keuangan digital, iklan, dan B2B, berpotensi mengubah profil risiko perusahaan. Tantangannya adalah eksekusi, bukan konsep.
Industri digital secara keseluruhan juga sedang mengalami koreksi. Investor global semakin selektif, valuasi lebih rasional, dan narasi “growth at all costs” kehilangan daya tarik. Dalam lanskap seperti ini, GoTo tidak sendirian. Namun, sebagai perusahaan publik terbesar di sektor teknologi Indonesia, ekspektasi terhadap GOTO jauh lebih tinggi dibanding pemain lain.
Bagi investor, saham GOTO pada 2026 lebih tepat dilihat sebagai opsi berisiko tinggi dengan potensi imbal hasil terbatas jika tidak disertai perubahan fundamental yang nyata. Rebound teknikal mungkin terjadi, tetapi rerating valuasi membutuhkan bukti profitabilitas yang konsisten. Tanpa itu, saham ini berisiko terjebak dalam fase sideways panjang.
Kesimpulannya, nasib saham GoTo di 2026 tidak lagi ditentukan oleh seberapa besar ekosistem yang dibangun, melainkan oleh seberapa disiplin perusahaan mengelola bisnis yang ada. Pasar telah berhenti memberi kredit atas potensi, dan kini hanya menghargai kinerja nyata. Bagi GoTo, waktu untuk membuktikan diri semakin sempit, dan toleransi investor semakin tipis.



















