Lima Jurus Penyelamat Omset di Tengah Krisis

bintangbisnis

Di tengah badai ekonomi global, turbulensi geopolitik, dan inflasi yang menghantui seperti bayang-bayang panjang matahari senja, tak ada yang lebih menggelisahkan manajer perusahaan selain dua kata: “penurunan penjualan.” Di era di mana semua tampak bisa dipesan, dibayar, dan dikembalikan lewat satu klik, ekspektasi pasar terhadap perusahaan justru semakin tinggi, tak peduli apakah dunia sedang demam tinggi atau bersin kecil.

Namun sejarah menunjukkan bahwa justru di tengah krisislah perusahaan besar lahir, bertahan, atau menyalip yang lain. Dari krisis minyak 1970-an hingga pandemi COVID-19, selalu ada mereka yang tak sekadar bertahan, tapi menari di atas riak ekonomi. Bagaimana caranya? Ada lima “jurus” yang kerap menjadi andalan para pemimpin bisnis tangguh. Jurus-jurus ini bukan sihir, melainkan strategi yang bisa dikerjakan. Mari kita kupas satu per satu, dengan contoh nyata agar tak sekadar menjadi jargon motivasi belaka.


1. Jurus “Dekatkan Diri dengan Konsumen”: Menggeser Lensa ke Arah Pasar

Ketika dompet konsumen mulai mengencang, bukan waktunya mengeluh—melainkan mendekat. Perusahaan yang berhasil melewati krisis adalah mereka yang bukan hanya menjual produk, tetapi memahami ulang kebutuhan emosional dan fungsional konsumennya. Jurus pertama adalah kembali ke pasar: lakukan riset kecil, dengarkan suara pelanggan, dan geser produk agar lebih relevan.

Contoh konkret:
Selama pandemi, Starbucks mengalami penurunan drastis karena toko-toko fisik sepi. Tapi CEO-nya saat itu, Kevin Johnson, memilih untuk memperkuat aplikasi mobile mereka. Hasilnya? Penjualan dari aplikasi meningkat, bahkan mengalahkan penjualan langsung di beberapa lokasi. Starbucks bukan sekadar menjual kopi; mereka menjual kemudahan dan kebiasaan pagi yang bisa dipertahankan dari rumah.

Apa yang bisa dilakukan pengelola lokal?

  • Survei cepat ke pelanggan lama: produk apa yang kini paling mereka butuhkan?

  • Buat variasi produk “versi hemat” atau “versi praktis”.

  • Ajak pelanggan ikut serta: lomba memberi nama produk baru atau desain kemasan.


2. Jurus “Pangkas yang Tidak Perlu, Perkuat yang Menjual”: Efisiensi Terarah

Krisis sering kali menjadi alasan manajemen untuk melakukan diet operasional—dan itu tak salah. Namun banyak perusahaan terjebak pada pemangkasan buta: yang penting hemat. Padahal, strategi efisiensi harus didasarkan pada data dan pengamatan: produk mana yang benar-benar menghasilkan margin sehat? Aktivitas mana yang menyedot biaya tanpa dampak ke penjualan?

Contoh konkret:
IKEA, raksasa furnitur asal Swedia, di masa krisis global 2008-2009, menutup beberapa lini produk premium yang tak laku dan justru memperkuat produk flat-pack (paket bongkar-pasang) murah mereka. Hasilnya, mereka justru mengalami pertumbuhan, saat kompetitor menurun.

Apa yang bisa dilakukan pengelola lokal?

  • Analisis kontribusi penjualan tiap produk. Fokus pada 20% produk yang menghasilkan 80% omzet.

  • Tinjau ulang saluran distribusi: apakah ada jalur penjualan yang biayanya lebih besar dari hasilnya?

  • Kurangi aktivitas promosi yang tidak dapat diukur dampaknya.


3. Jurus “Naikkan Nilai, Bukan Diskon”: Ciptakan Persepsi Lebih

Saat krisis, godaan terbesar adalah memberi diskon besar-besaran. Sayangnya, diskon bukan jurus jangka panjang. Diskon memang mendatangkan pembeli, tapi juga menghancurkan persepsi nilai dan margin keuntungan. Jurus ketiga adalah meningkatkan persepsi nilai produk tanpa harus menurunkan harga.

Contoh konkret:
Apple jarang memberi diskon. Tapi selama krisis pandemi, mereka memperkuat layanan tambahan seperti iCloud, Apple Music, hingga bundling produk. Alih-alih menurunkan harga iPhone, mereka menawarkan nilai tambah yang menciptakan kesan “lebih hemat dalam jangka panjang”.

Apa yang bisa dilakukan pengelola lokal?

  • Tambahkan bonus kecil: beli 2 gratis 1, atau gratis pengiriman.

  • Tawarkan garansi lebih lama atau layanan purna jual gratis.

  • Edukasi pasar lewat media sosial: bagaimana produk Anda membantu penghematan jangka panjang?


4. Jurus “Digitalisasi Terukur”: Gunakan Teknologi Secara Cerdas, Bukan Sekadar Tren

Krisis kerap memaksa percepatan digital. Tapi banyak pengusaha yang gugup: apakah perlu langsung punya aplikasi? Haruskah semua bisnis jadi e-commerce? Jawabannya: tidak harus semua, tapi harus dimulai dari yang berdampak langsung ke efisiensi dan penjualan.

Contoh konkret:
McDonald’s selama pandemi mempercepat pengenalan self-order kiosks, mobile order, dan kerja sama dengan layanan antar digital. Hal ini membuat mereka bisa tetap beroperasi dengan lebih sedikit staf, lebih cepat, dan dengan minim kontak.

Apa yang bisa dilakukan pengelola lokal?

  • Gunakan WhatsApp Business untuk pesanan cepat dan katalog digital.

  • Daftar ke platform marketplace (Tokopedia, Shopee, TikTok Shop) dan pelajari algoritmanya.

  • Gunakan software kasir sederhana agar laporan penjualan harian bisa langsung dipantau.

Digitalisasi tidak harus mahal. Mulai dari yang paling mudah—asal konsisten—lebih baik daripada ikut tren tanpa arah.


5. Jurus “Kolaborasi Tak Terduga”: Lawan Ketat Bisa Jadi Kawan Sementara

Jurus terakhir, dan mungkin paling menantang bagi banyak pengusaha: kolaborasi. Di masa normal, persaingan adalah norma. Tapi di masa krisis, sinergi bisa menyelamatkan. Kolaborasi bisa datang dari mana saja: kompetitor, vendor lama, selebgram lokal, bahkan pelanggan sendiri.

Contoh konkret:
Di awal pandemi, banyak brand fashion dunia kolaborasi dengan produsen masker. Contoh unik datang dari UNIQLO yang bekerja sama dengan Toray Industries untuk mengembangkan masker dengan teknologi AIRism—hasilnya? Produk laris manis dan tetap inline dengan DNA merek mereka: simpel, fungsional, dan nyaman.

Apa yang bisa dilakukan pengelola lokal?

  • Kolaborasi produk lintas industri: kafe dengan seniman mural, toko makanan dengan desainer kemasan.

  • Paket bundling dengan brand lain: beli kopi dapat roti dari toko tetangga.

  • Kolaborasi konten di media sosial dengan pelaku UMKM lain.

Kolaborasi bukan berarti melemah, tapi menyatukan kekuatan untuk menciptakan proposisi baru di tengah keterbatasan.


Akhir Kata: Dari Bertahan Menjadi Menyerang

Krisis, jika didekati dengan mentalitas takut, akan melumpuhkan. Tapi jika dihadapi dengan pola pikir adaptif, akan melahirkan kreativitas. Lima jurus di atas bukanlah mantra sakti, tapi petunjuk arah bagi mereka yang mau bergerak, mengamati, dan mengambil keputusan dengan keberanian dan ketajaman insting bisnis.

Jangan lupa bahwa dalam sejarah, banyak perusahaan legendaris justru muncul di masa krisis: General Motors tumbuh pesat usai Great Depression, Airbnb dan Uber lahir setelah krisis keuangan 2008, dan bahkan Zoom melonjak saat pandemi melanda. Mereka semua tak sekadar menunggu badai reda—mereka membangun kapal yang lebih kuat sambil mengarunginya.

Sebagaimana kata pepatah Jepang: nana korobi, ya oki—tujuh kali jatuh, delapan kali bangkit. Dan mungkin, dengan lima jurus di atas, bangkit kali kedelapan akan terasa lebih kuat dan terarah.

Share This Article