Persaudaraan Umat Islam: Antara Retorika dan Kenyataan yang Harus Dibuktikan

bintangbisnis


Di antara ajaran paling luhur dalam Islam, konsep ukhuwah islamiyah atau persaudaraan umat Islam, menempati tempat yang sangat tinggi. Namun, dalam praktiknya, kata “persaudaraan” sering kali hanya menjadi slogan yang terucap di mimbar-mimbar. Ia bergema di acara-acara keagamaan dan seminar, tetapi tidak membumi dalam realitas sosial umat. Ketika konflik terjadi, perbedaan mazhab atau pilihan politik justru menjadi alasan untuk saling menjatuhkan. Padahal, Al-Qur’an jelas menyatakan bahwa orang-orang beriman adalah bersaudara (QS. Al-Hujurat: 10).

Dalam sejarah Islam, persaudaraan sejati pernah menjadi kekuatan dahsyat yang mempersatukan umat dari berbagai suku dan bangsa. Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar bukan sekadar seremoni, tapi menjadi ikatan sosial dan ekonomi yang nyata. Mereka berbagi rumah, makanan, bahkan kekayaan, demi menyatukan umat di tengah tantangan. Sayangnya, semangat itu kini semakin langka di dunia Islam modern. Banyak umat lebih mudah percaya pada narasi kebencian dibanding cinta sesama Muslim.

Retorika persaudaraan yang terdengar indah sering kali tidak diiringi dengan sikap saling menolong dan membela. Ketika saudara seiman tertindas di negara lain, tidak sedikit yang memilih diam atau malah bersikap sinis. Kita cepat marah karena perbedaan kecil dalam ibadah, namun lamban dalam membela korban kezaliman. Islam bukan hanya agama yang mengatur ritual, tapi juga tata laku sosial umat. Ukhuwah sejati hanya mungkin jika rasa peduli dan empati dihidupkan.

Kita harus jujur: terlalu banyak seminar tentang ukhuwah, terlalu sedikit langkah konkret untuk menghapus curiga antar kelompok. Bahkan dalam satu kota, masjid satu dengan lainnya bisa saling menyindir hanya karena beda cara takbir. Ada pula lembaga dakwah yang justru menyerang lembaga Islam lain atas nama “pemurnian”. Ini menunjukkan bahwa tantangan ukhuwah hari ini bukan soal pemahaman, tapi soal ego. Persaudaraan butuh kerendahan hati, bukan hanya pengetahuan.

Salah satu cara membumikan ukhuwah adalah memperkuat kolaborasi lintas kelompok dalam Islam. Daripada saling menyalahkan, alangkah lebih baik bila kita bahu membahu dalam program sosial umat. Dari bantuan bencana, pengentasan kemiskinan, hingga pendidikan umat, kerja sama lebih penting daripada klaim siapa yang paling benar. Kita lupa bahwa perbedaan adalah sunnatullah, dan saling menghormati adalah adab dalam ilmu. Ukhuwah bukan berarti menyeragamkan, tapi menyatukan hati.

Membangun ukhuwah juga membutuhkan reformasi dalam dakwah. Khotbah di mimbar harus meninggalkan nada-nada kebencian dan eksklusivitas. Sebaliknya, perlu narasi damai, kasih sayang, dan kemanusiaan dalam konteks keislaman. Para da’i seharusnya menjadi jembatan antar kelompok, bukan malah menjadi sekat. Bila mimbar menjadi alat pemecah, maka umat akan terus terpecah.

Pendidikan juga memegang peranan besar dalam menanamkan ukhuwah sejak dini. Pesantren, madrasah, dan sekolah Islam harus memperkenalkan nilai toleransi dan kasih sayang antar sesama Muslim. Tidak cukup hanya belajar fiqih dan tafsir, tetapi juga belajar menghargai perbedaan. Literasi ukhuwah perlu dibangun melalui pengalaman sosial, bukan hanya teori. Karena persaudaraan yang tidak ditanamkan sejak kecil akan sulit tumbuh saat dewasa.

Media sosial, yang semestinya menjadi sarana silaturahim, kini malah jadi ladang fitnah. Akun-akun keislaman banyak yang terjebak dalam konten saling serang, mencela, dan menuduh. Padahal, satu unggahan bisa memperkuat atau merusak ukhuwah antar umat. Islam mengajarkan agar kita berkata baik atau diam, tapi kenyataannya banyak yang bicara tanpa pikir. Ini tugas bersama untuk merevolusi narasi Islam digital agar membangun, bukan menghancurkan.

