Mengelola Bisnis Kampus Ala UGM

bintangbisnis
Belakangan ini kalangan pengelola perguruan tinggi di Indonesia makin aktif mendirikan bisnis guna menopang kemandirian mereka dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan. Berbagai jenis usaha pun didirikan, dari skala kecil seperti usaha wartel dan fotocopy hingga bisnis dengan investasi besar seperti mendirikan hotel  berbintang. Diantara perguruan tinggi yang dalam 5 tahun terakhir cukup serius dalam menata dan membesarkan  bisnisnya ialah Universitas Gadjah Mada (UGM) di Jogjakarta.
Diam-diam UGM sudah memiliki perusahaan holding yang mengelola 14 unit usaha dibawah bendera PT Gama  Multi Usaha Mandiri (Gama Multi Group). Bisnisnya antara lain tour and travel, radio, TI, konsultan, properti, pemasaran  reksadana, dll.  Mulai serius dibesarkan tahun 2007, skala bisnis Gama Multi Group terus tumbuh meyakinkan. “Tahun 2012 lalu  omset Rp 85 miliar dan tahun 2013 ini diperkirakan sudah mencapai Rp 115 miliar,” ujar Afrizal Hernandar, Direktur  Utama Gamamulti Group saat ditemui di kantornya di Jakarta minggu lalu. Diam-diam Gama Multi juga  menerbiitkan reksadana bekerjasama dengan CIMB Asset Management dan Mandiri Sekuritas. Saat ini total dana  yang dikelola oleh dua reksadana itu tak kurang dari Rp 120 miliar.
Sejatinya UGM sudah cukup lama memiliki bisnis-bisnis, walau skalanya masih sangat kecil dan pengelolaannya  sporadis.  Pengelolanya juga belum serius sehingga banyak aset yang kemudian tak terawat seiring dengan bertambahnya usia. Afrizal mengakui, beberapa bisnis Gama Multi Group awalnya didirikan dalam rangka  optimaisasi dari aset-aset yang idle alias menanggur. Maklum UGM dikenal sebagai salah satu perguruan tinggi  yang memiliki lahan area paling luas.
Tahun 2000, seiring dengan ada perubahan status UGM dari PTN menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), muncul perubahan sekaligus  tuntutan untuk mencari sumber-sumber pendanaan untuk mendukung universitas. Sebab itu kemudian mulai ada  niatan untuk mendirikan usaha-usaha yang mungkin dilakukan. Betapapun diyakini banyak potensi di UGM yang bisa dikembangkan sebagai modal bisnis, baik itu sumberdaya aset  maupun sumberdaya intelektual. “Kita coba dirikan usaha-usaha yang setidaknya bisa menghidupi diri sendiri  sendiri dulu dan kedepan diharapkan bisa memberikan kontribusi pada universitas,” ujar Afrizal Hernandar, PT  Gama Multi Usaha Mandiri.
Di tahap awal, konsep bisnis Gama Multi masih berbasis pemanfaatan  aset-aset idle milik UGM yang dikelola agar tidak terlalu membebani keuangan universitas, sekaligus juga bisa memberikn nilai tambah.  Tak heran, selama tahun 2000 sampai 2006 banyak usaha yang yang didirikan. Mulai dari bisnis pos, bisnis  peternakan, budidaya ulat sutera, bisnis radio, bisnis TI, bisnis tour and travel, bisnis budidaya hutan, dan  sebagainya. “Namun banyak juga usaha yang kita coba namun kurang berhasil,” ungkap Afrizal. Ia menyontohkan  bisnis yang dirintis namun tidak berlanjut seperti bisnis peternakan, bisnis budidaya ulat sutera dan bisnis  pengelolaan hutan. UGM pernah mengelola hutan sekitar 150 ha di Bantul namun karena kurang maksimal  pengelolaanya akhirnya dikembalikan lagi ke pemerintah.
