Dalam kehidupan modern yang serba cepat, kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Antara mengejar karier atau meluangkan waktu untuk keluarga, antara mengumpulkan kekayaan atau berbagi dengan sesama, antara ambisi duniawi atau ketenangan batin. Hadis Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi menyampaikan pesan yang begitu mendalam: “Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya, maka dunia akan mendatanginya dalam keadaan tunduk.” Sebuah nasihat yang tampaknya sederhana, namun mengandung makna yang begitu luas. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama? Bagaimana implikasi dari hadis ini dalam kehidupan sehari-hari? Dan mengapa dunia akan tunduk kepada orang yang mengutamakan akhirat?
Ketika seseorang memilih untuk menjadikan akhirat sebagai fokus utama dalam hidupnya, itu tidak berarti ia harus meninggalkan dunia sama sekali. Justru, Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia…” (QS. Al-Qashash: 77). Ayat ini menegaskan bahwa dunia dan akhirat bukanlah dua hal yang harus dipilih salah satu, tetapi harus diposisikan dengan benar dalam kehidupan kita. Dunia hanyalah sarana, sedangkan akhirat adalah tujuan.
Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar abad ke-11, menjelaskan bahwa dunia ini ibarat bayangan. Semakin kita mengejarnya, semakin ia menjauh. Namun, jika kita berbalik dan berjalan menuju matahari (akhirat), maka bayangan itu akan mengikuti kita. Ini selaras dengan hadis di atas: ketika seseorang mengutamakan akhirat, dunia akan mengikuti dengan sendirinya. Banyak orang yang hidup dalam kegelisahan dan ketidakpuasan, karena mereka menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Mereka mengira bahwa semakin banyak harta yang mereka kumpulkan, semakin bahagia mereka. Namun, realitas sering kali berkata lain.
Hadis ini juga memiliki korelasi dengan sabda Nabi ﷺ yang lain: “Barang siapa yang menjadikan dunia sebagai obsesinya, maka Allah akan menjadikan kefakiran selalu membayanginya, dan ia tidak akan mendapatkan dunia kecuali yang telah ditetapkan untuknya. Tetapi barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai niatnya, maka Allah akan menjadikan kecukupan dalam hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan tunduk.” (HR. Ibnu Majah). Hadis ini memberikan perspektif yang lebih luas bahwa dunia hanya akan memberikan kebahagiaan sejati bagi mereka yang tidak menjadikannya sebagai prioritas utama.
Sejarah menunjukkan bahwa banyak orang besar yang memahami prinsip ini. Umar bin Abdul Aziz, khalifah Dinasti Umayyah yang terkenal dengan keadilannya, tidak pernah membiarkan ambisi duniawi menguasai dirinya. Ketika ia diangkat menjadi khalifah, ia memilih hidup sederhana, menolak kemewahan istana, dan fokus pada kesejahteraan rakyatnya. Hasilnya, meskipun ia tidak mengejar dunia, justru kemakmuran datang dengan sendirinya. Ini adalah bukti nyata bagaimana dunia akan tunduk kepada mereka yang mengutamakan akhirat.
Namun, bagaimana kita menerapkan konsep ini dalam kehidupan modern? Dalam dunia bisnis, misalnya, seorang pengusaha yang mengutamakan kejujuran, keseimbangan, dan nilai-nilai etis dalam usahanya sering kali akan mendapatkan kesuksesan yang lebih berkelanjutan dibanding mereka yang hanya fokus pada keuntungan semata. Contoh lain bisa kita lihat pada ilmuwan Muslim di era keemasan Islam, seperti Ibnu Sina atau Al-Khawarizmi, yang bekerja bukan demi ketenaran atau harta, tetapi demi ilmu dan manfaat bagi umat manusia. Hasilnya, dunia mengenang mereka dan karya mereka tetap hidup hingga kini.
Ketika kita berbicara tentang menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, kita juga perlu memahami bahwa ini bukan berarti melupakan tanggung jawab kita di dunia. Sebaliknya, orang yang mengutamakan akhirat justru akan lebih bertanggung jawab dalam kehidupan dunianya. Mereka akan bekerja lebih baik karena mereka tahu bahwa setiap usaha yang dilakukan dengan niat yang benar akan bernilai ibadah. Mereka akan lebih jujur, lebih disiplin, dan lebih berorientasi pada manfaat jangka panjang, bukan sekadar keuntungan sesaat.
Dalam konteks sosial, prinsip ini juga bisa diterapkan dalam interaksi antarindividu. Seorang pemimpin yang menjadikan akhirat sebagai tujuan utama akan lebih berorientasi pada keadilan daripada kepentingan pribadi. Seorang ayah atau ibu yang memiliki visi akhirat akan mendidik anak-anaknya dengan penuh tanggung jawab, bukan sekadar memenuhi tuntutan materi. Seorang pekerja akan menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh, bukan hanya karena gaji, tetapi karena ia ingin memberikan manfaat dan mendapatkan ridha Allah.
Akhirnya, hadis ini memberikan kita pedoman hidup yang jelas: jangan biarkan dunia mengendalikan kita. Jadikanlah akhirat sebagai tujuan utama, dan dunia akan mengikuti dengan sendirinya. Ini adalah sebuah janji yang telah terbukti dalam sejarah dan kehidupan banyak orang. Jika kita benar-benar percaya pada prinsip ini dan mengaplikasikannya dalam kehidupan kita, maka kita akan menemukan ketenangan, kebahagiaan, dan keberkahan yang jauh lebih besar dari apa yang bisa diberikan oleh dunia semata.