Sikap ukhuwah tidak berarti menutup mata terhadap kesalahan, tapi menyampaikan nasihat dengan kasih. Al-Qur’an mendorong kita untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran, bukan kemarahan. Kritik dalam ukhuwah adalah kritik yang membangun, bukan menjatuhkan. Namun banyak yang tidak bisa membedakan antara amar ma’ruf dan serangan personal. Padahal, cara menyampaikan kebenaran sama pentingnya dengan kebenaran itu sendiri.

Di negara-negara konflik seperti Yaman, Suriah, atau Irak, keretakan ukhuwah membawa bencana luar biasa. Perpecahan di antara umat Islam telah dimanfaatkan oleh pihak luar untuk melemahkan kekuatan umat. Ini harus menjadi pelajaran besar bagi kita di Indonesia, negeri dengan keberagaman kelompok Islam yang tinggi. Jangan sampai perbedaan yang seharusnya menjadi kekayaan malah menjadi pemicu kehancuran. Ukhuwah harus menjadi pagar sebelum api konflik menyala.

Indonesia memiliki potensi menjadi teladan ukhuwah Islamiyah di dunia. Keberadaan organisasi Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah seharusnya menjadi kekuatan, bukan justru saling tanding. Perbedaan sejarah, metode dakwah, atau pandangan fiqih tidak seharusnya menjadi hambatan. Selama ada tujuan yang sama —yakni kemaslahatan umat— maka kerja sama adalah pilihan terbaik. Politik boleh berbeda, tapi ukhuwah jangan sampai pudar.

Perlu ada komitmen dari para pemimpin umat untuk memberikan contoh nyata ukhuwah. Pertemuan antar ormas Islam, dialog terbuka antar tokoh, dan kerja bersama dalam program umat sangat dibutuhkan. Masyarakat akan meniru apa yang dilihat dari pemimpinnya. Jika para tokoh bisa saling peluk, umat akan saling merangkul. Tapi jika mereka saling menghujat, umat akan saling menjatuhkan.

Tak ada ukhuwah tanpa keadilan. Ketika satu kelompok merasa dizalimi atau dikucilkan, rasa persaudaraan akan terganggu. Negara juga punya peran memastikan bahwa setiap umat Islam mendapat hak yang setara. Tidak boleh ada diskriminasi dalam beribadah, berdakwah, atau mengakses fasilitas publik. Persaudaraan akan tumbuh dalam iklim yang adil dan terbuka.

Dalam konteks global, umat Islam seharusnya lebih aktif dalam solidaritas internasional. Krisis Palestina, Rohingya, dan Uyghur seharusnya menggugah empati kita sebagai satu tubuh. Tapi sayangnya, respons umat kerap tidak seimbang dan tergantung pada sentimen politik. Padahal ukhuwah Islamiyah menuntut kita untuk peduli kepada sesama Muslim di mana pun mereka berada. Ini bagian dari panggilan keimanan.

Jika ukhuwah sekadar narasi, maka ia akan rapuh ketika diuji. Ujian sejati ukhuwah adalah bagaimana kita bersikap ketika berbeda, bukan ketika sepakat. Ukhuwah sejati terwujud dalam tindakan nyata yang menciptakan ketenangan dan kepercayaan antar umat. Ia lahir dari kesabaran, pengertian, dan cinta yang tulus. Dan semua itu, hanya mungkin jika niat kita murni karena Allah.

Ukhuwah bukan hanya untuk hari-hari besar keagamaan, tetapi harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Di pasar, di jalan, di dunia maya, nilai ukhuwah harus hidup. Sapa yang ramah, bantuan tanpa pamrih, dan doa diam-diam adalah wujud ukhuwah. Tidak perlu menunggu momentum besar untuk memulai, cukup mulai dari diri sendiri. Karena dari pribadi yang ikhlas, lahir masyarakat yang damai.

Ukhuwah Islamiyah tidak akan terwujud jika kita hanya menunggu orang lain berubah. Ia hanya mungkin terjadi jika kita mengambil inisiatif menjadi saudara yang lebih baik. Kita tidak perlu sempurna untuk bersaudara, cukup tulus dan bersedia menerima. Setiap langkah kecil menuju persaudaraan adalah bagian dari jihad sosial. Dan jihad ini tidak kalah penting dari bentuk perjuangan lainnya.

Jika umat Islam mampu mewujudkan ukhuwah sejati, maka kekuatan umat akan bangkit kembali. Sejarah membuktikan, umat yang bersatu akan memenangkan pertempuran apapun. Namun jika terus berseteru, maka kita hanya akan menjadi bulan-bulanan zaman. Islam adalah agama cinta, kasih, dan persaudaraan — bukan kebencian. Maka mari kita buktikan, ukhuwah bukan sekadar retorika, tetapi kenyataan.

Share This Article