Praktis, sejatinya pengelolaan bisnis kampus UGM ini baru optimal sejak 2007, saat itu Afrizal mulai ditugaskan  sebagai direktur utama Gama Multi Group. “Sejak tahun 2007 kita push pengembangannya,” ujar Afrizal yang  bergabung di holding Gama Multi sejak 2004 — sebagai direktur keuangan. Sejak tahun 2007 Gama Multi Group mulai berani untuk ekspansi dan memperkuat permodalan dengan menggandeng pihak lain, termasuk meminjam ke bank.
Salah satu contoh gebrakannya, di bisnis akomodasi. Gama Multi melakukan pengembangan hotel dari aset  properti yang dulu terbengkalai milik UGM yang disebut University Club (di dalamnya ada Wisma UGM dll) di Bulaksumur, Jogjakarta. Sekitar tahun 2008, pihak UGM menyerahkan hak pengelolaan properti tersebut kepada Gama  Multi. Oleh Gama Multi kemudian direnovasi dan dikembangkan.  “Dari 20 kamar yang ada disana kita bangun  menjadi 72 kamar. Meeting room juga kita perbaiki dan ditambah,” Afrizal menjelaskan.
Nah, Gama Multi bisa mengembangkan aset tersebut karena berani mengeluarkn surat utang (obligasi) ke  kalangan dosen, karyawan dan alumni  yang ingin ikut berinvestasi membangun hotel tersebut. Para investor  mendapatkan bunga dari obligasi yang dibeli, sebagaimana obligasi korporasi pada umumnya. Per paket obligasi  djual Rp 52 juta. “Ada yang beli satu paket, ada yang sepuluh paket, akhirnya kami bisa mengumpulkan lebih dari  Rp 12 milyar sehingga bisa membangun 72 kamar hotel,” kenang Afrizal. Kondisi komplek penginapan (hotel) yang  tadinya sangat memperihatinkan dan menjadi beban keuangan bagi UGM pun kini menjaadi aset yang  menguntungkan dan kinerjanya bagus.
Lebih kreatif mencari sumber-sumber permodalan, itulah salah satu kiat yang dijalankan Gama Multi Group dalam  mengelola dan mengejar pertumbuhan bisnis. Banyak kiat lain yang dijalankan manajemen agar bisa bertumbuh. Kiat  yang juga sangat vital, manajemen Gama Multi merapikan dulu struktur dan kepemilikan, sebelum mulai  menggenjot pertumbuhan. “Mungkin ini perbedaannya dari kampus lain. Kita memilih merapikan strukturnya dulu di awal. Kami memulai dari skala kecil. Setelah strukturnya rapi baru melakukan pertumbuhan. Pengalaman kita,  bila usaha-usaha dijalankan sporadis dan masing-masing berjalan sendiri, maka di belakang hari penataannya akan jauh rumit. Persoalannya bisa runyam, apalagi bila campur dengan kepentingan-kepentingan pribadi,” tegas  Afrizal yang alumni Teknik Elektro UGM ini.
Karena itulah unit-unit usaha yang ada bila memungkinkan kondisinya kemudian disatukan dalam holding PT Gama Multi  Usaha Mandiri supaya pengelolaannya mudah. Kecuali unit usaha yang memang tidak dimungkinkan untuk digabung dengan alasan tertentu seperti alasan hukum atau sejarah, maka tetap dibiarkan dikelola seperti aslinya. 
Misalnya PT Pagilaran,  perusahaan perkebunan teh 1.100 ha di Jawa Tengah yang dulunya hibah pemerintah ke Fakulutas Pertanian UGM,  maka tetap dibiarkan dikelola Fakultas Pertanian — tidak dijadikan satu atau dimasukkan dalam holding Gama  Multi Group.  Demikian juga PT BPR UGM yang tidak juga disatukan ke holding Gama Multi karena terkait  kepemilikan pihak ketiga di perusahaan tersebut sehingga lebih baik tetap tidak dikonsolidasi di Gama Multi Group.
Saat ini PT Gama Multi Usaha Mandiri, perusahaan holding, sahamnya 99% milik UGM dan 1% milik Yayasan UGM.  Dengan kata lain 100% memang milik UGM karena Yayasan UGM sejatinya juga milik UGM. Namun demikian, untuk di  anak-anak usaha atau unit usaha, tidak 100% milik UGM atau  Gama Multi karena memang melibatkan para  pemegang saham  pendiri lainnya di masing-masing unit usaha. Soal kepemilikan inilah yang juga dirapikan di awal  oleh manajemen Gama Multi agar pengembangannya di kemudian hari tidak merepotkan.
Ia menyontohkan perusahaan PT Gamatechno Indonesia, perusahaan TI yang didirikan UGM bersama sejumlah  profesional, maka profesional tersebut juga diberikan saham walaupun tidak dalam prosentase yang besar. Demkian  juga Afrizal dan kawan-kawannya yang tahun 1999 mendirikan Radio Swaragama, kemudian juga diberikan saham  sebagai jasa sebagai pendiri yang merintis usaha dari nol. Anak-anak usaha dalam Gama Multi Group memang sahamnya tidak 100% milik Gamamulti, selalu melibatkan pihak lain, termasuk manajemen di anak usaha itu. Yang  pasti, setelah rapi struktur dan kepemilikannya, manajemen Gama Multi berani untuk mengembangkan perusahaan  lebih lanjut.
Yang juga menarik, meski milik UGM, Gama Multi dikelola independen. Modal hanya diberikan universtas di awal pendirian  yang saat itu status UGM masih BHMN. “Waktu itu UGM masih punya kewenangan dan otonomi untuk investasi karena statusnya BHMN. Antara tahun 2000-2002 total yang diinvestaskan ke Gama Multi sekitar Rp 4 miliar. 
Namun sejak itu  tidak ada lagi. Kita cari modal sendiri, harus memutar uang dari laba yang ada.  Sekarang, dengan status UGM  sebagai Badan Layanan UMUM (BLU), kalau mau investasi harus minta ijin Menteri Keuangan prosesnya lebih panjang  dan rumit,” ungkap Afrizal.
Situasi itu disisi lain juga membuat unit usaha di Gama Multi terbiasa berjalaan mandiri dengan modal minimal alias tidak terlalu menggantungkan bantuan modal uang dari universitas. Afrizal menyontohkan, sewaktu  mendirikan Radio Swaragama, ia dan kawan-kawannya hanya dimodali Rp 160 juta. “Padahal jaman itu untuk  mendirikan radio minimal butuh Rp 1,5 miliar. Toh bisa jalan bagus. Untungnya kita banyak dibantu teman-teman.  Rekan-rekan yang kerja disana juga mau berjibaku, bekerja keras,” katanya.
Manajemen GMUM rupanya juga punya prinsip untuk terus melebarkan bisnisnya dan tidak bergantung pada satu atau dua bisnis saja. “Kita tidak boleh terjebak dalam posisi nyaman di sebuah bisnis. Karena semua produk dan  bisnis selalu ada lifesycle-nya. Sehingga harus ada produk dan bisnis baru untuk penyebaran pendapatan,”  Afrizal menjelaskan prinsip perusahaannya. Prinsip itu dijalankan GMUM belajar dari pengalaman  pahitnya yang pernah bergantung pada bisnis reksadana.
Sebagaimana diketahui, GMUM menerbitkan dan memasarkan dua produk reksadana. Satu reksadana hasil  kerjasama dengan PT CIMB Asset Manajemen dan satu reksadana lainnya hasil kerjasama dengan PT Mandiri  Sekuritas. Sewaktu bisnis reksadana sedang boom, reksadana kerjasama dengan CIMB bahkan bisa mengelola dana  hingga Rp 700 miliar. “Waktu itu dari pendapatan management fee rekasadana saja kita sudah sangat mencukupi kebutuhan operasional. Namun kemudian ada penurunan dan rush secara makro tahun 2006  sehingga pendapatan fee dari anjlok tajam, otomatis pendapatan Gama Multi juga terganggu,” kata Afrizal. Dari  situ,  GMUM belajar hingga terus mencoba mendiversifikasi bisnisnya dan saat ini sudah memiliki 14 unit usaha. 
