Bagi kalangan pengusaha muda Sumatera Utara, nama Musa Rajecksjah sudah lama sangat dikenal. Ia aktif di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan dan juga aktif sebagai pengurus di kegiatan keolahragaan. Tak salah menyebut Musa sebagai seorang pebisnis muda yang sukses dan berbakat, namun yang juga membuatnya berbeda, ia juga mau disibukkan dengan aktifitas di berbagai organisasi. PROFIL DAN KISAH SUKSES dari Musa Rajecksjah memang menarik karena latarbelakangnya sebelum menjadi Wakil Gubernur Sumatera Utara banyak yang tidak tahu.
Musa Rajecksjah, tak lain, adalah penerus dari bisnis keluarga, Group ALAM, yang dirintis oleh ayahnya, Haji Anif Shah. Darah dan bakat bisnisnya banyak tertulari dari ayahandanya, Haji Anif, yang dikenal luas karena kedermawanan dan kesuksesannya sebagai pengusaha sukses di Medan. Apalagi Haji Anif dan keluarganya juga cukup aktif di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan Sumut.
Musa yang di Medan biasa dipanggil Ijeck ini meneruskan dan mengembangkan bisnis yang sudah dibangun ayahnya di jumlah bidang bisnis. Keluarganya memang merupakan keluarga pebisnis di Medan dan membangun usahanya dari bawah, di berbagai sektor bisnis — yang tergabung dalam Group Anugerah Langkat Makmur (ALAM). Kini Group ALAM miliknya mencakup bisnis perkebunan dan pabrik kelapa sawit, properti, kompos, SPBU, sarang burung walet, dll.
Masyarakat Sumatera Utara, apalagi orang Medan, juga mengenal Group Alam karena kesuksesannya di bisnis properti sebagai developer. Perusahaan developer yang dikelola keluarga Musa membangun komplek perumahan mewah di Medan yang banyak dibeli orang-orang kaya, yakni Komplek Cemara Asri dan Cemara Abadi.
Maklum, komplek perumahan ini terbilang terbilang paling mewah di Medan selain Komplek Setiabudi. Di Perumahan Cemara Asri tidak sulit mencari rumah yang harga per unit diatas Rp 4 miliar. “Kami punya sekitar 300 hektar tanah di komplek ini, tapi yang dibuka baru 130 ha,” kata Musa Rajecksjah, putra Anif yang ditugasi sebagai direktur utama PT Anugerah Langkat Makmur.
Group ini juga dikenal sebagai pebisnis perkebunan sawit yang sukses. Keluarga Musa mulai menggeluti bisnis perkebunan sawit tahun 1982. “Waktu itu perkebunan sawit di Sumut belum populer. Tanah masih murah dan pemainnya masih sedikit,” kenang Musa yang juga pembalap dan Ketua IMI Sumut itu. Anif mulai membuka usaha perkebunan dengan skala kecil. Awalnya hanya sektar 1.500 ha saja di Langkat.
Namun dari situ terus dikembangkan. Kalau awalnya hanya punya lahan di Langkat, kini sudah punya di Deli Serdang, Mandailing Natal dan Riau. “Total lahan kita sekitar 30 ribu ha,” jelas Musa yang mulai dilibatkan mengelola bisnis sawit keluarga sejak 2004. Yang jelas, meski Alam sudah punya pabrik PKS di Langkat, berencana membangun 4 pabrik PKS lagi dari.
Salah satu yang menonjol dari prestasi perkebunan ALAM Group dibanding perkebunan swasta lainnya ialah soal manajemen plasma dan kemitraan dengan petani. ALAM Group memang ingin maju bersama petani di lingkungan kebunnya. Tak heran, seperti di Mandailing Natal misalnya, ALAM punya 3.000 petani plasma.
Sementara di Langkat 233 KK. Bila perusahaan perkebunan lain, sesuai aturan pemerintah, memberi lahan ke petani plasma per KK seluas 2 hektar, maka ALAM memberi per KK seluas 3 ha. “Karena itu di kebun kami hubungan dengan petani sangat baik dan beberapa kali mendapatkan penghargaan dari pemerintah,” papar Musa yang juga menjelaskan kebun dan pabriknya pernah menjadi studi banding Kementrian Pertanian Belanda.
Musa yang biasa dipanggil Ijeck sendiri bertekad mengembangkan bisnis perkebunan keluarganya dan kedepan bisnis perkebunan akan menjadi core selain pengembangan perumahan.
Tak heran, meski perusahaan daerah, pihaknya serius belajar manajemen modern dengan mengundang konsultan ISO dunia, TÜV Rheinland Group. “Awalnya hanya ingin belajar dari mereka, tidak tahunya mereka menyarankan sekalian sertiifikasi dan audit,” tutur penggemar Harley Davidson ini menjelaskan perusahaannya sudah mendapatkan ISO 9001: 2000.
Karena implementasi konsep manajemen modern pula, maka ketika harga CPO pernah jatuh tahun 2008 pihaknya bisa selamat. “Waktu itu kita sempat rugi juga, tiga bulan. Cuma karena kita bisa mengelola cadangan dana dan yakin suatu saat harga akan bangkit, maka bisa selamat”. Ini berbeda dengan para petani yang banyak gulung tikar karena mereka tidak mengelola dana cadangan dengan baik.
Selain perkebunan, properti, SPBU, ALAM Group juga sudah mulai masuk di bisnis pengolahan kompos, mengolah limbah CPO. Adapun bisnis walet gua di pinggiran Sumut lebih banyak dimanfaatkan untuk membantu masyarakat di tiga desa di sekitar gua, baik untuk mendirikan sekolah, menaikkan haji petani, maupun memberi beasiwa. “Bisnis walet sudah tidak kita konsolidasikan keuangannya ke group karena Bapak saya maunya untuk kegiatan sosial saja,” tutur Ijeck.
Menurut Ijeck, ia banyak berlajar dari ayahandanya yang memang banyak berderma sebagai bagian dari syukur karena diberi kemurahan rezeqi oleh Alloh Yang Maha Kaya. Wajarlah bila sosoknya yang rendah hati banyak disukai relasi dan teman-temannya dan juga warga sekitar Medan.
“Orang tua saya dulu orang susah Pak. Pernah karena nggak punya beras. Beras yang ada dijadikan bubur supaya bisa dibagi banyak orang, dibagi ke 9 anak. Dulu kita nggak punya TV dan bapak saya merasa tersayat hatinya untuk bangkit ketika mendengar cerita ada anaknya yang tidak boleh nonton TV tetangga,” kenang Ijeck.
Bacaan Terkait: