Empat tahun lalu, Dedy Mulyana melangkah keluar dari gerbang almamaternya dengan selembar ijazah sarjana ekonomi dari salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia. Di kepalanya, masih terngiang pidato rektor yang berapi-api, penuh optimisme tentang masa depan cerah para lulusan. Tapi, kenyataan berbicara lain. Sejak hari itu, ia telah mengirimkan ratusan lamaran kerja, menghadiri lusinan wawancara, dan menerima lebih banyak penolakan daripada yang bisa ia hitung. Sesekali ia mengambil pekerjaan serabutan—menjadi pengemudi ojek online, berjualan daring, bahkan membantu pamannya yang membuka warung makan. Tapi impiannya tetap sama: pekerjaan tetap, penghasilan layak, dan masa depan yang tidak lagi dihantui ketidakpastian.
Dedy bukan satu-satunya. Ribuan, bahkan mungkin jutaan sarjana lain bernasib serupa. Indonesia kini berada di tengah badai ekonomi yang sulit. Lapangan kerja menyusut, biaya hidup terus melambung, dan persaingan semakin sengit. Dulu, seorang lulusan perguruan tinggi bisa berharap mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studinya, tetapi kini, bahkan mereka yang memiliki pengalaman pun sulit mendapatkan tempat. Pertanyaan yang muncul di benak banyak lulusan baru adalah: apa yang harus dilakukan?
Untuk memahami keadaan ini, pertama-tama, seseorang harus menerima kenyataan bahwa dunia kerja telah berubah. Sebagian besar perusahaan kini tidak lagi sekadar mencari ijazah, tetapi keterampilan yang benar-benar relevan dengan kebutuhan industri. Lulusan yang hanya mengandalkan gelarnya tanpa membekali diri dengan keterampilan tambahan akan berada dalam posisi yang lebih sulit. Adaptasi adalah kunci. Mereka yang mampu mengembangkan keterampilan baru—baik itu dalam teknologi, analisis data, desain, atau bahkan pemasaran digital—akan memiliki peluang lebih besar. Banyak yang akhirnya memilih jalur pelatihan daring atau kursus singkat untuk mengasah keterampilan yang lebih spesifik dan sesuai dengan permintaan pasar.
Namun, keterampilan saja tidak cukup. Jaringan dan koneksi kini memainkan peran yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Banyak lowongan pekerjaan tidak pernah diumumkan secara publik dan hanya diketahui melalui lingkaran profesional atau rekomendasi internal. Dalam kondisi ini, para lulusan baru harus lebih aktif membangun hubungan dengan senior, dosen, atau komunitas industri yang relevan. Bergabung dalam acara networking, mengikuti seminar, atau bahkan hanya sekadar berinteraksi di platform seperti LinkedIn dapat membuka pintu-pintu yang sebelumnya tampak tertutup.
Di sisi lain, berwirausaha menjadi pilihan yang semakin masuk akal. Dengan biaya hidup yang terus meningkat dan peluang kerja yang terbatas, banyak lulusan yang akhirnya mencoba peruntungan dengan membuka usaha sendiri. Meski terdengar menantang, era digital saat ini menawarkan banyak kemudahan. Dari berjualan di marketplace hingga menjadi pekerja lepas dalam berbagai bidang, peluang untuk menghasilkan uang tanpa harus bergantung pada perusahaan semakin terbuka lebar. Tetapi tentu saja, wirausaha tidak serta-merta menjadi solusi instan. Dibutuhkan ketekunan, kejelian membaca pasar, dan kemampuan mengelola risiko untuk bisa bertahan.
Banyak yang merasa frustrasi ketika usaha mencari pekerjaan tidak kunjung membuahkan hasil, dan ini dapat berujung pada tekanan mental yang serius. Kesehatan mental menjadi aspek yang sering kali terlupakan dalam pembahasan mengenai tantangan lulusan baru. Stres berkepanjangan akibat menganggur dapat menyebabkan kecemasan, bahkan depresi. Dalam kondisi seperti ini, penting bagi lulusan untuk tetap menjaga keseimbangan hidup—baik dengan tetap aktif dalam komunitas, berolahraga, atau bahkan mencari bantuan profesional jika diperlukan. Menjaga harapan tetap hidup adalah bagian dari perjuangan itu sendiri.
Pada akhirnya, para lulusan baru harus memahami bahwa keberhasilan tidak selalu datang dalam bentuk yang telah mereka bayangkan sejak awal. Bekerja di bidang yang berbeda dari jurusan kuliah, mengambil pekerjaan sementara yang mungkin terasa jauh dari ekspektasi, atau bahkan berpindah ke kota lain demi peluang yang lebih baik adalah kenyataan yang harus dihadapi dengan lapang dada. Yang terpenting adalah terus bergerak, terus belajar, dan tidak berhenti mencari peluang.
Dedy Mulyana masih dalam perjalanannya. Ia kini sedang mengikuti kursus pemrograman daring, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya sebagai lulusan ekonomi. Sementara itu, ia tetap menjalankan usaha kecil-kecilan sebagai dropshipper untuk menutupi biaya sehari-hari. Barangkali, di luar sana, ada pekerjaan yang menunggunya. Atau mungkin, ia akan menciptakan pekerjaannya sendiri. Yang pasti, ia tidak akan berhenti mencoba.