Toh begitu, walaupun terus akan ekspansi, namun Gama Multi akan fokus untuk masuk di bisnis yang berbasis pengetahuan  dan riset. Bisnis-bisnis yang telah dirintis sejak lama yang tidak berbasis pengetahuan riset lebih dtujukan untuk  mendapatkan pendapatan sementara atau pemanfaatan aset yang idle tetap dijaga, namun untuk pengembangan bisnis baru cenderung ke sektor yang berbasis  pengetahuan dan riset. “Kita arahnya kesana, potensinya luar biasa. Memang butuh waktu untuk melakukan  inkubasi dan menjadikan bisnis di bidang itu bisa mature. Namun kita punya pengalaman disana,” ungkap Afrizal.
Ia menyontohkan sukses PT Gamatechno Indonesia di bisnis pengembangan softtware manajemen informasi  perguruan tinggi dan juga transportasi yang juga murni hasil riset timnya. Awalnya juga sulit untuk  mengembangkan aplikasi dan mengintegrasikannya dengan perangkat milik pihak-pihak lain, namun nyatanya sekarang cukup sukses.
Hal itu juga diakui M.Aditya, Drektur Utama Gamatechno Indonesa, saat ini software yang dikembangkannya sudah  dipakai lebih dari 100 perguruan tinggi di Indonesia. Demikian juga untuk aplikasi smart card untuk transportasi,  sudah dipakai Trans Jogja, Trans Solo dan Trans Jajarta. Sistem aplikasi yang dikembangkannya sudah mampu  membaca 6 kartu bank (Bank Mandiri, BCA, Panin, Bank DKI, dll) sehingga sangat membantu proses transaksi  kliennya. Semua software yang dipakai merupakan buatan dan hasil riset sendiri.
Beberapa bisnis yang berbasis riset dan pengetahuan yang kini sedang digarap misalnya bisnis alat kesehatan  berupa alat penambal gigi yang kini sedang proses untuk diproduksi massal. Saat ini belum ada produk serupa yang hasil produksi dalam negeri. “Kita akan memproduksinya sendiri di Indonesia. Kita punya tenaga ahli dan  peneliti yang punya kapasitas mengembangkan produk tersebut, dan punya patent-nya juga. Juga sudah sepakat  dengan Kimia Farma, mereka yang menangani distribusinya,” jelas Afrizal. 
Ia menjelaskan, perbandingan produk  impor dengan buatan Gama Multi sangat beda jauh harganya. “Kalau kita impor harus bayar Rp 2 juta sedangkan  kalau kita produksi sendiri di dalam negeri, biayanya tidak sampai separohnya,” ujar Afrizal. Gama Multi juga  sedang ancang-ancang memproduksi produk herbal temuan Fakultas Farmasi UGM dengan bendera anak usaha,  PT.  Swayasa Prakarsa. Baik produk alat kesehatan dan produk herbal tersebut, pemasarannya akan bekerjasama dengan  jaringan apotik Kimia Farma.
Yang tak kalah penting, soal SDM. Untuk mendapatkan SDM terbaik, ekruitmen SDM di grup Gama Multi dilakukan dengan sistem terbuka. Untuk  level manager dan staff, rekruitmen dilakukan tim Gama Multi sendiri. Namun untuk level direksi dilakukan oleh  pihak UGM. Dalam menjalankan bisnisnya, diakui Afrizal, Gama Multi memang banyak memakai tenaga ahli dari  dosen-dosen UGM, dan menggunakan jasa mereka sebagai konsultan — bukan karyawan operasional.
Tiap bulan tim manajemen di unit-unit usaha dikumpulkan untuk meeting koordinasi sekaligus laporan progress  masing-masing bisnis di ruang yang sama dan waktu yang sama. Mereka diminta presentasi dan dievaluasi  bersama, sekaligus bisa menyampaikan problem-problem yang dihadapi kemudian dipecahkan bersama. “Jadi  masing-masing tidak jalan sendiri. Manajemen anak usaha bisa mengetahui apa yang terjadi di anak usaha yang  lain. Bisa saling berinteraksi dan memberikan mauskan. Di sisi lain, bagi unit-unit usaha yang masih minus kinerjanya, maka forum ini akan menjadi tekanan mental tersendiri karena laporan mereka dilihat unit yang lain,” aku Afrizal.  
