Jakarta – PT Citilink Indonesia, maskapai penerbangan berbiaya rendah milik Garuda Indonesia Group, membukukan pertumbuhan pendapatan selama tiga tahun berturut-turut. Pada tahun buku 2024, pendapatan usaha Citilink tercatat mencapai USD 993,28 juta atau sekitar Rp 16,1 triliun, naik dari USD 868,11 juta (Rp14,1 triliun) pada 2023 dan USD 734,84 juta (Rp11,9 triliun) pada 2022. Kenaikan ini mencerminkan pemulihan kinerja pasca-pandemi, seiring peningkatan aktivitas penumpang dan kargo.
Di tengah tren positif pendapatan, Citilink juga berhasil mencatat peningkatan volume penumpang dan barang. Jumlah penumpang sepanjang 2024 mencapai 12,30 juta orang, tumbuh 5,3% dari tahun sebelumnya. Volume kargo pun melesat 32,54% menjadi 86.725 ton. Tren ini memperpanjang pemulihan sejak 2021 dan memperkuat posisi Citilink sebagai pemain utama di segmen low-cost carrier (LCC) domestik.
Indikator operasional lainnya juga menunjukkan perbaikan. Revenue Passenger Kilometer (RPK) naik 6,53% menjadi 10,76 miliar, dengan Available Seat Kilometer (ASK) tumbuh 6,09% menjadi 13,58 miliar. Seat Load Factor (SLF), yang mengukur tingkat keterisian kursi, berada di level 79,27%, naik dari 78,70% tahun sebelumnya. Jumlah frekuensi penerbangan juga meningkat 1,88% menjadi 89.320 penerbangan dalam setahun.
Namun, di balik pertumbuhan volume, tekanan keuangan tetap menjadi persoalan. Total aset Citilink per akhir 2024 turun tipis 0,36% menjadi USD 2,09 miliar. Sebaliknya, liabilitas naik 1,93% menjadi USD 2,82 miliar, menciptakan gap yang semakin lebar antara aset dan utang. Kondisi ini menyebabkan ekuitas perusahaan semakin negatif, dari minus USD 664,83 juta pada 2023 menjadi minus USD 725,62 juta pada 2024.
Pelemahan ekuitas ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan pendapatan belum cukup kuat untuk memperbaiki struktur permodalan. Sejak 2020, nilai ekuitas Citilink terkikis dengan CAGR negatif sebesar 25,88%. Kinerja ini menjadi alarm bagi manajemen, bahwa pembenahan keuangan tetap menjadi agenda utama di tengah pemulihan volume.
Dari sisi yield, kinerja Citilink tampak beragam. Yield penumpang naik moderat sebesar 2,54% menjadi 7,67 sen AS per kursi. Namun, yield kargo justru jatuh tajam hingga 36,33% menjadi hanya 59,16 sen AS per kilogram, dari sebelumnya 92,91 sen AS/kg. Penurunan yield kargo ini menyulitkan upaya diversifikasi pendapatan di luar segmen penumpang.
Efisiensi biaya juga belum sepenuhnya tercapai. Cost per Available Seat Kilometer (CASK) berada di 6,03 sen AS, hanya turun 0,17%. Yang mengkhawatirkan, CASK di luar bahan bakar (CASK-excl fuel) naik 6,12% menjadi 3,64 sen AS, menandakan tekanan pada biaya operasional non-avtur seperti perawatan, SDM, dan sewa pesawat.
Setelah memperhitungkan pendapatan dan beban lain-lain serta beban pajak, PT Citilink Indonesia tahun 2024 mencatat rugi bersih sebesar USD 60,90 juta, menurun signifikan dari laba bersih tahun lalu sebesar USD11,74 juta karena peningkatan beban operasional (sebesar 17%) dan peningkatan beban keuangan bersih (sebesar 46%).
Citilink mempertahankan jumlah armada sebanyak 66 pesawat sejak 2022, menandakan stabilitas kapasitas namun juga stagnasi ekspansi fleet. Meskipun jumlah pesawat tak bertambah, perusahaan mampu meningkatkan produktivitas armada melalui kenaikan ASK dan SLF. Frekuensi penerbangan yang meningkat turut mendukung efisiensi rotasi armada yang ada.
Namun, secara menyeluruh, rasio antara pendapatan dan biaya menunjukkan margin yang belum ideal. Yield yang tumbuh lambat dan struktur biaya tetap tinggi menyebabkan perusahaan masih belum menunjukkan profitabilitas yang berkelanjutan. Tidak disebutkannya laba bersih dalam laporan menguatkan dugaan bahwa Citilink belum mencatat keuntungan konsisten pada 2024.
Kinerja Citilink mencerminkan tantangan khas industri penerbangan pasca-pandemi: pemulihan volume berjalan cepat, namun beban keuangan dan tekanan margin membuat perusahaan harus bekerja ekstra keras. Ke depan, perbaikan struktur pendanaan dan strategi efisiensi biaya akan menjadi kunci apakah Citilink dapat mengubah pertumbuhan operasional menjadi keuntungan yang berkelanjutan.