Saat ini di level korporat Gama Multi terdapat 25 orang yng bertugas, termasuk direksi. Sedangkan total jumlah  karyawan 41o orang. Di perusahaan ini komisaris yang terdiri dari tiga orang juga aktif. Tiap bulan sekali mereka ketemu disamping pertemuan  informal. Tiga orang komisaris memang berasal dari kantor  rektorat yang ditugaskan membina Gama Multi. Sedangkan direksi di holding hanya dua orang, yakni Afrizal sendiri selaku  direktur utama dan satu orang lagi yang merangkap direktur keuangan dan SDM.
Yang pasti kedepan, Gama Multi tetap akan berusaha menerapkan strateginya dalam menjaga keseimbangan antara  pertumbuhan dan profitabilitas. Saat ini, dari sisi kinerja, dari 14 unit usaha yang ada di Gama Multi kontribusnya  relatif sama. Meskipun tanpa ada penambahan modal, omset group tumbuh dari  hanya  Rp 25 Milyar pada  tahun 2007, menjadi Rp. 82 Milyar pada tahun 2012. Tentu omset tahun ini jauh lebih besar dari angka tersebut setelah melakukan berbagai ekspansi bisnis.
Saat ini pertumbuhan tertinggi di group itu diraih PT Gamatechno Indonesia, PT Aino Indonesia, Radio  SwaraGama, Gama Konsultan dan Akomodasi. Gamatechno merupakan market leader nasional untuk produk  sistem informasi perguruan tinggi dan telah dipakai lebih drao 100  perguruan tinggi besar dari Aceh sampai Papua.
Sedangkan PT Aino  Indonesia, anak usaha Gamatechno, saat ini merupakan pioner sistem integrator untuk e-money multi-bank di Indonesia dan telah  diimplementasikan di  Trans Jogja, BRT Solo,  Trans Jakarta dan Ancol.
Sementara itu, Radio SwaraGama yang telah menjadi radio nomor 1 di Jogja sejak 2006 untuk segmen anak muda, pesaing terkuat dari Geronimo dan Yasika. “Kita nomor satu dari jumlah pendengar dan billing iklan.  Kalau orang Jogja pasti tahu tarif iklan Swaragama juga paling mahal,” kata Afrizal. Sedangkan Gama Wisata yang melayani jasa ticketing dan travel, pelanggannya tak hanya internal UGM, namun juga masyarakat umum. 
Di DIY, Gama  Wisata termasuk pemain 5 besar. Omset per tahun tak kurang dari Rp 20 miliar walau memang margin bisnis ini  diakuinya sangat kecil. Bisnis akomodasi yang mengelola hotel, university club, 7 rumah homestay di Bulaksumur,  dan Wisma Kaliurang juga termasuk andalan pendapatan. Sementara Gama Multi Finance (GMF) yang mengelola  reksadana posisinya cukup stabil. Saat ini dana yang dikelola bersama Mandiri Sekuritas sekitar Rp 95 miliar,  sedangkan bersama CIMB Asset Manajemen sekitar Rp 25 miliar.
Kedepan kemungkinan akan terjadi pergeseran kontributor pendapatan. Misalnya tahun ini kontribusi Gamatechno  dan Swaragama makin besar. Gamatechno misalnya, tahun ini, mendapatkan proyek cukup besar di Trans  Jakatrta untuk membangun e-ticketing atau e-money, bekerjasmaa dengan 5 bank, totalnya proyeknya sekitar Rp 40  miliar. Radio Swaragama juga terus menanjak dengan margin yang sangat bailk sehingga saat ini juga sudah  menambah satu raio lagi, JogjaFamily FM, serta mendirikan event organizer.
Disisi lain, pertumbuhan bisnis baru juga sedang disiapkan  sejalan dengan misi UGM dalam menghilirisasi hasil  penelitian/produk UGM  ke industri  dan masyarakat. Saat ini kami sedang mengembangkan Gama Herbal, pabrik  obat tradisional. Juga juga sedang dirintis kerjasama agroindustri dengan Inhutani dan PT Sritex dalam rangka  penanaman HTI kapas rayon yang dibutuhkan untuk bahan baku tekstil PT Sritex.
Model-model kerjasama investasi akan semakin ditingkatkan. Bila saat ini prosentase kepemilikan saham pihak lain  di anak usaha maksimal 25%, kedepan bukan tidak mungkin akan lebih besar bila kerjasama investasi yang dilakukan memang menuntut hal itu. “Sangat tergantung deal bisnis yang dikerjakan dan komitmen dari mitranya.  Karena untuk mendapatkan fund/dana itu kita juga harus berkorban. Kalau kita mau besar, kita tidak bisa jalan  sendiri,” aku Afrizal. Ia yakin untuk bisa tumbuh harus berani mengambil resiko.
Afrizal sebenarnya juga sangat menginginkan seperti di luar negeri dimana perguruan tinggi seperti Havard  University memiliki dana abadi yang bisa diputar dan diinvestasikan agar bisa bertambah dan  berkembang sehingga hasilya bisa untuk membangu universitas. Namun demikian, di Indonesia, sejauh yang ia  tahu, dana abadi justru tak boleh diinvestasikan atau diputar untuk bisnis, dikhawatirkan bila rugi sulit dicari yang  siapa bertanggung jawab. Yang pasti perusahaan milik universitas seperti pihaknya harus kreatif mencari permodalan  sendiri.
Ya, bila diamati, Indonesia dan di banyak negara berkembang, komposisi pendanaan perguruan tinggi memang masih  mengandalkan iuran mahasiswa (tuition) sebagai kontributor utama, bisa sampai 75% atau lebih. Di negara-negara  maju, iuran mahasiswa hanya sekitar 10-15% dari pendanaan dan sisanya adalah dari endowment, hibah penelitian,  dan inisiatif-inisiatif komersial lainnya. Karena masih dominannya porsi iuran mahasiswa, maka tidak banyak dana  mengendap (idle) jangka panjang yang bisa dimanfaatkan menjadi modal kerja untuk bisnis yang dikelola perguruan  tinggi. Apa yang dilakukan oleh Gama Multi dan UGM ini harusnya bisa menjadi best practices model bisnis  pendanaan perguruan tinggi yang bisa dijadikan benchmark oleh perguruan tinggi lain, agar tidak terlalu  bergantung pada kucuran dana bantuan dari pemerintah dan pada iuran mahasiswa,
Kelebihan Gama Multi,  diversifikasi usaha yang cukup baik sehingga meminimalkan risiko, dan juga  keterlibatan aktif pimpinan universitas di dalam operasional day to day perusahaan jadi menguatkan sinergi antara  aspek bisnis dan akademik. Modal utama bisnis yang dikelola perguruan tinggi, secara logis harusnya adalah  human capital, karena perguruan tinggi adalah tempat “mencetak” manusia yang berkualitas dan memiliki  kompetensi. Agar bisnis yang dikelola perguruan tinggi bisa berkembang, maka sedapat mungkin portofolionya  harus bisa memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi mahasiswa untuk melakukan magang, kerja praktek, on  the job training, memberikan kesempatan bagi dosen-dosen untuk terekspose dengan dunia manajemen praktis.
Biasanya kesulitan terbesar biasanya dalam mencari orang-orang profesional yang mengerti “roh”  perguruan tinggi tapi juga memiliki naluri bisnis yang baik. Selain itu, bagaimana mencari komposisi portofolio  bisnis yang tepat sehingga menghasilkan return sesuai ekspektasi pemegang saham tetapi juga sedapat mungkin  memberikan dampak bagi masyarakat luas, misalnya untuk UKM dan kaum marjinal. Perguruan tinggi harus mau  keluar dari zona nyaman, berani mengambil risiko bisnis, jadi jangan selalu hanya mengandalkan iuran mahasiswa  untuk mendanai operasional perguruan tinggi.
Artikel lain

 

Share This Article